Anindya tidak mempunyai hak untuk marah atas foto itu. Karena jelas, tujuan pernikahan mereka bukan untuk saling memiliki.
Jika bertanya apa alasan Anindya bertahan di sana, jawabannya bukan karena pernikahan yang mengikatnya, bukan juga kesepakatan untuk memberikan ASI selama 2 tahun.
Lebih dari itu, Anindya ingin menjadi sosok ibu yang selalu ada untuk si kembar bahkan jika masa laktasi itu telah usai, mungkin dalam waktu yang lebih lama lagi. Anindya tidak rela jika harus berpisah dengan mereka yang sejak kecil sudah dia jaga, rawat, asuh, dan dibesarkan seperti anak sendiri.
Maka, alasan itu cukup bagi Anindya untuk bertahan di rumah itu dan menerima keadaan rumah tangganya walau entah sampai kapan nanti dan entah seperti apa jalan takdir itu akan berakhir.
Tidak ada pilihan lain, saat ini hidupnya hanya berpedoman pada istilah 'sudah, jalani dulu saja' yang nyatanya mampu membuat hatinya lebih tenang daripada terus memikirkan kelak akan bagaimana.
Malam hari.
Tiada angin tiada hujan, Arsatya malam itu pulang lebih cepat. Walau dia kembali sebelum pukul sepuluh malam dan itu masih belum bisa dikategorikan jam pulang kerja yang wajar, tetapi lebih baik daripada lewat tengah malam.
Anindya sempat terkejut saat melihat kepulangan suaminya yang lebih cepat daripada jam biasanya. Tuhan pasti telah memperhitungkan segalanya sehingga bagi Anindya inilah saatnya dia harus bicara.
Niatnya akan ke dapur untuk mengisi air minum di dalam tumblr diurungkannya, dia lebih tertarik menunggu langkah pria itu mendekat ke arahnya.
Dari kejauhan, mata mereka sejenak bersitatap, lantas timbul secuil–nyaris tak kasat mata–senyum di bibir Anindya tersungging tanpa sadar karena muncul spontan di luar kendali otaknya, berbeda dengan pria itu yang sengaja mengalihkan padangan setelah melihat senyum di bibir Anindya seolah sedang menyambut kepulangannya. Sayangnya, Arsatya sama sekali tidak menyukai hal itu.
Anindya lantas mengerutkan dahinya, saat yang sedang ditatap malah melengos menghindar pandang. Tersinggung, tentu saja. Tetapi tidak terkejut karena dia sudah terbiasa diabaikan dan terlalu sering dikejutkan oleh sikap-sikap yang baru dia temukan dari sisi seorang pria bernama Arsatya yang terlihat sangat merana sejak ditinggal kekasihnya.
Anindya cukup paham akan hal itu, bahwa posisi kakaknya tidak akan berubah di hati kakak ipar. Ada rasa bangga terbesit di dada Anindya jika benar Arsatya sesetia itu pada satu istrinya, tapi dengan catatan bahwa Anindya pun harus siap statusnya tidak akan pernah dianggap oleh pria itu. Miris, ketika merasa bangga dan kecewa di satu waktu yang sama.
“Mas Satya!” panggil Anindya yang dilewati begitu saja saat berpapasan di ujung anak tangga.
Arsatya, pria itu mendesah. Terpaksa menghentikan langkahnya di tengah jalan.
“Gangguan datang. Inilah kenapa aku sungkan pulang cepat,” batinnya berkata.
Mau tidak mau Arsatya berhenti, tetapi tidak berniat menoleh. Biarkan Anindya yang menghampirinya di tengah anak tangga. Benar, wanita itu berlari menyusulnya naik kembali setelah baru saja sampai di lantai dasar.
“Mas Satya, bisa kita bicara?” tanya Anindya yang berada satu tangga di belakang suaminya.
Dengan menggerakan leher sedikit memutar ke arah samping kanan, melirik sekilas wanita yang berada di belakangnya, pria itu pun diam, dingin, dan tidak bersuara.
Hanya menunggu apa yang akan disampaikan oleh wanita itu, kalau bisa langsung saja katakan saat itu juga. Namun, tidak langsung disampaikan oleh mulutnya. Dan tentu, Anindya tidak paham apa arti lirikan mata suaminya itu.
Rupanya, isyarat diamnya tidak ada ubahnya bagi Anindya yang masih mengharapkan jawaban dengan segera.
“Bisa?” tanya Anindya lagi.
“Bicara apa lagi? Katakan sekarang,” balasnya dengan suara datar.
“Tentang perizinanku dan si kembar yang–” jawab Anindya langsung setelah mendapat lampu hijau untuk berbicara.
Ditariknya kembali kepalanya menghadap depan, “Aku lelah. Besok saja kalau mau bercerita,” jawaban yang diberikan pria itu kala dia merasa bahwa Anindya sepertinya akan menyampaikan kalimat yang panjang.
Jelas, Anindya tidak langsung setuju begitu saja karena sesungguhnya tidak ada yang bisa dipercaya dari sikap dan ucapan Arsatya yang tidak pernah konsisten.
Anindya tahu itu, bisa saja besok pria itu akan kembali pulang larut lewat tengah malam dan berujung tidak ada waktu untuk berbicara.
Langkahnya tidak mengejar, tetapi ucapannya mampu menghentikan langkah kaki suaminya, “Aku nggak yakin kita ada waktu lagi besok hari. Mas nanti pergi pagi lagi dan pulang larut malam seperti sebelum-sebelumnya. Kalau bisa sekarang, kenapa harus besok?
“Besok,” tegas Arsatya yang kesal karena ucapannya tidak dihiraukan.
“Aku mau sekarang, maka besok aku tidak akan mengganggumu. Aku janji,” kata Anindya memberikan solusi dan memang dia tidak ingin mudah dibodohi dengan menunggu hal yang tidak pasti tentang esok hari.
Tidak peduli jika di mata Arsatya, Anindya dikenal sebagai sosok yang pemaksa, tidak sabaran, egois, dan tidak peka pada keadaan. Anindya tidak peduli, di hatinya hanya terpatri satu kata tentang pandangan orang pada dirinya, “Terserah.”
“Aku janji,” ucap Anindya sekali lagi.
“Baiklah, tunggu aku di bawah,” kata Arsatya kemudian. Senyum cerah seketika terbit dari bibir wanita cantik berambut hitam sepunggung itu yang hitam terurai meski tidak berantakan.
Tentu Anindya senang saat melakukan negosiasi seperti ini apalagi jika dia yang menjadi pemenangnya. Dalam hal apapun, ketahuilah, Anindya merupakan wanita ambisius yang jarang menerima penolakan saat mencoba menawarkan win win solution, itulah salah satu kelebihan wanita itu.
Daripada berdiam diri duduk di kursi, Anindya pikir dia bisa menyiapkan makan malam. Kebetulan, sejak sore tadi wanita itu belum menyentuh sedikit pun makanan. Dan, sebagai apresiasi karena telah bersedia meluangkan waktu, tidak ada salahnya membuat makanan yang lezat untuk dinikmati berdua.
Setelah memasak menu simpel, Anindya menyadari jika Arsatya belum juga datang padahal sudak cukup lama dia menunggu sampai selesai membuat fuyunghai beserta saus asam manisnya, tapi pria itu tidak kunjung datang.
“Sudah kuduga, dia memang tidak dapat dipercaya,” ucapnya yang kemudian membereskan semua makanan yang sudah disajikan. Ingin makan sendiri pun sudah hilang selera karena nafsu makannya terlindas oleh rasa kecewa.
“PHP,” desisnya saat berada di persimpangan jalan menuju kamar suaminya atau ke kamar si kembar.
Namun, baru saja langkah kakinya menuntun untuk berbelok ke kanan yang artinya akan ke kamar si kembar, terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup dari balik badannya.
“Nin, mau kemana? Jadi bicara apa tidak?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
imhe devangana
crtnya terlalu berbelit2 menurut ku, & hanya septr mereka doang ngk ada crt orng lain.
maaf ya thor
2025-01-20
0
Sunarti
sifat satya semakin membingungkan, lanjut Thor 💪💪💪
2023-12-25
4
LISA
Dasar si Satya itu..aneh bgt..
2023-12-25
1