Tapi akhirnya, sang ayah yang gagah itu menyerah. Dengan gemulai, tangannya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet, lalu meminta Mbak Martini memberikannya pada Lucy. Sebuah tawar-menawar tanpa kata-kata, namun penuh makna dalam setiap keping uang yang berpindah tangan.
Ketika mbak Martini memberikan uang itu, Lucy merasa seakan presdir Victor memberinya lebih dari yang seharusnya. Kesadaran menyusup, uang memiliki kekuatan, namun fasilitas hidup mewah sudah cukup untuknya. Ia tak ingin terlalu banyak terbebani oleh budi.
"Ya sudah, aku akan berangkat duluan."
Lambaian tangan Lucy memberikan isyarat perpisahan yang sarat makna. Tersenyum, presdir Victor membalas dengan anggukan, menunjukkan pengertian pada keputusan gadis itu.
Sekarang, hanya tinggal presdir Victor dan Nathan di meja makan yang dihiasi oleh aroma roti dan segarnya susu.
"Nathan, ayah titip Lucy padamu," pintanya kepada anaknya. Sambil memegang roti di tangan, tatapan presdir terfokus pada Nathan, menciptakan kesan serius dalam setiap kata yang diucapkannya. "Lagipula, dia sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kita." Suara ayah itu melintasi ruang pagi yang kian berseri, membulatkan makna kehangatan dalam setiap ikatan keluarga yang terpatri di antara mereka.
"Ia, ayah," jawabnya dengan singkat dan lugas.
Nathan kemudian melibas roti di tangannya, menikmati setiap gigitan dengan penuh selera, sementara gelas susu di depannya menjadi saksi bisu ketika ia meminumnya hingga tetes terakhir. Dengan wajah yang mempertahankan ketidakberdayaannya, ia melangkah meninggalkan meja makan, menyisakan presdir Victor sendirian dengan gundah dihatinya.
Sang presdir memperhatikan ekspresi Nathan yang terasa berbeda dari hari-hari biasanya. Rasa kegagalan menyergapnya, merentangkan bayangan bahwa mungkin ia tidak berhasil menjadi ayah yang sempurna bagi anaknya. Menghirup udara pagi, ia juga menduga bahwa perubahan dalam hati Nathan mungkin terjadi karena langkahnya mengadopsi Lucy. Meski demikian, dalam keadaan apapun, hatinya tak rela melihat gadis itu terjebak dalam pusaran kehidupan dewasa di luar sana.
Namun, dalam kegalauan hatinya, presdir Victor menyimpan harapan. Ia berharap agar ke depannya, Nathan dapat merangkul kehadiran Lucy. Dan lebih dari itu, ia berdoa semoga kedua anaknya dapat membangun keharmonisan layaknya saudara yang saling menyokong dan menguatkan, sebuah gambaran indah yang terpikirkan dalam sudut-sudut pikirannya yang gelap.
Setelah sarapan menemui akhirnya, pria tampan itu menyentuh jas yang tergeletak di kursi, memperolehnya dengan gemulai, lalu menjadikannya lapisan kedua pada tubuhnya. Dengan langkah cepat, ia melintasi ruang menuju mobil, masuk tanpa sepatah kata.
Matanya menangkap gambaran anak tunggalnya yang terus-menerus terlihat cemberut. "Ada apa denganmu?" Tanya presdir Victor, rasa khawatir menguar dari suaranya.
Namun, Nathan hanya menggeleng tanpa memberi penjelasan apapun.
"Jika tidak ada masalah, mengapa kamu tetap diam?" ucap presdir Victor dengan sorot cemas di matanya. "Apakah kamu tidak setuju Lucy tinggal bersama kita? Menjadi anak angkat ayah?" Lanjutnya, penuh keraguan.
Kepala Nathan menunduk, kesunyian terbentang di antara mereka. Sejenak yang terasa begitu panjang, membuat presdir Victor semakin terjerat dalam kekhawatiran dan kebingungan. Ia berusaha mencari jalan bagaimana membuat anaknya kembali merasa bahagia, tanpa melukai perasaan orang lain, terutama Lucy.
Tidak mungkin untuk mengembalikan Lucy pada ibunya, seorang wanita yang tampaknya memiliki kegilaan yang dapat mengorbankan kebahagiaan anaknya demi keuntungan finansial.
"Maafkan ayah, ayah tahu belum bisa menjadi orang tua yang sempurna bagimu."
Dengan ungkapan penyesalan itu tergantung di udara, kisah mereka masih bergelut dalam benang merah tak pasti, menanti kelanjutan yang penuh intrik dan emosi.
Bersambung......
Di SMA Swasta Bakti Utama, sebuah institusi yang mencitrakan kemewahan dan prestise, suasana pagi seperti diambil langsung dari pementasan kehidupan elit. Deretan mobil mewah berjejer seolah memberikan tanda kehadiran para pewaris tahta, anak-anak orang berpangkat tinggi yang tengah diantar menuju gerbang keemasan sekolah.
Sementara sinar matahari menyapa dengan gemerlap, kehadiran sebuah angkutan umum di antara kemegahan mobil pribadi mengundang keheranan dan kekaguman. Mata semua orang terfokus pada pintu angkutan itu, mencari tahu siapa yang berani melangkah dari dunia yang berkilauan menuju arena sekolah ini.
Dengan langkahnya yang penuh keberanian, Lucy turun dari angkutan umum itu. Rambutnya yang bergelombang tergerai indah seiring hembusan angin, menciptakan aura keanggunan yang kontras dengan kemewahan sekitarnya. Tangan lentiknya dengan tanpa ragu mengeluarkan uang, sebuah tindakan sederhana namun mencolok di tengah kemegahan sekolah elit ini. Uang itu, bukan sembarang uang, melainkan pemberian presdir Victor, menambahkan elemen misteri dan ketegangan dalam kehidupan para siswa yang selalu dijejali dengan kemudahan dan keistimewaan.
Dengan gerakan gemulai, Lucy membiarkan jari-jarinya meluncur lembut ke kiri dan kanan, menghibas rambutnya yang indah. Sorot matanya menangkap beberapa jiwa yang terpesona oleh pesona kecantikannya. Namun, tak semua mata memandang dengan penuh kagum, sebagian bersuara, merembet kabar tentang kedatangannya dengan menggunakan angkutan umum.
Langkah Lucy terasa berat, seperti memikul beban tak terlihat di pundaknya, namun dia melangkah dengan tekad yang tegas ke arah gerbang sekolah. Ia berjalan dengan penuh keyakinan, tanpa memedulikan gemuruh yang telah diciptakannya di seluruh penjuru sekolah.
Reaksi beragam memenuhi ruang keheningan sekelilingnya. Lucy menangkap pandangan julid, penuh keingintahuan, dan bahkan kagum yang terukir di wajah-wajah yang menyaksikannya. Meski demikian, ia menyimpan segala perasaan itu di balik ekspresi wajah yang tenang.
Kisah Lucy menjadi bahan obrolan di antara siswa-siswa sekolah ini. Kabar menyebutkannya sebagai murid baru yang wajahnya masih asing bagi sebagian besar. Ada yang berbicara tentang kemungkinan Lucy menerima beasiswa karena kecerdasannya, sementara yang lain berspekulasi bahwa ia adalah anak dari rakyat jelata.
Cibiran-cibiran mulai berdesir dari bibir-bibir para murid, menciptakan sorotan sinis yang melibatkan Lucy. Meski dihadapkan pada celaan, gadi itu tetap tak bergeming, menyadari betul bahwa ia menjadi bahan obrolan, dan apa yang sedang ia alami kini tak ubahnya seperti babak baru dalam cerita yang pernah ia dengar.
Bibirnya melengkung dalam senyuman, seakan-akan dunia ini tidak membebani pikirannya. Lucy menyadari bahwa sejumlah murid mengikuti langkahnya di belakang, meskipun mereka berusaha menyamar sebagai pengikut yang acuh tak acuh.
Dalam kebiasaannya, satu dari murid-murid di belakang Lucy beraksi dengan pura-pura terdorong ke arahnya. Namun, dengan gerakan tangkas, Lucy mampu mengelak ke samping kiri seakan-akan sedang mengambil barang jatuh, meski sebenarnya barang itu telah ia pegang sejak awal, menjadi alasan sempurna dari insiden yang baru saja terjadi.
Pandangan Lucy meluncur tajam ke arah murid yang mencoba menjahilinya. Sang murid kini terkapar di atas aspal sekolah, terbujur kaku oleh rencana sia-sia. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya Lucy dengan nada seolah-olah tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi, menciptakan ketegangan dalam keanggunannya yang terasa seperti pertunjukan sandiwara di atas panggung sekolah.
Dengan tangan terulur, Lucy berusaha menawarkan pertolongan kepada murid yang terjatuh. Namun, sikap dingin murid tersebut menepis tangan Lucy, berdiri dengan langkah mantap, lalu meninggalkan tempat sambil menghentakkan kaki kesal. Kedua temannya menyusul pergi dengan ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuan, melengkapi adegan dramatis yang seperti terkandung dalam teater kehidupan sekolah.
Ternyata, ketiga sosok itu adalah murid perempuan yang paling ditakuti di sekolah ini. Mereka tidak hanya memiliki kuasa tinggi di kalangan siswa, tetapi juga memiliki ayah sebagai kepala sekolah yang memiliki andil besar dalam kepemilikan sekolah elit ini.
Keberadaan mereka telah menjadi pemandangan menakutkan bagi Lucy, memperburuk keadaannya secara mental. Kekuasaan mereka terasa seperti beban yang semakin sulit diatasi, terutama dengan perangai mereka yang semakin di luar batas akal sehat, menghadirkan risiko yang tinggi.
Lucy berusaha keras agar tak terlalu lembut ketika bersua dengan mereka. Menyadari bahwa kelembutan bisa diartikan sebagai kelemahan di mata ketiga murid itu, Lucy berusaha menjaga jarak. Sebab, tindakan sekecil apa pun bisa menjadi kesempatan bagi ketiganya untuk menjahili dirinya, mengingat perannya sebagai "murid lemah" dalam novel cerita kehidupan sekolah ini.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments