Wanita meresahkan

Maxim membawa Amelia ke sebuah klinik kejiwaan atas rekomendasi dari Cahaya. Sesampainya di sana Maxim membiarkan Amelia masuk sendiri tanpa dia temani. Maxim sengaja melakukannya agar Amelia bisa leluasa untuk terbuka dan mengeluarkan isi hatinya tanpa merasa sungkan.

Sekembalinya dari Psikiater itu Amelia lebih banyak diam. Maxim pun tidak ingin bertanya. Keduanya larut dalam pemikiran masing-masing hingga mobil Maxim sampai di halaman mansion.

"Turunlah dan istirahat. Aku mau ke kantor. Jangan lupa meminum obat mu." Perintah Maxim saat mobil telah berhenti sempurna.

"Hmm..." Amelia bangkit dan keluar dari mobil.

"Lain kali biasakan mencium tanganku saat aku hendak bekerja, setidaknya ajarkan kebiasaan yang baik untuk kedua putrimu. Ingat...! Sekarang aku adalah suamimu. Kali ini aku maafkan, tapi mulai besok perlakukan aku sebagaimana mestinya." Tegur Maxim dengan keras yang membuat Amelia menghentikan langkahnya seketika tanpa menoleh.

Setelah selesai bicara Maxim kembali mengendarai mobilnya menuju kantornya. Sejak mengetahui keberadaan Amelia waktu itu, Maxim telah kembali memimpin perusahaan di kantor pusat. Kantor yang sama saat Maxim bekerja diawal pertemuannya dengan Amelia yang bekerja sebagai sekretarisnya.

Sesampainya di lobi kantor, Maxim di kagetkan oleh kehadiran Marinda yang menyambutnya dengan senyuman. Tanpa rasa canggung Marinda memeluk Maxim. Maxim hanya bisa menerima tanpa membalas karena perlakuan Marinda di tonton oleh beberapa karyawannya.

"Max, aku senang kamu kembali ke sini. Selama ini kamu sangat sulit ditemukan. Ahh... akhirnya kita bisa lebih sering bertemu seperti dulu. Aku bahagia sekali." Marinda membelitkan tangannya di lengan Maxim sambil bicara seakan Maxim masih sahabatnya yang dulu. Sahabat yang mencintainya dan bersedia melakukan apapun untuknya. Satu hal penting yang Marinda lupakan jika Maxim telah menikah.

"Hmm..." Jawab Maxim sekenanya dengan terus berjalan menuju lift.

"Max, kamu tidak membenciku bukan?" Rengek Marinda saat sudah di dalam lift sambil menggoyang-goyangkan lengan Maxim. Dia merasa tidak terima Maxim tidak mempedulikan nya.

Maxim menarik tangannya agar lepas dari belitan Marinda. Ada rasa tidak nyaman saat Marinda melakukan hal itu padanya. Padahal dulu Maxim akan sangat bahagia saat melihat tingkah manja Marinda. Pikirannya kini malah dipenuhi oleh Amelia yang terdiam sejak perjalanan dari klinik.

"Jangan begini, Rin. Aku sudah menikah dan semua karyawan tahu itu. Tolong jaga sikapmu." Ucap Maxim tegas.

"Kenapa memangnya, mereka juga tahu aku adalah sahabatmu sejak dulu. Kenapa kamu sekarang bersikap berlebihan begini? Aku tahu Amelia hanya istri pelampiasan kamu saja, Max." Marinda malah semakin memeluk lengan Max hingga dengan sengaja menempelkan pada dadanya.

Maxim semakin tidak nyaman. Dia pria dewasa yang masih normal. Tingkah laku Marinda seakan menguji imannya. Sudah beberapa hari Maxim menahan diri saat berhadapan dengan Amelia yang notabene nya adalah istrinya. Sekarang Marinda malah sengaja membangunkan singa yang tengah tidur.

"Rin, lepas! Kamu tidak boleh seperti ini. Amelia istriku, dan aku harus menjaga perasaannya mulai sekarang." Maxim akhirnya menyentak kan tangannya dan akhirnya terlepas dari dekapan Marinda.

"Max, kamu berubah. Apa cintamu dengan mudahnya hilang setelah kamu menikah? Ternyata semua pria sama saja, cinta bagi kalian hanya sekedar ucapan. Baik kamu, Doni dan Aryo sama. Setelah mendapatkan yang bening, cinta yang kalian agungkan sebelumnya hanya tinggal ampas saja." Marinda menatap Maxim dengan pandangan sendu dan mulai menggenang.

"Jangan membalikkan kenyataan, Rin. Kamu yang menolak ku berkali-kali. Hingga aku putus asa dan mulai melabuhkan hatiku pada Amelia. Jangan bertingkah seakan-akan kamulah korbannya sekarang." Maxim merasa jengah menghadapi manusia manipulatif seperti Marinda.

"Yah... aku tahu aku salah, Max. Tapi bukan berarti persahabatan kita yang sejak remaja ini hancur hanya karena cinta, kan? Aku menyayangimu Max, kamu tahu itu." Ucap Marinda dengan wajah memelas.

Maxim menarik napas lelah. Baik tubuh maupun pikirannya sangat lelah saat ini. Berdebat dengan Marinda juga tidak ada gunanya. Wanita ini tidak akan mau disalahkan.

"Baiklah, aku juga tidak ingin persahabatan ini rusak karena apapun. Kita hanya seorang sahabat jadi aku minta hargai pernikahanku." Ucap Maxim akhirnya.

"Ok, aku setuju." Marinda tersenyum penuh arti." Sementara ini aku menurut, Max sayang. Tapi pelan-pelan aku akan masuk dan merusak pernikahan mu. Wanita itu tidak boleh bahagia mendapatkan pria sempurna seperti mu." Lanjut Marinda dalam hati.

Lift berhenti di lantai teratas gedung BS Corporation. Maxim masuk ke ruangannya diikuti oleh Marinda. Seorang pria yang merupakan sekretaris Maxim datang membacakan jadwal untuk beberapa hari ke depan.

"Baiklah, kamu boleh keluar dan tolong suruh OG untuk membuatkan kopi untukku dan jus lemon untuk Rinda." Perintah Maxim pada sekretaris nya. Pria muda itu langsung undur diri meninggalkan ruangan untuk mengerjakan perintah Maxim.

"Kamu masih saja ingat minuman favoritku, Max." Marinda tersenyum bahagia mendengar Maxim memesan minuman kesukaannya.

"Tentu saja aku ingat, mengenalmu bukan dalam waktu singkat. Begitu juga pada Doni, Aryo dan Randi, aku ingat apapun tentang kalian." Sesaat senyuman jumawa Marinda luntur mendengar ucapan Maxim.

"Aku senang masih berada di tempat spesial itu, Max. Apapun nama tempat itu, aku bahagia." Balas Marinda dengan senyum palsunya. "Oh, iya Max. Aku ingin menawarkan kerja sama dengan perusahaan mu, bolehkah."

"Kerja sama apa? Aku sibuk belakangan ini, takutnya aku tidak fokus jika mengambil terlalu banyak kontrak kerja." Maxim tidak enak untuk menolak langsung, tapi juga tidak ingin terlibat banyak dengan Marinda.

"Kamu tidak usah ikut bekerja, Max. Cukup menjadi sponsor peragaan busanaku saja. Selebihnya biar aku yang bekerja. Bantu aku, Max. Aku butuh perusahaan yang bonafit untuk menyokong event ini." Rengek Marinda dengan wajah penuh harap.

"Tapi aku tidak bisa ikut andil di dalamnya. Seperti ucapanku tadi, aku sibuk beberapa waktu ini."

"Its ok! Cukup setujui saja, aku janji tidak akan menyita banyak waktumu. Hanya saja aku akan sering menemui kamu nanti. Sekedar tanda tangan dan mungkin sesekali kamu ikut dalam tahap promosi saja. Tidak lama, hanya beberapa kali saja." Terang Marinda dengan semangat.

"Baiklah, bawa saja draf kerja samanya. Nanti sekretaris ku yang memeriksa nya." Jawab Maxim.

"Thank You, Max. Kamu memang sahabat terbaikku. Cup!" Marinda melayangkan satu kecupan di pipi Maxim sambil merangkul pria itu posesif.

Bersamaan dengan pintu ruangannya terbuka. Sekretaris Maxim terperanjat saat menyaksikan keintiman kedua sahabat itu. Tapi dia tidak ingin ikut campur dan segera menunduk.

"Maaf, Pak. Saya masuk tanpa mengetuk. Tangan saya penuh." Ucap Pria muda itu membela diri dengan mengacungkan tangannya yang memegang nampan berisi minuman pesanan Maxim.

"Letakkan saja disitu, dan kamu boleh lanjutkan pekerjaanmu." Jawab Maxim sedikit gelagapan.

"Baik, Pak. Permisi."

Marinda tersenyum puas dengan usahanya hari ini. Tidak sia-sia pagi ini dia bangun lebih pagi. Setidaknya Maxim telah bersedia menjadi sponsor nya meski masih bersikap dingin padanya.

🍂🍂🍂

Setelah pembicaraan Maxim dan Marinda tempo hari, Marinda pun sekarang sering muncul di kantor Maxim. Ada saja alasannya untuk bisa mengunjungi Maxim dengan alasan kerja sama. Kali ini dia datang untuk meminta tanda tangan berkas yang tertinggal tepat disaat Maxim hendak makan siang.

Tanpa rasa malu Marinda ikut Maxim makan siang di sebuah restoran dekat kantornya meskipun Maxim tidak menawarkan. Seandainya hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu tentu Maxim akan sangat bahagia. Tapi sekarang perasaanya telah memudar dengan sendirinya.

Kini sudah ada Amelia yang mengisi hatinya. Walaupun Amelia masih bersikap dingin padanya. Apalagi kesibukan Maxim membuatnya dia tidak punya waktu untuk mendekatkan diri pada istrinya itu. Bahkan sekarang Maxim jarang bertemu Amelia sepulang dari kantor karena Amelia sudah tidur.

Mengingat Amelia Maxim jadi ingat jika istrinya saat ini sedang mengurus sekolah si kembar. Entah bagaimana cara Amelia mengurus sendirian tanpa dia dampingi. Amelia hanya minta izin padanya untuk mengunakan mobil, tanpa minta diantar. Meski kecewa Maxim berusaha untuk tidak terlalu mengekang Amelia. Mungkin saja Amelia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri setelah urusan sekolah anak-anaknya selesai.

"Max, kenapa melamun. Makanlah!" Teguran dari Marinda menyadarkan Maxim. Kemudian dia melanjutkan makannya.

"Max, aku mau itu dong. Suapi!" Rengek Marinda manja menunjuk sepotong udang pedas manis di piring Maxim.

Dengan setengah hati Maxim nusuk udang itu dengan garpu dan menyuapi Marinda. Marinda menerimanya dengan suka cita. Tanpa malu Marinda menghadiahi Maxim sebuah kecupan di pipinya. Maxim melotot tidak suka.

"Jangan lakukan lagi, aku tidak suka." Sarkas Maxim pelan tanpa membuat keributan

"Aku sayang padamu, apa salahnya hanya sebuah kecupan." Marinda malah mengusap pipi Maxim yang terkena noda saos udang tadi.

"Bagimu mungkin biasa, tapi orang lain melihatnya berpikir kita adalah pasangan suami istri." Jawab Maxim sedikit penekanan.

"Baguslah, setidaknya mereka tidak menganggap kita pasangan mesum." Marinda terkikik geli membayangkan ucapannya itu jadi kenyataan. Tiba-tiba saja Marinda menginginkan hal itu benar-benar terjadi.

"Jangan sembarangan bicara. Selesai makan mu , aku harus kembali ke kantor." Ucap Maxim yang sudah malas melanjutkan makannya. Berlama-lama dengan Marinda membuat Maxim kesal sendiri.

Tanpa mereka sadari seseorang menikmati makan siangnya sambil menyaksikan kebersamaan kedua sahabat itu. Tentu saja dengan penilaian yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya. Jika dilihat dari kejauhan interaksi sepasang sahabat itu layaknya sepasang kekasih. Itulah yang ada di pikiran wanita yang menatap nanar punggung kedua pasangan itu menghilang di balik pintu restoran.

Marinda bergelayut manja di lengan Maxim saat meninggalkan restoran. Meski Maxim telah berkali-kali berusaha melepaskan akhirnya Maxim membiarkan saja, karena tidak mau memancing perhatian pengunjung lain.

Sementara wanita yang menatap kepergian pasangan itu tersenyum miris. Dia berusaha tidak mempedulikan apa yang baru saja dia lihat. Hidupnya memang sudah tidak ada artinya selain dari pada untuk kebahagian anak-anaknya.

Tidak untuk yang lain.....

🍂🍂🍂🍂🍂

Happy Reading ♥

Terpopuler

Comments

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

Merinda merinda atas nama sahabat selalu yg kau ucapkan, kapan dirimu berubah biar lebih terhormat

2024-03-06

0

Zainab Ddi

Zainab Ddi

sabar amelia demi anak2mu

2024-03-02

0

Nining Wahyuningsih

Nining Wahyuningsih

katanya Maxim arogan tapi napa jadi cabe cabe an

2023-12-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!