Rumah Itu

"Apa itu tadi maksudnya Pak?!" sahut Asmara sambil melepaskan cubitannya. Andra hanya mengernyit tapi tidak mengaduh seakan pinggangnya yang dicubit Asmara tidak berdampak ke saraf sensoriknya.

"Tadi kan sudah saya ceritakan."

"Ceritakan versi lengkapnya!"

"Darimana ya mulainya?"

"Kok malah bingung?!"

"Kepanjangan Bu, bisa 5000 kata."

"Gimana sih? Mulai dari bagaimana bisa Pak Andra tahu-tahu jadi Presdir di Kantor Saya?!"

"Bu Asmara nggak masuk sih hari ini."

"Ya kan rumah saya ambruk!"

"Saya belum Sah jadi Presdir, Notaris baru memproses hari ini, RUPS belum digelar. Pengalihan Saham baru lewat lisan."

"Bu Astrid itu siapanya bapak?!"

"Tetangga di kampung sih Bu. Tapi akrab sudah seperti keluarga."

"Tunggu!" Asmara mengangkat telunjuknya ke depan muka Andra. "Jangan bilang kalau bapak itu seorang…"

Andra diam saja karena ingin tahu kemampuan Asmara dalam menebak. "Ranggasadono."

Andra menyeringai. "Yang sedang dalam pengasingan karena dianggap durhaka." pria itu menambahkan kata-kata itu. Tapi ia cukup salut karena kalau Asmara wanita biasa, pasti akan bilang kata "konglomerat". Kata-kata yang umum dipakai. Namun Asmara bisa menebak silsilah keluarganya dari kalimat 'tetangganya Bude Astrid'. Jelas, relasi Asmara lumayan luas sampai tahu hubungan antar keluarga yang satu dengan yang lain.

"Ada seorang Ranggasadono tinggal di Perumahan Grand Padmasari?!" seru Asmara sampai membelalakkan mata.

"Ibu lebay deh. Sebagian besar dari kami orang biasa, kok."

"Bagaimana bisa Mutia menceraikan seorang Ranggasadono?!"

"Dia tidak tahu."

"Dia tidak tahu?! Kalian menikah sudah 10 tahun lamanya!"

"Yang seorang Ranggasadono itu ibu saya. Tapi saat menikah kan saya menggunakan nama Bapak saya yang orang biasa. Dan lagi nama saya di KTP hanya Diandra Rangga saja. Juga di akta nikah, dan di Kartu keluarga. Kecuali kalau melihat Akta Kelahiran saya, ada nama Ranggasadono pakai huruf capital di sana."

"Kok bisa?!"

"Mutia termasuk orang yang tidak menaruh perhatian pada hal-hal detail seperti itu."

"Dan kenapa Pak Andra terdampar di sini?"

"Saya dibuang ibu saya saat bersikeras akan menikah dengan Mutia."

"Astaga…"

"Makanya beliau melarang penggunaaan nama keluarga Ranggasadono terang-terangan."

"Bukannya seharusnya yang dibelakang nama Pak Andra itu adalah nama bapak sampeyan?"

"Anggap saja bapak saya tunduk dan patuh secara mutlak kepada keluarga istri yang berkuasa." Andra terkekeh.

Asmara menggelengkan kepalanya.

"Jadi hari Senin… Saya akan jadi Marketing di bawah kepemimpinan Pak Andra?!"

"Saya jadi mau tahu yang mana yang namanya Rani." Andra menyeringai.

"Hari Senin Bapak akan terkesima dan kesengsem setelah tahu bagaimana rupa Rani." Asmara mendorong troli sampai masuk ke konter kasir.

"Bagaimana bisa ada yang lebih cantik dari Bu Asmara? Bahkan setelah dipikir-pikir kenapa sih Adit mau-maunya lebih memilih Mutia."

"Bapak sedang merayu saya?"

"Sop Buntutnya jangan dikasih cabe."

***

Hari Senin yang Cerah.

Kitty duduk di kursi penumpang, dan Revan bersiap mengayuh sepedanya. Untuk ukuran pemuda 15 tahun bertubuh bongsor, ia bahkan tidak malu memboncengi Kitty pakai sepeda ala ibu-ibu yang di depan ada keranjangnya. Sementara anak yang lain sudah ada yang pakai sepeda motor dan sebagian besar memilih naik angkutan umum saja.

Tapi Revan beragumen : lebih santai dan romantis begini. Lagian bisa bawa barang banyak di keranjang.

Kegemaran Kitty akan jajanan menjadi bahan pertimbangan kegunaan keranjang di depan kemudi sepeda.

"Siap Beb? Hari ini ada ujian." kata Revan.

Kitty mengencangkan ransel pinknya dan memeluk pinggang Revan. "Mampir dulu beli lemper Bu Ratmi."

"Kamu udah sarapan nambah pula, kamu bukannya bawa bekal?!"

"Tes hari ini matematika. Butuh banyak stamina!"

Dan akhirnya berlalu lah dua sejoli itu meniti ilmu di sekolah yang lokasinya… kalau jalan kaki sebenarnya tinggal nyebrang jalan raya. Justru kalau naik sepeda pakai muter di lampu merah.

Asmara keluar dari rumahnya di seberang setelah memberi instruksi ke Sang Mandor mengenai layout yang ia inginkan. Asmara sudah dengan style kantoran. Cantik, elegan dan berkelas. Dengan rambut yang dia blow sampai lembut dan berkilau, juga make up natural yang membuatnya tampak lebih anggun. Sementara Andra masih pakai celana pendek dan kaos oblong hitam, sedang menyiram tanaman.

Saat pria itu mengangkat tangannya, tampak semburat urat di sepanjang lengannya, menandakan betapa giatnya ia berlatih angkat beban.

"Pak Andra mau berangkat jam berapa?" tanya Asmara.

"Agak siang, saya mau ke kantor notaris dulu. Baru setelah itu ke kantor lama menyelesaikan beberapa urusan. Sore saya baru mampir ke Kencana Life."

"Kalau begitu saya duluan ya."

"Hati-hati di jalan."

Dan akhirnya, dengan berat hati Asmara pun berangkat ke kantor.

Dalam diam Andra menatap mobil sedan Asmara berlalu menjauhi rumahnya, lalu pria itu pun menatap rumah Asmara yang sedang diperbaiki.

Pria itu berpikir, apakah perlu memperbaiki rumah itu? Setahunya rumah itu terdaftar atas nama Adit, walaupun itu rumah peninggalan orang tua Asmara. Andra tahu karena ia pernah menawar rumah itu untuk dia beli, dan saat itu Adit menunjukkan sertifikat rumah. Adit bilang kalau dia dan orang tua Asmara memiliki perjanjian soal kepemilikan rumah.

Masalahnya apakah Asmara teliti membaca kepemilikannya? Atau sertifikat itu tidak berada di rumah jadi Asmara tidak tahu?

Bisa saja tersimpan di safe deposit kan? Atau dititipkan di Notaris.

Kalau begitu… Cepat atau lambat, Asmara bisa saja kehilangan rumah masa kecilnya.

"Pak Andra!" Pak RT menyapanya. Pria itu baru saja dari pasar yang pintunya terhubung ke sebelah rumah Andra.

"Pak Erte, belanja apa?"

"Makanan burung. Kenapa bengong pagi-pagi Pak? Mikirin Bu Asmara? Dinikahin lah jangan dipikirin, nanti keburu disamber buaya."

"Hush! Pak Erte ini udah sekongkol sama Perkumpulan Pos Ronda ya? Sampai Ustad Ridwan juga ngompor-ngompori saya."

"Selama Pak Andra masih single, kami kaum suami dalam posisi terancam, Pak. Hahahahaha!!" Pak Erte terbahak.

"Saya lagi mikirin rumah di depan saya ini Pak." kata Andra mengakui.

Pak Erte pun kehilangan senyumnya. Ia yang sudah 40 tahun tinggal di sana, tahu persis cerita rumah itu. Sahabatnya, Pak Dipta, ayah Asmara, yang dulu menempati rumah itu.

"Itu sudah bukan rumah warisan loh Pak." kata Pak Erte. "Sudah dijual ke Adit."

Andra pun menghela nafas berat, "Kalau begitu, saya tidak salah ingat. Waktu itu saya mencoba menawar, tapi Adit menjual dengan harga yang tak masuk akal. Rata-rata harga bangunan di area sini 10juta per meter, Adit jual ke saya 30juta per meter. Alasannya karena di tengah kota. Waktu itu saya akhirnya tak jadi beli tapi Adit pernah menunjukkan sertifikatnya. Dan ada nama dia di sana, bukan ahli waris lagi."

"Sudahlah Pak, Bu Asmara kan akan pindah ke rumah bapak. Tak masalah toh?! Masalahnya, awas saja kalau Adit dan Mutia kembali ke sini, sudah urusan masyarakat yang menghakimi nanti! Kerjaan saya bisa-bisa makin banyak. Hahahahaha!" sahut Pak Erte.

"Kerjaan makin banyak kok ketawa sih Pak?"

"Ini ketawa prihatin Pak Andra. Hahahaha!"

"Hahahaha, saya sumbang suara biar bapak kepilih lagi jadi Erte."

"Aduuuh kamu ini memang semena-mena sama saya! Hahahaha!"

Terpopuler

Comments

Hesti Ariani

Hesti Ariani

kalau bisa jauh kenapa harus cepat sampai😅

2024-05-19

0

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ❥︎•͜͡࿐

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤ❥︎•͜͡࿐

bs 5 bab🤣

2024-04-20

0

Tyaga

Tyaga

🤣🤣🤣🤣😅

2024-02-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!