"Apa kamu yakin? "Pekik Maxim yang sedang bicara dengan seseorang di telpon.
"Tentu saja aku yakin, kamu kira istriku pembohong."
"Sejauh itu? Dia segitu niatnya untuk pergi jauh dariku."
"Ingat, jangan menyakiti nya lagi. Aku sudah berjanji dengan Cahaya, jika kamu berulah aku bersumpah akan aku sendiri yang akan membantunya untuk menghilang. Aku tidak suka melihat istriku bersedih. Ingat itu !"
"*Dasar bucin mani*k. Iya, aku janji. Bilang pada Cahaya, pulau pribadiku miliknya sekarang*."
"Aku tidak mau. Apa kamu ingin Cahaya trauma lagi dengan mengingat peristiwa di pulau itu. Yang lain saja kalau kamu tulus!"
"Baiklah... baiklah! Suruh dia memilih, kamu tahu aset ku ada dimana saja bukan ?"
"Heh... sombong! Ok, asalkan jangan menyesal nantinya."
"Asalkan aku bisa bertemu dengannya dan anakku, aku akan memberikan apapun."
"*Dasar bucin mani*k* ! "
"Tuuut "
Panggilan terputus begitu saja. Maxim tidak peduli, dia langsung menghubungi seseorang lewat ponselnya.
"Yok, aku butuh bantuan mu."
" ..... "
"Nusa Penida, dia di sana. Tolong temukan, dan tolong minta beberapa orang menjaga mereka sebelum aku datang. Jangan sampai terlihat."
" ..... "
"Ok, thanks."
Maxim menatap layar ponselnya setelah panggilan terputus . Sebuah foto seorang wanita yang sedang berbalut selimut putih hingga dada. Rambut yang acak acakan dan terdapat beberapa bekas isapan di leher dan tulang selangkanya yang terekspos. Foto yang sengaja diambilnya saat Amelia tertidur kelelahan setelah melayaninya. Siapa sangka foto itu yang kini dia gunakan sebagai pengobat rindunya.
"Aku menemukan mu, bagaimana kabarmu. Bagaimana kabar bayi kita. Sebesar apa dia sekarang. Apa kamu merawat nya dengan baik. Kamu pasti ibu yang baik, aku percaya itu. Buktinya kamu menahan siksaan ku hanya demi putramu. Kamu ibu yang luar biasa. Aku merindukan mu, Sayang."
Maxim tersenyum, tapi matanya mengeluarkan cairan bening setiap kali mengingat Amelia. Tidak ada yang tahu jika Max seorang Casanova itu sangat rapuh dan cengeng sejak lima tahun yang lalu. Pria yang disegani di dunia bisnis dan ditakuti oleh para karyawan nya. Tapi berubah lemah bila berada di apartemen nya seorang diri. Separuh jiwanya hilang seiring kepergian Amelia tanpa pamit.
🍂🍂🍂
Seminggu berlalu, semua kecemasan Amelia berangsur memudar. Terbukti tidak ada sesuatu pun yang terjadi sejak pertemuan nya dengan Cahaya. Jika memang pria kejam itu mencarinya pasti kini Amelia telah ditemukan nya dengan mudah.
Nyatanya semua hanya ketakutan Amelia semata. Semua berjalan seperti biasa. Amelia kembali menikmati hari harinya seperti dengan damai.Tanpa rasa takut dan merasa terancam lagi. Mungkin dirinya saja yang paranoid. Maxim mungkin sudah lupa dengannya.
Sore ini Amelia pulang dari Cafe dengan mengendarai motor matic nya seperti biasa. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah menyelesaikan laporan keuangan Cafe bulan ini. Tapi dia harus singgah ke rumah Nenek Ida untuk menjemput kedua putrinya
Sesampainya di depan rumah yang bernuansa etnik itu Amelia telah disambut oleh teriakan kedua putrinya. Di belakang putri putrinya seorang wanita tua berusia enam puluh lima tahun menatap dengan senyum.
"Mommy..." Pekik keduanya dengan serempak
"Hai baby, apa kalian menyusahkan Nek Ida hari ini?" Tanya Amelia dengan elusan di kepala keduanya.
"No, kami jadi anak baik hari ini. Iyakan Nek?" Jawab Sidney sambil menoleh ke arah Nenek Ida minta dukungan.
"Iya, kalian baik sekali hari ini." Jawab Nenek ida meluruskan, meski keduanya sangat aktif dan sedikit kesulitan mengawasi mereka. Tapi dia senang karena rumahnya tidak lagi sepi dengan kehadiran kedua bocah itu.
"Maaf, Nek. Aku masih menyusahkan mu menjaga mereka. Setelah mereka sekolah nanti baru agak tenang dan lega."
"Jangan berkata seperti itu terus. Kamu bicara seakan aku ini orang lain saja. Bagiku kamu dan mereka adalah bagian dari hidupku. Tidak usah berpikir berlebihan." Jawab Nek Ida.
"Nenek baik sekali, aku sangat beruntung bertemu denganmu waktu itu." Amelia terlihat berkaca kaca mengingat bagaimana dulu dia bertemu dengan Nenek Ida.
"Sudah jangan mengingat masa lalu jika itu membuatmu sedih. Pulanglah kamu pasti lelah, ini ada lauk untuk makan malam kalian nanti." Nek Ida menyerahkan rantang dua susun pada Amelia.
"Lagi lagi aku merepotkan." Keluh Amelia.
"Tidak merepotkan, itu hasil pancingan para bule bule yang menyewa perahu semalam. Mereka tidak membawa ikannya dan memberikan padaku." Terang Nek Ida.
Nek Ida tinggal seorang diri. Seorang janda tua tanpa anak. Suaminya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu sebelum bertemu dengan Amelia. Suaminya mewariskan beberapa perahu yang disewakan untuk para turis. Dengan itulah Nek Ida memenuhi kebutuhannya selama ini. Dan penghasilannya lebih dari cukup untuk dia nikmati sendiri.
Amelia akhirnya pulang membawa kedua putrinya. Hatinya sangat senang karena tidak lagi repot memasak kali ini. Dia memang sangat lelah. Selesai memandikan anak anaknya dan membersihkan diri Amelia menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga.
Sop ikan Nek Ida menjadi menu makan malam mereka. Kedua putrinya makan dengan lahap. Mereka makan sendiri sendiri. Sejak menginjak usia empat tahun ini Amelia mengajarkan mereka untuk mandiri. Makan , mandi dan gosok gigi serta ke kamar mandi sendiri.
"Mom mau cuci piring dan membersihkan meja, kalian boleh menonton televisi sebentar menjelang tidur." Ucap Amelia sambil membereskan bekas makan mereka.
"Ok, Mom." Keduanya segera beranjak ke ruang tengah. Sementara Amelia membersihkan dapur dan mencuci piring.
Tidak lama berselang terdengar ketukan pintu di pintu depan.
"Bri, bisakah kamu buka pintu. Lihat siapa yang datang, mungkin saja itu Nenek, sweety." Teriak Amelia dari dapur.
"Ok, Mom." Britney langsung berlari ke arah pintu dan membukanya segera.
"Anda siapa, Sir?" Tanya Britney pada tamunya.
"Aku teman ibumu, apakah dia ada? "
"Mommy? Dia ada... tapi Mommy tidak punya teman pria. Apakah anda berbohong?"
Pria itu tercekat mendengar penuturan anak perempuan di depannya. Matanya hendak menghamburkan bendungan nya tapi dengan susah payah dia menahannya.
"Kamu pintar sekali, bilang Mommy ada yang mencarinya." Ucap Pria itu sambil menyamakan posisinya dengan Britney.
"Mommy tidak terima tamu pria jika malam hari. Silahkan kembali besok." Britney mendorong pria itu dan berniat hendak menutup pintu. Tapi Sidney datang menahannya.
"Tunggu Bri ....
"Ada apa? Tutup pintunya sebelum Mommy marah." Ucap Britney pada Sidney.
"Lihat Bri, paman itu punya mata dan rambut mirip kita. Mungkin dia masih keluarga kita." Ucap Sidney tanpa mengalihkan pandangannya dari Pria dewasa di depan mereka. Sedangkan Britney mengikuti arah pandang saudarinya.
"Benar..." Gumam Britney yang baru menyadari nya.
Sementara pria dewasa itu sudah tidak sanggup menahan sesaknya. Dengan pelan dia mendekat dan berniat hendak memeluk kedua kembaran itu. Tapi suara lembut di belakang kedua gadis kecil itu menarik ekstensi nya.
"Bri, Shi ... siapa yang ... kau.... !" Tenggorokan Amelia tercekat. Kakinya lemas tidak bertenaga. Tubuhnya gemetar, beruntung Amelia berdiri di sisi sofa dengan segera dia berpegang agar tidak ambruk ke lantai.
Hal yang paling Amelia takutkan kini terjadi. Pelarian nya selama lima tahun berakhir sia sia. Pria kejam itu kini berada tepat di hadapan nya. Sialnya di hadapan kedua putri kembarnya pula. Tanpa diberitahu pun Maxim pasti menyadari jika kedua gadis kecil itu adalah benih miliknya.
" Bri, Shi... masuklah ke kamar kalian. Biar Mommy bicara dulu dengan paman itu. Sebentar lagi Mommy menyusul." Amelia berusaha setenang mengatur suaranya mungkin agar kedua puti pintarnya tidak menyadari ketakutan nya.
"Ok, Mommy. Jangan lama - lama." Ucap Britney, putrinya yang paling sensitif.
"Ok, Sweety." Jawab Amelia dengan senyuman menutupi wajah ketakutan nya.
Setelah kedua putrinya masuk ke kamar mereka, Amelia kembali menatap pria yang sejak tadi mematung di ambang pintu. Amelia yang tadinya ketakutan kini seketika merubah raut wajahnya menjadi datar dan dingin. Jangan lupa tatapan matanya yang penuh kebencian.
"Untuk apa kamu ke sini. Kedatangan mu hanya mengganggu ketenangan kami. Pergilah sebelum aku berteriak memanggil warga ke sini." Ucap Amelia yang berusaha untuk tidak terintimidasi.
"Mereka kembar? Mereka sudah besar." Maxim malah bicara seakan tidak peduli dengan ancaman Amelia.
"Pergilah, Tuan Maxim. Jangan ganggu kehidupan ku lagi." Suara Amelia bergetar karena amarah yang bercampur ketakutan yang luar biasa.
"Bagaimana mungkin aku pergi, setelah begitu lelah mencari asisten ku yang melarikan benihku. Jangan bercanda Amelia." Maxim yang tadi terlihat terharu kini kembali menjadi Maxim yang arogan. Tatapan tajam dan suara yang dingin yang selalu berhasil menggetarkan semua bawahannya.
"Kamu hanya menyumbangkan benih, Tuan . Tapi akulah yang mengandung dan melahirkan mereka. Jangan merasa memiliki setelah Anda memaksa ku untuk menerima sumbangan anda." Amelia bicara pelan rapi penuh tekanan.
"Tetap saja mereka adalah milikku Amelia. Kamu membawa mereka tanpa izin dan memilikinya sendirian selama ini. Sekarang waktunya aku mengambilnya." Jawab Maxim dengan seringai menakutkan.
"Tidak... kamu tidak bisa mengambilnya." Bentak Amelia.
"Tentu saja bisa! Aku punya segalanya. Bahkan pulau ini bisa aku miliki dalam semalam. Sementara kamu punya apa untuk melawan ku." Maxim tersenyum licik.
Sementara Amelia tertegun memikirkan apa yang Maxim katakan barusan. Otak Amelia sesaat blank dan napasnya terasa sesak. Maxim benar apa yang dia punya untuk melawan pria kejam ini.
"Aku mohon, aku hanya punya mereka biarkan aku memiliki mereka. Please.....
🍂🍂🍂🍂🍂
Hai Readers ♥
Happy Reading
Next... ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
Amelia semoga kali ini nasibmu baik dan Maxim mau menikahimu
2024-03-06
1
Zainab Ddi
😭😭😭kasian amelia
2024-03-01
0
N Wage
dasar maxim egois...arogan.
sudah ketemu aja lagaknya msh begitu...padahal 5 thn hidupmu kacau dan galau😂😂😂😂😂😂
2024-02-11
0