Beberapa hari setelah kepergian Ranti, kedua orang itu bertindak semakin seenaknya sendiri. Arsatya yang gila kerja bahkan tidak pernah dilihat oleh orang rumah kapan dia pulang dan kapan dia pergi ke tempat kerja karena dia akan pergi di waktu pagi buta dan kembali pada saat tengah malam tiba.
Sedangkan Anindya, wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu di kamar bersama si kembar. Anindya sama sekali tidak keluar jika tidak ada kepentingan yang mendesak, semua aktivitas yang bisa dilakukan dengan mudah, dia bawa ke kamar si kembar.
Kali ini dia keluar karena ada kepentingan untuk meminta izin melakukan bimbingan minggu depan, harusnya itu bukan waktu yang mendadak untuk pergi. Satu minggu dari sekarang, berarti masih ada tujuh hari sebelumnya sehingga tidak ada alasan bagi seorang Arsatya melarangnya pergi.
“Bibi, Mas Satya ada di rumah?” tanya Anindya pada pembantu rumah itu.
Mungkin terdengar aneh, mereka sepasang suami istri yang berada di bawah atap yang sama tapi untuk mengetahui keberadaan satu sama lain, mereka bertanya pada orang lain.
“Nanti kabarkan jika sudah pulang ya, Bi,” pinta Anindya yang diiyakan oleh wanita yang sudah cukup tua itu.
Waktu menunjukkan pukul lewat tengah malam, tetapi Anindya belum juga mendapatkan kabar apapun dari bibi. Entah bibi yang lupa atau sudah tertidur atau memang pria itu belum pulang, pikir Anindya.
Dia memutuskan untuk mengeceknya sendiri keluar dari kamarnya. Namun, saat engsel pintu berhasil di buka dari dalam, di depan pintu sudah berdiri seorang pria yang tidak lain Arsatya yang masih berpakaian rapi dengan tas dan jas putihnya yang tersampir di pergelangan tangannya.
Keduanya sama-sama terkejut, “Mas baru pulang?” tanya Anindya mengenyahkan ekspresi kagetnya.
“Bagaimana anak-anak?” bukan jawaban yang didapat, melainkan pertanyaan balik yang Arsatya berikan.
“Mereka baik-baik saja, sudah tertidur,” jawab Anindya yang dibalas dengan anggukan sekali.
Lalu, apa yang terjadi? Pria itu tidak lantas masuk ke dalam atau melihat si kembar. Dia langsung memutar tubuhnya dan berjalan menjauh. Langkahnya sama sekali tidak bergairah.
“Mas Satya,” panggil Anindya yang mengejarnya dan meraih tangah pria itu.
Namun, Arsatya menghempaskan tangan Anindya dengan kasar dan cepat membuat wanita itu terkejut.
“Lepas, jangan sembarangan sentuh!” sentak Arsatya saat tanpa aba-aba Anindya meraih tangannya.
Tatapan wajah Anindya mengiba, heran, dan matanya mengerjap-erjap karena terkesiap dengan apa yang dilakukan Arsatya pada dirinya. Ini yang kedua kalinya dia terkejut dengan sikap Arsatya.
Tidak mau wanita di depannya berpikir buruk tentangnya, Arsatya berucap, “Maksudku, aku masih kotor,” kata Arsatya menjelaskan apa arti hempasan tangan itu.
Anindya tidak memperpanjang masalah,fakusnya hanya pada sebuah tujuan yang harus segera terselesaikan saat bertemu dengan Arsatya, “Bisa kita bicara?” tanya Anindya mengungkapkan tujuannya.
"Sebentar," imbuhnya untuk meyakinkan bahwa ini bukan perbincangan berat.
Seakan bukan menjadi tujan bersama. Tentu, ajakan Anindya mendapat penolakan, “Sudah malam, besok saja,” ucap Arsatya dengan suara lirih karena harinya sudah membuatnya letih.
Pria itu tidak mengindahkan wanita yang tidak percaya pada penolakakan yang dia dapat, "Hanya berbicara sebentar apa tidak bisa?" tanya Anindya dalam hati melihat pemlik punggung tegap itu berlalau pergi.
“Besok kapan? Kalau Mas saja pergi pagi dan pulang malam seperti ini terus-menerus, kapan kita bisa bicara?” Anindya berbicara kenyataan. Sulit sekali bertemu dengan orang itu di waktu yang sewajarnya orang-orang bisa berbincang selain sudah melewati tengah malam.
“Mas sengaja pulang larut dan pergi pagi supaya kita tidak pernah bisa bertemu, kan?” tanya Anindya menduga.
Embusan napas terdengar dari Arsatya.
Tidak peduli ucapannya tidak digubris, tidak peduli kesekian kalinya dia merasa diabaikan, tidak peduli jika saat ini Arsatya akan masuk ke dalam kamarnya. Anindya tetap mengikuti langkahnya.
“Aku mau tidur, lelah.”
“Aku juga lelah menghadapi sikap Mas Satya yang selalu seperti ini. Kamu pikir, aku tidak lelah hanya sorang diri mengurus kedua bayi? Terlebih saat Mas mengusir Tante Ranti dari sini, aku semakin kesepian!” ujar Anindya di depan pintu kamar suaminya.
“Tidurlah, Nin,” ujarnay dnegan suara lemah dan berusaha tidak terbawa emosi dnegan kalimat bernada tinggi yang Aninyda ucapnya di hadapan.
“Nggak, aku ingin bicara dulu sama kamu!” tegas wanita itu menatap tanpa takut pria yang selama ini jarang sekali ditatap wajahnya sedekat itu.
“Apa katakan sekarang saja,” ucap Arsatya mengalah.
Merasa diberi kesempatan waktu untuk mulai berbincang, Anindya melemahkan tubuhnya yang semuala membusung siap melawan, “Aku akan pergi bimbingan,” cicit Anindya merendahkan nada bicaranya.
“Kapan?”
“Minggu depan,” jawab Anindya. Lagi-lagi tidak ada respons apapun selain dirinya yang yang kemudian meninggalkan Anindya begitu saja di depan pintu kamarnya, sedangkan dia masuk dan mengunci pintu itu dari dalam.
Merasa ada yang aneh, lantas Anidnya berdiri kebingungan setelah ditinggalkan tanpa kata. “Jadi, kesimpulannya, aku ini diizinkan pergi atau tidak?” monolognya mencari jawaban dari sikap Arsatya yang tidak memberikan kepastian. Sikapnya yang terlalu rumit ditebak, dan tidak mudah dipahami.
Ingin dia menggedor pintu itu dan bertanya sekali lagi apa inti dari perbincangan tadi, bolah pergi atau tidak? Tetapi, tubuhnya sudah sangat lelah untuk kemudian bersikap sabar pada pria yang selalu menguji kesabarannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Misaza Sumiati
Satya itu mah bukan cinta ke Amelia, tapi merasa berdosa ke Amelia semasa hidupnya
2024-10-19
1
Kak Yuniah
terlalu menyesali kematian Amelia jga ngk klu menyesal ya lihatlah ank2mu curahkan kasih sayang ke mereka,jgn kerja2 pergi pgi pulang mlm ngk ada gunanya jga menyesal,,udah nin bawa aja ank2nya pergi biar kapok,,laki2 terlalu egois
2024-01-20
2
Putri rahmaniah
pergi terus gapain minta izin SMA suami yang ga anggap sebagai istri nya.
2023-12-23
6