Setelah pembicaraan semalam Amelia merenungkan ucapan Maxim. Seharusnya kedua putrinya tahu kenyataan jika Maxim ayah mereka sebelum pernikahan. Mereka akan bingung kalau nanti Amelia menikah dengan Maxim. Pasti akan banyak pertanyaan yang sulit Amelia jawab.
Bagaimana cara mengatakannya saja Amelia masih bingung. Kedua anaknya sangat pintar, dan Amelia bisa pastikan akan banyak yang ingin mereka ketahui. Amelia tidak akan bisa lolos dengan mudah. Untuk itu Amelia butuh Maxim. Mereka harus punya cerita yang sama dan alasan yang sama. Amelia harus bicara dulu dengan Maxim untuk membahas tentang ini.
Amelia berjalan menyusuri setiap sudut mansion milik Maxim. Bukan untuk tour keliling rumah, melainkan mencari Maxim. Mereka harus bicara sebelum mengatakan yang sebenarnya pada kedua putrinya. Lelah menyusuri lantai dua Amelia berniat hendak turun ke lantai satu. Tapi telinganya mendengar seseorang melangkah menuruni tangga.
Mata Amelia menangkap sosok maskulin yang berdiri tegak tidak jauh darinya. Pria yang terlihat gagah meski usianya cukup matang. Tidak bisa Amelia pungkiri jika Maxim memang tampan dengan wajah bule nya.. Sesaat Amelia terpana dengan penampilan Maxim yang berkeringat dan sedikit berantakan.
"Kamu mau kemana?" Tanya Maxim ketika menyadari posisi Amelia yang berada di ujung tangga.
"Oh... aku... aku mencari mu , ada yang ingin aku bicarakan." Amelia sedikit gugup bercampur malu karena menatap Maxim lama.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Maxim menyeka keringat di wajah dan tubuhnya dengan sebuah handuk kecil sambil memperhatikan Amelia.
"Tentang si kembar."
"Yah... kita harus membahas itu, tapi bolehkah aku mandi dulu. Aku baru selesai nge gym tubuhku lengket dan tidak nyaman." Pinta Maxim.
"Pergilah aku tunggu di balkon itu." Amelia menunjuk sebuah balkon yang menghadap ke halaman depan rumah.
"Ok, sebentar." Maxim melangkah lebar menuju sebuah pintu di lantai yang sama dengan kamar Amelia dan berada tepat di sebelahnya.
Amelia baru menyadari bahwa letak kamarnya dan Maxim bersebelahan. Tanpa memikirkan hal itu lebih lanjut Amelia memilih untuk melangkah menuju balkon. Ada sebuah sofa minimalis di sudut yang terhalang tembok yang ditata mengelilingi sebuah meja bundar. Tatanannya di desain untuk bersantai.
Amelia duduk di sana sambil menyandarkan tubuhnya. Dua hari sudah Amelia di sini baru kali ini dia keluar kamar selain waktu makan. Tubuhnya yang masih lemas membuatnya malas untuk banyak bergerak. Berbeda dengan kedua bocah aktif kembar itu. Entah di mana mereka sekarang. Setelah kedua putrinya menyambangi kamarnya tadi, Amelia tidak lagi melihat keduanya.
Beberapa saat kemudian Amelia mendengar langkah kaki yang mendekat. Aroma sabun mandi yang menyegarkan tercium oleh indra penciuman nya. Maxim datang dan langsung duduk di sebelah Amelia dengan posisi sama- sama menghadap ke arah jalan raya. Tapi tetap berjarak tidak terlalu dekat.
"Apa yang akan kita bahas?" Tanya Maxim lebih dulu.
"Aku ingin mengatakan pada mereka tapi berdua denganmu. Untuk itu kita perlu memberikan jawaban yang sama agar mereka tidak terlalu banyak bertanya karena bingung ." Jelas Amelia sambil menatap lurus ke depan.
"Kalau begitu biarkan aku yang bicara tapi tetap harus kamu dampingi." Maxim bicara sambil menatap Amelia dari samping. Wanita itu terlihat kaku dan menghindari tatapan Maxim. Membuat Maxim sedikit penasaran.
"Ok, aku setuju. Tapi bagaimana menjelaskan nya?" Amelia menoleh ke arah Maxim yang ternyata menatapnya.
"Serahkan saja padaku, kamu nanti mengiyakan saja apa yang aku katakan pada mereka." Amelia mengangguk setuju dan menatap langit biru di kejauhan.
"Hah... ini seperti menghadapi sidang dengan dosen killer. Mereka sangat pintar dan kritis. He... he..." Untuk pertama kalinya Amelia melihat Maxim terkekeh seperti itu." Terima kasih telah membesarkan mereka dengan baik."
Wajah kejam itu menghilang entah kemana. Maxim seperti sosok yang berbeda saat bicara hangat tanpa tatapan intimidasi andalannya. Pertama kali Maxim bicara santai tanpa penekanan dan arogansi. Amelia terkesima dan terpesona sesaat , tapi segera mengubah kembali persepsi saat dia sadar telah menatap kagum pada pria yang membelenggu hidupnya .
Beberapa langkah kaki terdengar mendekat. Maxim menoleh dan menemukan dua orang yang sedang dia tunggu. Tapi kehadiran tamu itu membuat Amelia terlihat tidak suka. Berbeda dengan kedua tamu itu malah sangat bahagia.
"Wah... calon pengantin auranya memang berbeda, begitu segar." Goda Doni, suami Cahaya memberikan salam ala pria pada Maxim dan menunduk sedikit untuk menyapa Amelia .
Begitu juga Cahaya yang langsung memeluk Amelia tanpa ragu ragu. Amelia bisa melihat pancaran kebahagiaan di mata wanita bercadar itu.
"Senang bisa bertemu dengan mu lagi, Amelia." Sapa Cahaya setelah melepaskan pelukannya. Amelia hanya diam tanpa bereaksi apapun. Hatinya masih marah pada wanita bercadar ini.
"Sayang, kamu di sini sebentar, ya. Abang mau bicara dengan Max." Ucap Doni pada Cahaya.
"Iya... Bang, pergilah." Balas Cahaya lembut.
"Pinjam Max sebentar Amelia." Kedua pria itu akhirnya berjalan menjauh dan masuk ke ruangan yang tadi Maxim masuki.
"Amelia, bagaimana kabarmu." Cahaya menyapa Amelia terlebih dahulu.
"Berkat dirimu kini aku kembali terpenjara di sisi pria kejam itu, Cahaya." Balas Amelia tersenyum sinis .
"Maafkan aku jika aku ikut campur dalam masalah mu dengan Max. Kami hanya kasihan padanya yang begitu menderita sejak kehilangan dirimu."
"Kasihan...? Lucu sekali kamu Cahaya. Akulah korbannya di sini tapi kalian malah kasihan padanya. Kamu tahu Cahaya, Maxim itu sangat kejam dan kasar. Akulah saksinya. Seperti halnya Fakhrul menyakitimu, seperti itu juga Maxim memperlakukanku. Apa kamu puas Cahaya, dendammu terbalaskan." Dada Amelia naik turun terbawa emosi.
"Aku sudah merasakan apa yang kamu rasakan, Cahaya. Meski durasinya tidak selama dirimu. Tapi sakitnya sama saja. Bagaimana rasanya di gauli dengan kasar dan dilukai. Disaat dia menikmati tubuhku tanpa perasaan dia memaki orang lain. Tidak cukup hanya memaki dia juga memukuli. Apa itu belum cukup, Cahaya. Kenapa kamu kembali menyerahkan aku pada pria itu. Segitu besarkah dendammu padaku. Aku seorang ibu Cahaya, tidak bisakah aku mendapatkan pengampunan atas nama seorang ibu."
Amelia tidak mampu lagi menahan ratapan nya. Tubuhnya terhempas di sofa dengan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Cahaya ikut menangis seakan merasakan penderitaan Amelia. Rasa sakit yang Amelia katakan terasa menyayat kulitnya. Cahaya tahu bagaimana rasanya.
"Kamu salah paham, Amelia. Aku tidak dendam padamu. Aku hanya ingin kamu dan putri kembar mu bahagia. Max telah berubah. Banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu dan Maxim dia juga menderita sama seperti mu. Percayalah, Amelia. Semua tidak seburuk yang kamu pikirkan." Ucap Cahaya di sela tangisnya.
Amelia menatap Cahaya dengan nanar. Senyumnya terlihat kecut mentertawakan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai ucapan Cahaya. Nyatanya yang Amelia rasakan sangat berbeda. Maxim masih seperti Maxim yang dulu.
"Hanya aku yang bisa merasakan nya, Cahaya. Hanya aku yang bisa menilainya. Tidak ada yang berubah, Maxim tetap pria arogan yang akan melakukan apapun untuk membuatku mati pelan-pelan. Kalian hanya melihat sisi lain yang sering kalian lihat, tapi tidak dengan ku." Amelia merendahkan nada suaranya. Dia lelah, hatinya lelah. Baik Cahaya atau siapapun tidak akan memahami dirinya.
"Amelia, beri Maxim sedikit waktu. Aku yakin dia bukan berniat seperti itu." Bujuk Cahaya.
"Terserah padamu, Cahaya. Percaya atau tidak, tak ada ubahnya untukku. Aku akan tetap menjadi seperti yang Maxim mau." Balas Amelia lirih.
🍂🍂🍂
Sepulangnya dari rumah Maxim, Cahaya tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun. Doni suaminya merasa ada yang dipikirkan oleh istrinya. Doni pun meraih tangan Cahaya yang sedang merenungi ucapan Amelia tadi .
"Ada apa?" Tanya Doni
"Apakah Amelia akan baik-baik saja. Aya takut keputusan untuk memberitahukan Maxim keberadaan Amelia adalah keputusan yang salah. Amelia terlihat menderita saat ini. Dia begitu tertekan dengan pernikahan ini, Bang. Menurut Abang apa Max bisa kita percaya?" Tanya Cahaya dengan gundah.
"Maxim pada dasarnya baik, Sayang. Abang sudah dua puluh lima tahun berteman dengannya. Apa yang terjadi pada Amelia dulu juga bukan Max lakukan dengan sengaja. Dia mabuk dan hatinya sedang patah. Meski Abang juga mengecam perbuatannya. Tapi hukuman selama lima tahun ini cukup untuknya berubah menjadi lebih baik." Doni mencoba menenangkan hati Cahaya.
"Bisa saja kan, Max punya kepribadian ganda. Buktinya Amelia mengatakan hal yang berbeda pada Aya." Tatap Cahaya curiga.
"Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Nggak ada seperti itu. Max normal, hanya saja dia harus sedikit memaksa Amelia agar mau menikah dengannya. Max hanya ingin mengikatnya, setelah itu barulah Max akan mengambil hatinya sedikit demi sedikit." Terang Doni.
"Semoga yang kamu katakan benar, Bang. Dan semoga mereka bahagia." Cahaya hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Sungguh Cahaya hanya ingin yang terbaik untuk semua orang.
🍂🍂🍂🍂🍂
Mohon di
like
Comment
Vote
Gift
Happy Reading ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Zainab Ddi
sabar amelia srmoga ini jalanmu untuk bahagia
2024-03-01
1
LISA
Moga Max dan Amelia bahagia bersama putri2 nyq
2024-01-04
1