Malam gelap menyelimuti rumah, seakan menciptakan latar belakang yang cocok untuk pertemuan mereka. Udara yang menusuk kulit itu menjadi saksi bisu bagi kesunyian yang merajai ruangan setelah kepergian sang ayah. Nathan, dengan nada serius, meminta Lucy untuk mendengarkan ucapannya sejenak.
Kedua tangan Nathan menyilang, dan Lucy merasa seolah berdiri di ambang kehampaan. Nathan, dengan wajahnya yang tegang, berbalik perlahan, membelakangi Lucy yang terus menatapnya dengan mata penuh pertanyaan.
"Kau tahu, aku tak ingin nama baik ayahku tercoreng hanya karena kita memberimu tempat, terutama dengan latar belakangmu yang tidak jelas," ujar Nathan sambil memandang langit-langit, mengisyaratkan beban berat yang dipikulnya.
Dia melangkah perlahan mendekati Lucy. "Jadi, aku mohon, hindarilah terlibat terlalu dalam dengan ayah atau bahkan denganku saat di luar rumah ini."
Lucy merasa hembusan angin malam semakin menusuk, dan dia meresapi kata-kata Nathan. "Tentu, aturan itu berlaku di mana pun, termasuk di sekolah. Jangan sekali-kali mencoba menyapa atau berbicara seolah kita memiliki hubungan," Nathan berkata, matanya menembus ke dalam jiwa Lucy. "Aku harap kau paham. Ini bukan tentang membencimu, tapi tentang menjaga posisi ayahku sebagai presdir ternama saat ini."
Pembicaraan terasa seperti beban berat yang ditinggalkan di ruangan itu ketika Nathan melangkah pergi, meninggalkan Lucy meratapi kesendirian. Merasa tenggelam dalam ketidakpastian, gadis itu mencoba mentaati permintaan putra presdir, meskipun hatinya dipenuhi oleh rasa tak berdaya dan kebingungan.
***
Terperangkap dalam keheningan kamarnya, Nathan merenung tentang kata-katanya yang telah terlontar kepada gadis yang kini berdiam di dalam rumahnya. Meski menyadari bahwa ucapannya menusuk hati, ia merasa terikat untuk melakukannya demi menjaga kehormatan keluarga.
Beberapa jam setelah memberikan wejangan pedas kepada Lucy, Nathan memutuskan beristirahat di atas kasur empuknya. Namun, meskipun tubuhnya berada dalam kenyamanan, jiwa dan pikirannya diselimuti oleh kegelisahan yang tak terelakkan. Cemas merayap masuk ke dalamnya, membuat tidur menjadi sesuatu yang sulit dijangkau, seolah ada kehadiran tak kasat mata yang terus mengamatinya dari keheningan kamar.
Mata Nathan terus terjaga, merayapi hawa negatif yang merajai pikirannya. Tangannya gelisah memainkan layar ponsel, mencoba mencari pelarian dari ketegangan yang melingkupinya, sambil berharap ayahnya segera kembali.
Namun, rasa malu membayangi Nathan, terutama karena Lucy ada di rumah untuk menemani dirinya. Menelpon ayahnya menjadi suatu tindakan yang sulit, apalagi mengingat tujuan kehadiran Lucy adalah untuk mengisi kesendirian Nathan.
Ayahnya sendiri telah memberikan perintah jelas agar tidak diganggu saat sedang bekerja. Dalam kebimbangan, Nathan menyadari bahwa Lucy berada di samping kamarnya, dan pada akhirnya, ia memilih memendam kegelisahan tersebut, berharap bahwa ayahnya akan segera kembali untuk mengakhiri ketidakpastian yang menyelimuti malamnya.
Dengan pandangan yang penuh kecemasan, Nathan merenung, mencari jawaban di dalam kamarnya yang kian hening. Ilusi yang menghantuinya seolah memuncak, membuatnya yakin bahwa sesuatu yang tak tampak oleh mata sedang mengintainya. Tanpa ragu, dia bergerak cepat, meluncur dengan cepat seolah dikejar bayangan yang tak terlihat, dan dengan gencar menggedor pintu kamar Lucy.
"Lucy... Lucy... Tolong, buka pintunya!" serunya panik, matanya mencoba menangkap sosok yang entah dari mana.
Tak berapa lama, pintu terbuka, dan Lucy muncul dengan raut heran di wajahnya. Pandangannya kemudian tertuju pada Nathan yang terkapar di lantai.
"Apa yang terjadi, Nathan?" tanya Lucy, tatapannya penuh kebingungan.
Nathan, yang mulai tersadar dari kepanikannya, bangkit sambil mengatur ulang pakaian yang kusut. "A... Aku bisa minta sesuatu?" ucapnya ragu.
"Tentu, katakan saja," jawab Lucy sambil tersenyum, mengingat momen pertama kali Nathan meminta tolong dalam kisah novel mereka.
"Bolehkah kau membuka pintu kamarmu?" pintanya dengan ragu.
"Wa...wajahmu kenapa begitu?" Lucy bertanya, mencurigai bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"A... Aku hanya khawatir untukmu. Takut kalau-kalau kamu merasa sendiri di kamar yang begitu luas ini," Nathan menjawab sambil tetap menatap tanah, wajahnya dipenuhi rasa canggung.
Lucy dengan senyum liciknya sudah mengantisipasi keinginan Nathan. Meski tahu kemana arah permintaan itu akan berujung, gadis itu memutuskan untuk sedikit bersenang-senang dengan ketakutan anak presdir Victor yang terkenal penakut.
"Aku sama sekali tidak takut. Jadi, tidak perlu khawatir," ucap Lucy mantap sambil menutup pintu kamarnya, memberikan sentilan kegembiraan dalam raut wajahnya.
Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh ketukan keras Nathan yang kembali menghantui pintu kamar Lucy. "Tunggu-tunggu," ucapnya panik, suaranya terdengar cemas.
Gadis itu membuka pintu kamarnya sekali lagi, menatap Nathan dengan ekspresi heran. "Ada apa?" Tanya Lucy, mencoba menahan senyum nakal.
"Tapi aku masih merasa khawatir. Jadi, aku harap kamu bisa terus membuka pintu kamarmu sampai pagi," jelas Nathan dengan raut wajah yang malu-malu.
Lucy, yang menikmati permainan psikologis ini, dengan santai menyetujui permintaan Nathan. Dengan langkah ringan, ia kembali menuju tempat tidurnya, membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar tanpa sehelai pun ketakutan yang menghampirinya.
Dalam ketenangan yang bersifat menyesatkan, Nathan mengarahkan langkahnya kembali ke kamarnya, mengabaikan penutupan pintu. Keyakinannya akan keamanan seolah menjadi bayang-bayang yang merayap dalam benaknya, dan ia berharap bisa meraih tidur yang damai. Namun, harapannya runtuh seperti reruntuhan ketika dirinya kembali dihantui oleh kehadiran tak terlihat, khususnya dari sudut terbuka pintu kamar.
Nathan terperangkap dalam rasa takut yang semakin meluas, mencoba melindungi dirinya dengan merapat di bawah selimut. Tetapi, rasa takutnya tumbuh tanpa kendali, dan ilusi mengerikan semakin menggelayuti pikirannya, memaksa langkah-langkah tergesa-gesa menuju kamar Lucy.
"AAAAAAAAAAAAHH!"
Teriakan Nathan menusuk malam, menciptakan kejutan luar biasa ketika melangkah ke dalam kamar Lucy. Di sana, gadis itu berdiri di ambang pintu dengan penampilan yang menggambarkan keheranan.
Lucy sudah meramal bahwa Nathan akan meluncur kembali ke kamarnya dengan kecepatan yang luar biasa. Dengan hasrat untuk memberikan kejutan, dia berupaya menjahili pemuda itu dengan tampil mendadak di depan pintu.
"Kenapa kau berteriak, Nathan?" Tanya Lucy pura-pura tak tahu, senyum misterius terukir di wajahnya.
"A... Anu bo...boleh aku tidur di kamarmu?" Tanya Nathan malu, wajahnya memancarkan ketidaknyamanan.
Lucy dengan senang hati memberi izin, namun alih-alih menemani, gadis itu justru meninggalkan Nathan dalam keadaan kebingungan.
"Kau mau kemana?" Tanya Nathan heran, mata bulatnya mencari jawaban.
"Ke kamarmu."
Wajah Nathan terpenuhi kebingungan, Lucy menikmati momen sedikit lebih lama untuk menjahili Nathan.
"Ma... Maksudku, kita berdua tidur sekamar," ucapnya, mata Nathan bermain-main dengan rasa gundah. "A... Aku tidak bermaksud aneh-aneh.. Hanya saja, aku takut tidur sendiri," ucap Nathan dengan kepala tertunduk, ekspresi penuh rasa bersalah dan kesedihan.
Dengan senyum yang terukir di bibirnya, Lucy melangkah mendekati Nathan, memberinya izin untuk berbagi kamar, tetapi di balik senyumnya, tersembunyi kejadian yang akan membuka babak konflik baru dalam kisahnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments