REINKARNASI : MTC__20

Setiap hari berlalu dengan tanpa ampun, hampir seminggu terakhir Lucy terkurung, tanpa izin dari presdir Victor untuk melangkah keluar rumah, bahkan untuk sekadar pergi ke sekolah sekalipun.

Baginya, pemulihan kesehatan Lucy menjadi prioritas utama, meskipun senyum terpancar di wajahnya, bayangan beban pikiran telah lenyap tanpa bekas.

Namun, keheningan di dalam kamar dan keliling rumah hanya meningkatkan rasa sumpek yang menyelimuti Lucy. Ia merindukan hembusan angin segar dan kebebasan menikmati udara di luar.

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dari dokter dan psikiater pribadi keluarganya, Lucy dipastikan pulih sepenuhnya. Besok, pintu-pintu kehidupan yang sempat terkunci baginya akan terbuka kembali, termasuk kembali ke sekolah.

Seragam sekolah lama, yang rusak akibat insiden sebelumnya, telah dibuang oleh presdir Victor dan digantikan dengan yang baru.

Di malam hari yang sunyi, Lucy berdiri sendiri di balkon kamar. Angin malam menyapu lembut rambutnya sambil matanya memandang langit malam yang penuh bintang, menciptakan suasana yang begitu memikat.

Kini, tanpa kehadiran Mbak Martini, yang telah meninggalkan tugasnya sebagai pendamping Lucy, gadis itu menemukan kedamaian di tengah malam yang penuh kenangan.

***

Di sudut ruangan yang gelap, Nathan merasakan kehadiran ketakutan yang merayap di sekitar kamarnya. presdir Victor, sang ayah, telah melangkah keluar untuk urusan bisnis setelah tangannya pulih.

Meskipun kerinduan terhadap Lucy menyelimuti dirinya, langkah-langkahnya terasa berat, dan permintaan maaf yang hendak disampaikan masih terasa terjatuh dalam keheningan. Belum satu kata pun terucap dari bibirnya, bahkan percakapan dengan Lucy belum pernah terjadi.

Rasa khawatir melanda hatinya, diiringi oleh ketegangan yang semakin memuncak. Jantungnya berdegup-dugup lebih cepat, dan matanya merasakan hadirnya bayangan hitam yang melintas dengan cepat.

Sekejap, Nathan berlari menuju tempat perlindungan di atas kasurnya, menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. Keringat dingin mengalir, udara terasa pengap, namun ketakutannya membeku sehingga ia tidak berani melonggarkan cengkeraman selimutnya.

Rasa cemasnya semakin intens ketika langkah-langkah yang terdengar jelas merayap di telinganya. Imajinasinya melukiskan gambaran mahluk besar berbulu yang menghuni rumahnya.

"Nathan."

"AAAAAAAAAAAAAW!"

Jeritan keras meledak dari bibirnya, dan di sampingnya, Lucy mencoba dengan sigap untuk menenangkannya, menciptakan suasana dramatis yang menyelimuti ketidakpastian malam itu.

"Nathan, coba tenang, ini aku! Lucy!" Lucy berbicara dengan ekspresi bingung yang membuat keningnya berkerut.

Sontak, sebuah keheningan mencekam menyelimuti Nathan. Dengan hati-hati, ia meraih ujung selimut dan membukanya perlahan, mencoba memastikan bahwa mahluk di sisinya benar-benar Lucy.

Namun, wajah Nathan masih terpancar ketakutan. "Lucy?" tanyanya pelan, mencari kepastian. "Kenapa kau di sini? Apa yang sedang terjadi?"

"Aku...uhm... Itu... Apa namanya," Lucy menjawab tidak jelas, matanya terus bergerak mencari keberadaan yang mungkin tersembunyi di setiap sudut. "Aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu."

Dengan hati berdebar, gadis itu duduk di atas kasur Nathan. Kepalanya menunduk sambil tersenyum tipis. "Belakangan ini, kita jarang mengobrol, ya?" ucapnya sambil merasa malu.

Nathan membuka selimut perlahan, duduk dengan wajah yang memancarkan kesedihan.

Lucy memandang Nathan dengan tatapan pilu. "Maafkan aku, jika selama ini aku membuatmu kerepotan, juga presdir Victor," jelasnya sambil tersenyum tipis, meski matanya terlihat sayu.

"Tidak," bantah Nathan cepat. "Kau tidak pernah merepotkanku. Aku yakin ayah pun akan berbicara seperti itu."

Pandangan Nathan kembali berpaling. "Sebenarnya, aku yang membuatmu berisiko dan hampir membahayakanmu." Suasana dramatis semakin merayap di antara mereka.

Berat sekali bagi Nathan untuk mengucapkan kata maaf, padahal momen yang tepat tengah berlangsung. Namun, rasa malu yang melanda dirinya menghambat langkah-langkahnya. Takut bahwa permintaan maafnya tidak akan diterima oleh Lucy, kedua tangannya memegang erat kepala, kekesalan terpatri dalam dirinya.

"Kejadian itu begitu mendadak," Lucy berdiri, bergerak perlahan menuju pintu balkon kamar. Dengan langkah pasti, ia keluar dan menyandarkan kedua tangannya di pagar balkon. Matanya kembali terpaku pada langit yang gelap dan indah.

Pandangan Nathan terus mengikuti setiap langkah Lucy. Ketika gadis itu melangkah keluar, Nathan pun mengikutinya dan berdiri diam di tengah pintu.

"Saat itu, ketakutan merajalela dalam diriku. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya menjerit, berteriak meminta pertolongan, namun semuanya terasa sia-sia." Lucy berhenti sejenak, dan Nathan hanya bisa diam, mendengarkan curahan hati yang mengalir begitu tulus.

Lucy berbalik, menatap Nathan, namun pria itu memilih memalingkan pandangannya. "Yang terpatri di pikiran ini saat itu hanyalah kalian berdua, kau dan presdir Victor. Aku berharap kalian akan menyelamatkanku, melindungiku dari ancaman perkosaan dan rencana pembunuhan Tuan Denny." Suasana dramatis semakin menyelimuti mereka, membawa beban emosional yang mendalam.

Air mata tiba-tiba mengalir deras, menandai kesan mendalam dari cerita Lucy. "Beruntunglah, presdir Victor datang dan menyelamatkanku, membelaku," Lucy mengusap air matanya, mengungkapkan rasa syukur yang mendalam. "Entah bagaimana jika tanpa kehadirannya, mungkin aku sudah tak waras menerima kenyataan ini."

Semua beban curahan hati Lucy membuat tekanan semakin terasa bagi Nathan. Rasa bersalah semakin mencengkeram, menyadari bahwa tindakannya telah membatasi gadis itu bersama keluarganya.

Kedua tangannya kembali menggenggam erat, merasa dirinya begitu ceroboh dan egois. Hatinya hancur, merasa telah melemparkan Lucy ke dalam jurang tanpa ampun.

"Lucy," ucap Nathan dengan tatapan penuh penyesalan pada gadis yang ada di depannya. "Aku mohon maaf, sungguh aku minta maaf. Aku tahu aku brengsek, aku salah telah membiarkanmu merasakan siksaan yang merusak batinmu. Aku sungguh minta maaf." Suaranya gemetar.

Pria itu terduduk di atas lantai, air matanya tiba-tiba mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Nathan merasa sangat bersalah dan merasa tak layak mendapatkan belas kasihan dari Lucy.

Lucy ikut menangis, meskipun terdiam, matanya terus menatap Nathan yang sedang meratapi kesedihannya. Suasana dramatis menggelayuti mereka, membawa ke dalam aliran emosi yang mendalam.

Malam semakin larut, dan hening melibas ruangan setelah tangisan air mata mereda. Sebuah sunyi yang terasa begitu berat tanpa sepatah kata pun yang terlontar.

Langkah Lucy melaju perlahan, memecahkan keheningan. "Aku merasa sedikit lega sekarang, terima kasih sudah mendengarkan semua keluhan dan curahan hatiku," ucapnya, menyiramkan sedikit cahaya pada suasana yang tegang.

Nathan terdiam, mata memperhatikan setiap Demi-langkah kaki Lucy yang menjauh. Semakin jauh ia memandang, semakin terasa bahwa ketakutan menyelinap kembali, menghampirinya di kamar sepi.

"Tunggu, Lucy," ucapnya, berdiri dan mendekati gadis itu dengan ragu. "Bolehkah aku tidur bersamamu?" Tanya Nathan dengan raut wajah malu-malu.

"Tentu," jawab Lucy dengan senyum lembut. "Tapi ingat, bantal guling sebagai penengah," imbuhnya sambil meninggalkan Nathan.

Dengan hati berdebar, Nathan berlari mengejar Lucy menuju kamar, mencari kehangatan dan perlindungan di dalam pelukan gadis yang telah berbagi beban dan cerita dengannya. Suasana dramatis dan emosional semakin terasa, membentuk kisah yang terikat erat oleh hubungan mereka.

***

Esok hari tiba, dan mereka bertiga duduk bersama untuk sarapan di meja makan. Suasana penuh keceriaan menyelimuti wajah mereka, menciptakan sorotan senang di mata presdir Victor.

"Bagaimana perasaanmu, Lucy?" Tanya presdir Victor, pandangannya lembut memelototi Lucy.

Lucy mengangguk, semangatnya berkobar-kobar, kembali siap untuk melangkah kembali ke dunia sekolah.

"Lalu, Nathan? Bagaimana kabarmu?" Tak lupa, presdir Victor juga memandang Nathan dengan tanya.

"Sama, sangat bersemangat," jawab Nathan dengan senyuman yang memancar kegembiraan.

presdir Victor memberikan nasihat kepada Lucy untuk pergi ke sekolah bersama, tidak ingin melihatnya pulang pergi sendirian. Ia ingin memastikan bahwa kejadian yang menimpa anak angkatnya tidak akan terulang.

Di sekolah, mobil Aston Martin presdir Victor menempati tempat di samping sekolah, bersanding dengan deretan kendaraan mewah lainnya. Pintu mobil terbuka, dan seperti biasanya, Nathan melangkah keluar, menciptakan momen dramatis yang memulai kembali kehidupan normal mereka.

Namun, yang menarik perhatian adalah presdir Victor yang selalu memancarkan kegantengan, seolah memikat tanpa harus melakukan upaya khusus.

Semua murid terpesona oleh aura ketampanan dan karisma dari duda beranak dua ini. Meskipun keramaian sekolah menggema di sekitarnya, presdir Victor tampak abai terhadap perhatian yang diterimanya. Satu-satunya pikirannya adalah untuk mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan penuh perhatian.

Namun, kehebohan semakin merajalela ketika Lucy turun dari mobil presdir Victor. Rasa penasaran menyelimuti semua murid, memunculkan pertanyaan di benak mereka mengenai bagaimana seorang gadis dari kalangan yang kurang mampu bisa berbagi mobil dengan idola sekolah mereka.

Bahkan Tiana, yang notabene menjadi penguasa sekolah, terkejut oleh kejadian tersebut. Rasa kesal melanda dirinya, merasa bahwa idolanya telah terpesona oleh gadis yang dianggapnya murahan, menggelitik hasratnya untuk memainkan permainan yang tak terduga dengan Lucy.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!