"Si dedek bayi, sehat-sehat ya. Onty gak sabar pengin ikutan rawat kamu juga," Anindya mengelus perut super besar milik kakaknya.
"Sudah siapin nama belum, Kak?"
"Hem, baru terlintas nama Ansha dan Chesa," jawab Amelia.
"Nama yang cantik, memangnya HPL kakak kapan?”
“Kalau kata dokter sih, lusa, Nin,” jawab Amelia. Seorang wanita dengan perut besarnya karena di dalam perutnya ada dua calon bayi yang akan segera terlahir dalam waktu dekat ini.
“Sudah dekat, Kak. Untuk sekarang apa belum ada tanda-tanda, Kak?”
“Ehm, sebenarnya tadi pagi Kakak merasa mulas, Nin, tapi lekas hilang. Bukan mulas kontraksi itu, kan, ya?” tanya Amelia. Dia selalu percaya dengan adiknya yang sekolah di kedokteran.
“Tapi, keluar cairan tidak, Kak? Semacam pipis tapi bukan pipis,” tanya Anindya yang saat tiu langsung bangkit dari kursinya dan mendekat pada sang kakak yang sedang mengupas buah apel.
“Eee, tadi tuh kakak juga sempat ngompol sedikit pas bangun tidur, itu apa?”
“Ah, yang benar, Kak? Dimana?” panik Anindya mengecek keadaan jabang bayi dengan meraba-raba perut kakaknya.
“Tenang, belum, kok.” Namun, tiba-tiba senyum yang cerah itu menyurut seketika saat tubuh Amelia tiba-tiba menegang dan tidak berkutik beberapa saat.
“Nin, aduh, Dik. Ini tiba-tiba perut kakak sakit, Dek, di sebelah sini, ssh, huft,” Amelia tiba-tiba merasa kesakitan di perut bagian bawahnya, wajanya memucat pasi seperti tidak ada pembuluh darah yang mengalir di wajahnya.
Tangannya mencengkeram lengan Anindya yang langsung mendekat pada kakaknya, wanita itu sudah tidak bisa bergerak. Tubuhnya sudah membeku karena menahan rasa sakitnya. Lalu, cairan merah segar mengalir merembes di sepanjang kakinya.
“Tarik napas, Kak. Ambil napas dengan teratur,” saran Anindya. Amelia sudah tidak dapat mendengar dengan jelas, dia sudah terlihat sangat lemas dengan tubuhnya yang sempoyongan, lalu bersandar pada meja makan.
“Kak, darah!” teriak Anindya yang baru menyadari rembesan darah di kaki Amelia.
“Tante, tante tolong kak Amel, Tan!”
“Ada apa, Nin? Hah? Amelia!” Ranti, mertua Amelia pun turut terkejut melihat keadaan menantunya yang sudah nyaris tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir di sepanjang kakinya.
Di atas brangkar yang di dorong ke ruang persalinan. Amelia sudah tidak keruan, tindakan operasi disarankan untuk segera dilakukan, tetapi Amelia memilih untuk menunggu Arsatya, suaminya.
“Ma, dimana Mas Satya, Ma? Amel mau ketemu dia,” tanya dia yang sudah berkeringat dingin menahan rasa sakit yang seakan merambat ke sekujur tubuhnya.
“Dek, tolong bilang Mas Satya, anaknya akan lahir. Bilang dia suruh cepat datang, aku ingin melihat dia di sini sebentar saja,” pinta Amelia menggenggam tangan Anindya.
Di luar ruangan, Anindya yang cemas dengan keadaan kakaknya, dia cepat menghubungi kakak iparnya sesuai permintaan kakaknya. Namun, orang yang dicari malah sulit sekali dihubungi sejak tadi.
“Dimana Mas Satya? Kenapa susah sekali dihubungi?” omel Anindya yang kesal saat menelepon kakak ipar menggunakan ponsel milik kakaknya, tetapi tidak ada jawaban.
Kini dia mengetikkan nomor Arsatya di ponselnya. Saat didial, tidak lama kemudian ada jawaban dari seberang panggilan.
“Mas Satya, kamu dimana? Cepat ke rumah sakit Bersalin Ananda, Kak Amelia mau melahirkan. Dia menunggumu,” ujar Anindya langsung.
“Hah, melahirkan? Tadi pagi belum ada keluhan apapun. Maaf, Nin. Mas ada pasien gawat darurat yang harus segera operasi.”
“Kak Amel menunggumu atau dia tidak mau dioperasi. Tolonglah segera datang, kondisinya gawat!” ucap Anindya memohon.
“Aku tidak bisa, sampaikan padanya untuk tidak menungguku. Dimana dokternya? Biar aku bicara dengan dokter yang menangani,” ucap Arsatya.
Anindya bergegas mencari dokter yang akan melakukan tindakan operasi caesar pada kakaknya, melalui telepon itu, Anindya hanya dapat melihat sang Dokter mengangguk-angguk.
“Apa kata kakak ipar saya, Dok?” tanya Anindya.
“Katanya, segera ambil tindakan operasi,” ujar dokter pria itu.
“Dik, nanti tolong jaga anak-anakku baik-baik, ya,” ucap Amelia sebelum dia masuk ke dalam ruang operasi.
“Pasti, Kak. Kita akan menjaga mereka bersama-sama, kuat-kuat kakak di dalam, ya,” Anindya mengecup dahi kakaknya sebelum pintu itu ditutup dan mereka dipisahkan oleh ruang.
Di sela-sela menunggu opersasi berjalan, Anindya terus mengirimkan Satya pesan supaya pria itu dapat segera datang menyusul istrinya. Semua sudah berkumpul di depan ruangan operasi, hanya Arsatya yang tidak ada.
Dokter keluar, “Dimana suami pasien?”
Semua mata hanya bisa saling memandang tanpa bisa memberikan jawaban, “Masih di tempat kerja, Dok,” jawab Anindya.
“Bayinya kembar dan semua terlahir sehat dan selamat, tetapi kondisi ibunya lemah, dia kehabisan banyak darah sehingga harus dipindahkan ke ICU,” ucap Sang Dokter.
Sang kakak keluar dibantu dengan para perawat, di tubuh Amelia sudah terpasang berbagai alat medis yang membantunya bertahan hidup. Semua orang yang berada di luar ruangan itu menangis melihat Amelia yang terkapar tidak berdaya dengan alat medis yang menancap di tubuhnya seakan alat-alat itu yang menopang hidupnya.
Anindya berlari ke tempat yang jauh, dadanya terasa sesak melihat sang kakak sekarat. Di dalam dadanya hanya ada rasa kesal, marah, dan ingin meledak saat itu juga pada pria yang menjadi suami dari kakaknya itu. Berjam-jam telah berlalu, tetapi Arsatya belum juga memunculkan batang hidungnya.
Ia kembali mencoba menghubungi kakak iparnya, telepon tersambung.
“Mas Satya, kamu dimana?! Kak Amelia membutuhkanmu! Dia masuk ICU, kamu dimana?! Kakakku sekarat, tapi kamu belum juga datang!” kesal Anindya yang marah karena kakak ipar belum juga muncul.
“Baru selesai, Nin. Ini bikin catatan pasien dulu, baru aku ke sana,” jawab Arsatya, meski dia sana dia cukup gugup melakukan pekerjaannya, tapi suaranya masih bisa terdengar tenang.
“Nggak usah ke sini saja, Mas! Urus saja pasien dan pekerjaanmu itu!” bentak Anindya, lalu dia mematikan teleponnya.
Begitu Arsatya tiba di rumah sakit, dia berlari menuju ruang ICU dimana istrinya berada.
“Ma, dimana Amelia?”
Ranti, wanita paruh baya itu terdiam seribu bahasa hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.
“Ma, dimana Amelia? Dimana istriku, anak-anakku?” tanya Arsatya sekali lagi mengguncang tubuh ibunya.
Ranti menggeleng. Di sela-sela isak tangis dia menjawab, “Amelia sudah tidak ada, Sat,”
“Apa?!”
Lantas, pria itu berlari ke arah Anindya, “Dimana kakakmu, Nin?”
Bug, bug, bug!
Anindya memukuli tubuh kakak iparnya, dia menarik tangan Arsatya untuk melihat seseorang yang berada di dalam kamar jenazah.
“Itu istrimu! Dia sudah meninggal, bisa lihat sendiri, kan?” bentak Anindya menuding jasad yang sudah tertutup kain putih.
“Nggak, nggak mungkin! Amelia!”
“Bangun, sayang. Bangunlah, maafkan aku. Ayo bangunlah!” teriak Arsatya menepuk pelan pipi istrinya yang sudah membiru.
“Bangunlah, Sayang. Buka matamu, ayo buka matamu. Maafkan aku,” Arsatya meratap di atas tubuh istrinya yang sudah membujur tidak bernyawa.
Sekuat apapun ia mengguncang tubuh itu, sebanyak apapun kata maaf yang terucap, itu hanyalah sia-sia karena sampai kapan pun Amelia tidak akan pernah membuka matanya lagi.
...🦋🦋🦋...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Shuhajar24
terbaik thor..terus semangat
2024-03-17
1
Indah Moertianingsih
/Sob//Sob//Sob//Sob/
2024-02-01
1
Wiek Soen
🥺🥺🥺🥺
2024-02-01
0