Tetesan demi tetesan cairan lilin turun dengan ganas, menyapu kulit tangan dan leher Lucy dengan panas yang memilukan. Gadis itu bergerak ke kiri dan kanan, berusaha menghindari setiap serangan menyakitkan dari cairan tersebut, namun pergerakannya terasa terkekang.
Teriakan lantang terkadang terlepas dari bibirnya, sebuah seruan minta tolong yang putus asa. Namun, kelihatannya bajing__an tua itu semakin menikmati penderitaan Lucy, senang dengan raungan pasrah yang keluar dari mulutnya.
tuan Denny menertawakan situasi dengan penuh kepuasan. "Aahahaha. Aku semakin terhibur, mendengarnya," katanya sambil menikmati setiap tetes cairan lilin yang jatuh.
"TERIAKLAH LEBIH KENCANG! AKU MENYUKAI SUARA ITU!" seru tuan Denny dengan penuh semangat.
Meskipun teriakannya begitu keras, pria tua itu merasa bersyukur bahwa kamar hotel bintang lima yang dia sewa dilengkapi dengan peredam suara, sehingga Lucy dapat menderita tanpa terdengar di luar ruangan.
Sementara tengah larut dalam aksinya, terdengar gedoran pintu yang menggetarkan hati, memotong kenikmatan tuan Denny dengan kekerasan. Marah meluap-luap di wajahnya, memburamkan kenyamanan ruangan. Tangannya menuding marah pada kedua bodyguardnya yang seharusnya berjaga di luar, menyalahkan mereka karena gangguan yang merusak kesenangan eksklusifnya.
"Kenapa mereka bisa begini!" desisnya, mata tajam menatap pintu dengan amarah yang tak terbendung. "Mengacaukan momen penuh kenikmatanku!" serunya, raut wajahnya mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam.
Meskipun tuan Denny terus memandangi pintu dengan harapan gedoran itu berhenti, suara derap pintu justru semakin menggema, menusuk ke dalam keheningan ruangan.
Pria tua itu semakin meradang, mencapai puncak kesalahan. Tanpa ragu, ia meraih kemeja putih yang tergeletak di lantai dan memutarnya di atas tubuhnya dengan gerakan cepat.
Berjalan menuju pintu sambil mengenakan kemeja, niatnya untuk membukanya terhenti tiba-tiba saat melihat Lucy yang terus-menerus berteriak dengan penuh desakan. Rasa takut menyelinap di benaknya, menyadarkan bahwa perbuatannya bisa tercium oleh orang lain saat pintu terbuka.
Dengan langkah mantap, ia mendekati gadis itu, meraih kain kecil di samping gadis itu dengan tangan yang penuh urgensi, siap untuk menyumpal mulutnya agar teriakannya tak lagi menggema di ruangan.
Namun, di tengah aksinya, suara gedoran pintu mengejutkan terus menggelegar, menciptakan gelombang kemarahan dalam diri tuan Denny, yang semakin ingin menegur dan memarahi kedua bodyguardnya yang dianggapnya telah mengacaukan rencananya.
Tak sabar lagi, ia buka pintu kamar dengan gerakan tegas, namun justru pintu membanting terbuka dengan kasar, menghantam dinding kamar dengan kekuatan yang tak terduga. tuan Denny, yang berdiri di depannya, terlonjak kaget oleh dorongan tak terduga tersebut.
Masuklah seorang pria tampan dengan wajah yang penuh kemarahan, langkahnya mantap menuju tuan Denny, dan dengan satu tendangan tegas, tuan Denny terpental hingga terjatuh ke lantai. Tatapan penuh kemarahan langsung diarahkan ke arah Lucy yang terbaring tak berdaya di atas kasur, posisinya terlentang, seolah menjadi saksi bisu dari kejadian yang tak terduga ini.
Kemarahan presdir Victor semakin merayap, dan dengan kekuatan penuh, ia menggepalkan tangannya, meninju lantai dengan keras, hanya berjarak sebelah kepala tuan Denny, menciptakan dentuman yang menggema di ruangan.
Dalam sekejap, atmosfer ruangan berubah drastis, menyulut panas dingin ketakutan yang melilit pria tua itu, memaksa dirinya untuk berkali-kali memohon maaf.
"Victor?" bisiknya dengan rasa syok yang tak terduga. "In... Ini bukan... bukan seperti yang kau bayangkan. Aku hanya ingin membantu anakmu! Tolong maafkan aku," serunya dengan nada panik yang terdengar putus asa.
Namun, kata-kata permohonan maaf terhempas begitu saja oleh ketidakrelaan presdir Victor. Amarahnya mencapai puncak, menggebu ingin merenggut nyawa tua bangka di hadapannya.
Pria tampan itu, dengan kasar, meraih kerah baju tuan Denny dan memulai serangan tanpa ampun, meninju wajah pria tua itu berulang kali. Darah mulai bercucuran dari hidung dan gigi yang copot, menciptakan pemandangan yang mencekam.
Liam, yang menyaksikan aksi luar biasa dari ayah sahabatnya, terdiam kagum oleh kehebatan presdir Victor. Kecanggihan, kegantengan, bahkan otot yang kuat menyelimuti pria tampan itu.
Tak tinggal diam, Liam meluncur mendekati Lucy, matanya menatap dalam ke kamar, menyaksikan gadis itu disekap di atas kasur.
"Hua, hoong hau," ucap Lucy kepada Liam dengan suara yang terhenti di tenggorokannya.
Namun, derap langkah Liam yang menentang waktu itu, menciptakan kebisingan yang menutupi sepenuhnya ucapan terakhir Lucy. Dengan keras, tangannya berusaha membuka sumpalan handuk kecil yang menutup mulut gadis itu.
"Terima kasih," bisiknya terengah-engah, napasnya terasa berat. "Tolong, lepaskan juga tali ini," Lucy memohon, matanya memancarkan keinginan bebas dari tali yang membelenggunya.
Namun, di antara pergolakan untuk membebaskan Lucy, ada satu kendala yang tak bisa dihindari. Saat melihat Lucy yang terbaring bebas di atas kasur, Liam merasa harus mengendalikan gerakan adik kecilnya yang tiba-tiba menonjol tak bisa diabaikan. Tanpa ragu, bantal di samping Lucy diambil dan digunakan untuk menutupi adik kecilnya yang seharusnya tak boleh terlihat.
"Untungnya, kau masih terlindungi dengan seragam," ucap Liam dengan suara lega, seolah meredakan kekhawatirannya.
Lucy mengungkapkan terima kasihnya lagi, kata-kata itu seperti melodi lembut yang memainkan senar hati Liam. Perasaannya menjadi satu dengan kelegaan dan kebahagiaan tiba-tiba, mengubah denyut jantungnya menjadi serangkaian ketukan yang semakin cepat.
Ini adalah pertama kalinya Liam merasakan perasaan ini, membuatnya berkeinginan untuk terus berada di sisi Lucy, melibatkan dirinya dalam kisah yang lebih dalam dan penuh makna.
Di sisi lain, pertarungan tanpa ampun antara presdir Victor dan tuan Denny terus memuncak, seperti tarian kekerasan yang tak berujung. Pukulan-pukulan yang mendarat ke wajah tuan Denny membentuk pemandangan yang semakin mencekam, hingga akhirnya, dua satpam hotel bergegas memasuki kamar untuk memisahkan presdir Victor yang tengah membabi buta memukul seniornya.
Namun, keberanian kedua satpam tersebut hampir saja sirna. Mereka, yang seharusnya melambangkan keamanan, terlihat kesulitan menahan tubuh yang dipenuhi energi besar milik presdir Victor. Kedua satpam itu akhirnya memutuskan untuk bersatu padu menahan pria tampan itu dengan susah payah.
"Cukup, presdir Victor. Sebaiknya kita selesaikan semua ini di persidangan," ucap salah satu satpam dengan suara berusaha menenangkan, mencoba menghentikan keganasan yang membara.
Meskipun dihentikan, amarah presdir Victor masih membuncah, terpancar jelas dari tatapannya yang penuh kekesalan ketika menatap tuan Denny yang terkapar lemas di lantai. Nafasnya terengah-engah, mencerminkan betapa kesalnya pada pria tua bangka itu.
Dalam momen dramatis itu, presdir Victor mengeksekusi serangan terakhirnya dengan cara yang lebih mengerikan. Sebuah ludah yang penuh dengan kebencian dan kemarahan dilepaskan tepat ke wajah tuan Denny yang telah terlumur darah.
"Hrrk CUIH!"
Meskipun hasrat untuk melanjutkan pemukulan tak terpuaskan masih membara, presdir Victor akhirnya melepaskan paksaannya dari cengkeraman ketat kedua satpam. Dengan langkah mantap, ia memutuskan untuk mengarahkan langkahnya menuju Lucy, yang terduduk lemas di atas ranjang hotel.
Matanya penuh kepedihan ketika presdir Victor menatap Lucy, seolah merasa gagal menjaga keselamatan anaknya dari bahaya. Dengan penuh kasih, ia memeluk Lucy erat, menciptakan citra hubungan ayah dan anak yang mendalam.
"Maaf," bisik presdir Victor dengan lembut, tangan kekarnya tetap mengelus-elus rambut Lucy, sebagai ungkapan penyesalan yang dalam.
Dalam pandangan Liam, keheranan menyelinap di pikirannya. Bagaimana mungkin presdir Victor bisa menjadi sedekat itu dengan Lucy, padahal mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu? Liam kemudian menyimpulkan bahwa daya pikat presdir Victor memang luar biasa kuat. Tak heran, pria yang kuat dan tampan itu menjadi panutan yang tak terhindarkan baginya.
Tatapan tajam presdir Victor memfokuskan diri pada Liam, lalu dengan suara yang sarat rasa terima kasih, ia menyampaikan apresiasinya terhadap keputusan remaja SMA itu untuk mengikuti Lucy. Bagi presdir Victor, tindakan Liam menjadi penentu yang krusial. Jika remaja itu tidak mengikuti arah pergi Lucy, gelombang rasa bersalah akan membebani bahu presdir Victor.
Kata-kata aneh pertama kali keluar dari mulut presdir Victor, menciptakan kebingungan di benak Liam. Namun, merasa adanya keheningan pilu di udara, Liam menahan diri untuk tidak menanyakan penjelasan yang bisa dianggap mengganjal dalam momen sedih ini.
***
Berlalunya beberapa puluh menit, sosok tuan Benedict, sang pemilik hotel, memasuki lobi bersamaan dengan kehadiran beberapa polisi yang mengikutinya. Tatapan tajamnya segera mendarat pada presdir Victor, yang duduk bersama Lucy dan Liam di kursi lobi.
Dengan langkah yang hati-hati, tuan Benedict melangkah maju, seiring dengan kedatangannya yang diiringi oleh ketukan-ketukan pelan dari tongkat panjang di tangan kanannya. "Mohon maaf atas kehebohan di hotel kami, presdir Victor," ucapnya dengan penuh kerendahan hati, menyapa presdir Victor dengan rasa hormat.
Pria tampan itu menjawab dengan berdiri, saling berjabat tangan dengan tuan Benedict. "Tidak, ini bukan kesalahan Anda atau hotel ini," terang presdir Victor dengan tegas. "Saya yang lengah dalam mengawasi anak saya."
Pernyataan tersebut membuat Liam tercengang, tak percaya bahwa Lucy adalah anak presdir Victor. Kehadiran rasa bingung menghantui Liam, bertanya-tanya kenapa Nathan tidak memberitahunya di sekolah tadi.
Rencana Liam untuk menginterogasi sahabatnya di sekolah esok harinya menjadi terbayang. Ia berniat menggali rahasia besar yang tersembunyi dari dirinya karena pengkhianatan Nathan yang menyimpan fakta penting.
Namun, semua rasa kesal itu seolah sirna saat melihat wajah pilu Lucy yang duduk di sampingnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments