Peristiwa yang tengah berlangsung di kehidupan Lucy sudah sepenuhnya terikat dalam skenario takdirnya. Tidur berdampingan dengan Nathan menjadi langkah awal menuju pertarungan batin yang tak terhindarkan.
Meskipun demikian, Lucy menerima kenyataan tersebut tanpa tawar-menawar. Ia merasa iba pada anak konglomerat tersebut, terlebih lagi karena beban utang batin yang dirasakannya terhadap presdir Victor, yang telah menerima Lucy sebagai bagian dari keluarganya.
Meski hatinya merelakan tidur satu kamar dengan Nathan, Lucy merancang strategi untuk mengantisipasi konflik yang mungkin timbul. Dengan siasat yang cerdik, ia berusaha menemukan cara agar tidak harus berbagi tempat tidur dengan Nathan. Lucy mencari-cari alasan, bahkan sampai ke hal sekecil mencari sprei untuk tidur di lantai.
"Cari apa?" Tanya Nathan penasaran, sementara Lucy berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan di matanya.
Duduk di atas kasur, Nathan terus memandangi setiap gerak Lucy, mencermati langkah gadis itu yang tak terduga.
"Cari alas buat tidur, aku tidak enak tidur bersamamu di atas kasur," ucap Lucy, suaranya lembut terbungkus dalam pertimbangan yang tidak terucapkan.
Tangan putih mulus Lucy meraba setiap barang, mencari sprei tebal sebagai pemisah. Gerakan gemulainya terasa dalam upaya menciptakan batasan antara mereka.
"Kenapa harus tidur di bawah?" Tanya Nathan, sorot mata tajamnya menangkap setiap nuansa.
"Begini saja." Pria itu meletakkan bantal guling di tengah-tengah kasur, menciptakan semacam perbatasan semu. Dengan penuh percaya diri, Nathan mengajak Lucy untuk berbagi tempat tidur.
Kagum menyelinap ke dalam ekspresi Lucy saat dia menatap kasur dengan susunan yang mengagumkan. Lucy memberinya pujian tanpa menyadari bahwa itu adalah pujian untuk kinerja kritis Nathan dalam mengatasi momen yang penuh ketegangan. Pikirannya, bagaikan terperangkap dalam dunia novel yang terus memandu langkahnya.
Cerita dalam novel asli membawa mereka untuk tidur satu kasur, alasan yang sama menghantui keduanya: ketakutan sendirian di kegelapan malam. Namun, tidak seperti dalam novel, Lucy dan Nathan berbagi kasur tanpa pembatas, hanya terpisahkan oleh keheningan malam yang terus menyaksikan perjalanan tak terduga mereka.
Dengan tekad bulatnya untuk memutuskan plot brutal dalam novel asli dengan Nathan, Lucy berusaha sekuat tenaga agar tidak menciptakan dinamika konflik dalam cerita yang kini menjadikan Nathan sebagai saudara angkatnya.
Meski merasa kondisi cukup aman, keinginan Lucy untuk berbagi tempat tidur dengan Nathan terbatas oleh bantal guling yang diatur dengan cermat, menciptakan pemisah yang tampaknya fisik namun seolah mencerminkan jurang batin di antara mereka.
Kini, keduanya terlelap dengan posisi tubuh yang saling membelakangi, tetapi mata mereka tetap terjaga, menciptakan ketegangan dalam keheningan malam.
"Hei, kau sudah tidur?" Tanya Nathan, suaranya menusuk ke dalam kegelapan.
"Belum," jawab Lucy, suara lembutnya terdengar seiring angin malam yang menyelinap ke dalam kamar.
"Maafkan aku, jika besok tidak menyapamu di sekolah," ucap Nathan dengan nada penyesalan yang terasa sungguh.
"Tidak apa-apa, aku sudah banyak berhutang pada ayahmu. Jadi dengan cara yang kau minta itu, aku berusaha membayar hutang budi pada ayahmu."
"Dan ingat, tidur di kamarku juga tidak gratis."
"Apa maksudmu?" Tanya Nathan, rasa penasaran mewarnai intonasi suaranya.
****
Pagi merayap dengan langit yang masih merangkak dalam kegelapan gulita, memancarkan aura misteri. Lestari, yang menjelma menjadi Lucy, selalu membangunkan diri saat fajar merintih, sebuah kebiasaan yang membawa kehidupannya ke dalam alur takdir di dunia novel. Saat langit masih berdansa dengan bayang-bayang malam, Lestari bersua dengan Nathan, tidur dengan nyenyak di kasurnya. Matanya, setengah sayu, menatap sosok lelaki itu yang masih terlena dalam mimpi.
"Hoooooaaaaaam!"
Sebuah gema menggema, mengguncang keheningan dini hari. Lucy bangkit dari kasur dengan langkah yang begitu yakin, meninggalkan belahan dunia mimpi. Dengan langkah berani, ia menyusuri koridor menuju kamar mandi, tempat di mana ritual harian dimulai dengan menyegarkan wajahnya yang terpahat oleh kisah yang rumit.
Di depan cermin, dunia paralel memantul dari permukaan kaca. Gadis itu menatap bayangan dirinya yang terpahat dalam keelokan dan keanggunan tubuhnya. Meskipun terberkati dengan paras yang memesona, tetapi di balik rona cantik itu, ada jejak kisah hidup kelam yang merangkak di sepanjang relung jiwanya.
"Apa motif PEMUDA NGANGGUR membuat novel cerita ini?" Tanya Lucy, bibirnya membisikkan rasa penasaran yang menggelayut di tengah keheningan dini hari, menantikan jawaban dari takdir yang mengalir dalam lembaran novelnya.
Dengan tangan lentiknya yang menari di permukaan wajah, Lucy membasuh dirinya, mengusap perlahan kedua pipi dengan lembut. Handuk diambilnya, menyentuh wajah dengan kasih sayang, hingga titik-titik air menyusup keluar dari rerimbunan rambutnya.
Melangkah di lorong-lorong yang sunyi, ruangan ini menjadi panggung bagi bayang-bayang masa lalu yang masih bergelayut dalam redupnya lampu. Rencananya untuk menyambut pagi dengan memasak sarapan membawanya menuju dapur yang terhampar di ujung lorong.
Gadis itu berdiri, mata mengamati seorang wanita tua yang tengah mondar-mandir di dapur. Lucy mencoba menangkap jejak memori di benaknya, dan disana terpampang nama yang memudar: Mbak Martini. Pembantu setia rumah presdir Victor yang menjalankan tugasnya setiap pagi dengan penuh dedikasi.
Meskipun rumah Presdir Victor megah seperti gedong-gedong, namun Mbak Martini menganggap pekerjaannya tidak seberat yang mungkin orang lain bayangkan. Dengan langkah ringan, dia menyiapkan sarapan pagi dan mencuci pakaian bekas penghuni rumah. Menyapu dan pel lantai? Itu menjadi agenda seminggu sekali. Untungnya, presdir Victor tidak pernah memotong gaji Mbak Martini, menghargai setiap jepitan sapu dan sentuhan tangannya yang menjadi pilar kesetiaan dalam redupnya koridor waktu.
Tiap pagi, Mbak Martini menjalani ritualnya, berangkat ketika matahari masih malu-malu menyapa dunia, dan pulang menjelang tengah hari. Sebuah rutinitas yang menjadi mantra dalam kehidupannya, namun presdir Victor tidak pernah menghiraukan waktu. Baginya, selesai adalah kata kunci, dan mbak Martini bebas pulang kapan saja.
Sosok yang penuh kebaikan, tidak hanya pada presdir Victor dan anaknya, tapi juga pada Lucy. Dalam kisahnya, hubungan mereka terpintal erat seperti benang yang mengikat anak dan ibu.
Namun, kendati ada tangan yang siap menyajikan pagi yang hangat, Lucy memilih mundur. Dalam langkahnya menuju kamar, ia menyadari bahwa bantuan tak memiliki arti. Pagi ini, tak perlu tangan yang membantu, karena menyajikan sarapan terasa seperti tarian sederhana—mengisi gelas dengan susu, potongan roti berbaris rapi—semuanya beres dalam sekejap.
****
Sarapan, sebuah ritual yang menjadi pendorong semangat dan kekuatan untuk menjalani aktivitas. Lucy duduk di meja makan dengan penuh selera, melahap roti yang bertabur meses. Gelas susu putih menghiasi ruang kosong di depannya, menyiratkan kesejukan pagi yang mengalir melalui keceriaan setiap tegukan.
Roti habis, tersisa kehangatan dalam kepergian Lucy menuju sekolah. Tas gandengnya sudah siap, dan dengan sopan, dia berpamitan pada mbak Martini yang masih sibuk melibatkan diri dalam kerumitan dapur.
"Lucy," panggilan lembut yang mengalun seperti melodi syahdu mengecap telinga gadis itu.
Tiba-tiba, sosok pria tampan muncul, presdir Victor, menyusul langkahnya dengan kemejanya yang teratur. Dalam duduknya, pandangan heran terukir di matanya sementara menatap Lucy.
"Ia tuan?" tanya Lucy dengan rasa ingin tahu yang memenuhi wajahnya.
"Kenapa memanggilku tuan? Aku sudah menjadi ayahmu. Panggil saja ayah," ucapnya dengan dahi yang sedikit mengkerut.
"Tapi, itu terasa begitu lancang."
"Tidak apa-apa. Lagian, dalam kartu keluarga, kamu sudah resmi menjadi anak saya," jelasnya sambil mengambil sepotong roti dari piring, seolah menyiratkan kehangatan di dalam panggilan yang baru terpahat dalam kebersamaan pagi mereka.
Presdir Victor mengajak Lucy untuk menikmati sarapan sebelum berangkat sekolah.
"Tapi aku sudah sarapan," jelasnya dengan tegas.
"Sigap sekali, tidak sabar berangkat, sokalah kah?" Tanya presdir Victor dengan nada lembut, membelai kesibukan pagi dengan tawa ringan.
Saat obrolan terjalin, Nathan tiba dan duduk di meja makan, seragam sekolahnya menghiasi kehadiran. Matanya menelisik Lucy dan ayahnya yang sudah terlebih dahulu menata diri di sana.
Sambil meraih roti dari piring, Nathan menyampaikan salam pagi dengan tulus pada mereka.
"Kamu sudah rapi, Nathan," ucap presdir Victor, senyum lembut menyapa kehangatan pagi.
Pria tampan itu memancarkan kehangatan ketika bersama keluarganya. Namun, di mata orang luar, presdir Victor digambarkan sebagai sosok yang dingin, bahkan hingga ada yang menyebutnya sebagai pria kulkas 5 pintu.
"Ya sudah, aku akan berangkat duluan," pamit Lucy, memecah kehangatan pagi dengan langkah yang berangsur menjauh, meninggalkan ruang bersama yang dipenuhi dengan nuansa yang tak terucap.
Namun, tangan presdir Victor merentangkan kehentian. Dahinya bersitegang, bingung melihat Lucy mencoba berangkat sekolah sendiri. "Jangan pergi sendiri!" pintanya, nada kecemasan mencuat. "Mari berangkat bersama, Lucy."
Namun, gadis itu menolak dengan mantap. Suara pagi menjadi saksi pada momen kebimbangan ini. Lucy terdiam sesaat, berpikir tentang kata-kata Nathan. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian, membuat siswa dan guru lain bingung atau bahkan heran ketika turun dari mobil bersama anak presdir Victor.
Namun, tanpa kenal kata menyerah, sang presdir terus bersikeras. Ia memohon Lucy untuk menunggu hingga dirinya dan Nathan menyelesaikan sarapan.
Kembali, Lucy mempertahankan keras kepala. Alasannya sederhana: dia ingin mandiri tanpa memberikan beban, terutama pada presdir Victor.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments