Malam yang sunyi merayap dengan ketegangan, matanya menyelusuri kesunyian, tak ada tanda kehidupan. Suara mobil melolong kesepian, memecah keheningan malam.
Presdir Victor melangkah di depan rumahnya, memecah kesunyian dengan langkah-langkahnya yang berat. Gerbang tertutup rapat, dan dalam kegelapan muncul bayangan pria muda yang berlari, terhempas oleh ketakutan.
"Ayah, kemana kau pergi?"
Anak 16 tahun presdir Victor melihat kekosongan di rumah besar mereka, mengatasi rasa takutnya pada keheningan malam. Victor membuka gerbang, mengendarai mobil mewahnya masuk ke dalam garasi.
Pria tampan itu menatap anaknya yang gelisah, bayangan kegelapan mencuat di matanya yang penuh kekhawatiran. Dengan ponsel di tangannya, sang anak merasa kecemasan yang sulit diungkapkan.
"Kau Kenapa?" Tanya Tuan Victor, menatap melas.
"Aku takut di rumah," bisik sang anak, suara getar ketakutan menyelinap di antara kata-katanya.
Nathan meratap kesal, hatinya hancur karena ayahnya pergi begitu saja saat dirinya tertidur lelap. Presdir Victor mengabaikan keluhan putranya, fokus membuka pintu mobil untuk menggendong tubuh Lestari yang terlelap.
Anak itu terkejut, kekesalan memuncak melihat sang ayah membawa wanita asing ke dalam rumahnya. "Ayah, begitu caramu? Pergi dan tinggalkanku hanya untuk seorang wanita!" Rengekan Nathan menggema, ketakutannya diabaikan sepanjang malam.
Berjalan di belakang sang ayah, Nathan terus merengek, kehilangan perhatian yang seharusnya ia dapatkan.
"Di mana mbak Martini?" tanya presdir pada anaknya.
Tapi jawaban yang datang membuatnya semakin terluka, "Mbak Martini punya keluarga di rumahnya. Ayah tahu sendiri!"
Presdir Victor meminta Nathan untuk menutup dan mengunci pagar rumah, tetapi anak itu menolak keras. Bukan karena memberontak, hanya karena ketakutan melanda di malam yang sunyi.
"Ayah minta tolong, Nathaaan."
"Tidak! Lakukan sendiri!"
Presdir Victor memberikan tubuh Lestari pada Nathan seperti memberi beban yang berat. Nathan mengangkatnya dengan refleks, tangannya gemetar menahan beban tak terduga.
"Bawa sebentar, ayah mau tutup gerbang dulu."
Meskipun presdir Victor pergi sejenak untuk menutup pintu gerbang, Nathan tetap mengikuti, bayang-bayang kecemasan melingkupi langkahnya.
"Astaga, kenapa kau terus mengikuti ayah?!"
"Sudah ku bilang, Nathan takut!"
Presdir Victor menghela nafas, tangannya mendorong pintu gerbang dan mengunci, bermaksud mengamankan rumah dari bahaya yang yang tak terduga.
Dalam keheningan rumah yang seakan tanpa nyawa, hanya dua jiwa yang menghuni. Namun, paradoks tersembunyi dalam kata "keluarga" membuat presdir Victor merasa iba. Rumah megah itu sunyi karena alasan keluarga, suatu realitas yang membuatnya tak tahan, terutama menjelang minggu besar bagi umat agama tertentu.
Penjaga gerbang juga tukang kebun, dalam hari jatah pulangnya, meninggalkan rumah yang kosong. Presdir Victor di tengah persiapan pertemuan penting di hotel bintang 5, terpaksa membatalkan pertemuan itu karena alasan anaknya menelpon dengan nada cemas.
Sejak kecil, Nathan D Lancaster dikenal sebagai pria yang rapuh, dilanda tangisan keras saat ditinggalkan sendirian. Kepergian ibunya meruncingkan ketakutan,, menciptakan bayang-bayang yang mengusik kesibukan presdir Victor.
Meski berharap sifat Nathan akan berubah seiring bertambahnya usia, realitasnya membuktikan sebaliknya. Nathan tetap menjadi anak yang rapuh, terkunci dalam kecengengan dan ketakutan yang menghantui setiap langkahnya.
Presdir Victor dengan lembut meletakkan tubuh Lestari di atas kasurnya, tapi raut wajah Nathan dipenuhi kekesalan. Baginya, sang ayah memberikan perlakuan istimewa pada gadis yang dibawanya.
"Tenang saja, ayah akan tidur di sofa."
Presdir Victor bergerak menuju lemari untuk mengganti pakaian yang basah di kamar mandi. Nathan hanya bisa terdiam, melihat langkah ayahnya yang pergi.
"Aku tidak sadar, sejak tadi pakaian ayah basah," ucap Nathan heran.
Setelah beberapa menit, pria tampan itu keluar dari kamar mandi. Wajahnya tetap memesona, rambut yang tadi kusut kini tertata rapi dan penuh volume. Piyama hitam melingkupi tubuhnya dengan anggun.
Dengan langkah penuh kehangatan, pria tampan itu mendekati anaknya yang cengeng, memeluk dan mencium keningnya. Sesaat, kehangatan terpancar di antara mereka sebelum presdir Victor meninggalkan kamarnya, meninggalkan simbol-simbol kebersamaan yang semakin mengabur.
Tangan polos Nathan menarik piyama sang ayah saat melepas pelukannya. Membuat presdir Victor terdiam bingung, penasaran apa yang terjadi pada anaknya. Kedua tangan pria tampan itu juga menggenggam bahu Nathan, matanya membelalak seolah ia bertanya pada anaknya.
Dengan suara pelan, Nathan mengutarakan keinginannya, "Ayah, tidur di kamar Nathan saja, seperti biasanya."
Anak itu memalingkan wajahnya, dihantui malu ketika mengungkapkan keinginannya yang tersembunyi.
Sebuah senyuman memanifestasikan persetujuan, dengan lembut melepaskan genggamannya, presdir Victor mengelus-elus kepala Nathan. Dalam kehangatan sentuhan itu, sang presdir mengiyakan permintaan anaknya.
"Masihkah kau merasa takut tidur sendiri?" Tanya presdir Victor dengan suara hangat.
Nathan mengangguk perlahan, meskipun sebelumnya bersemangat untuk tidur sendiri pagi itu. Keinginan mendalam akan kehadiran ayahnya masih menghantui, meski ia telah berjanji untuk tidur sendiri.
Meski demikian, presdir Victor sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan. Yang terpancar dari dirinya adalah keinginan tulus untuk memanjakan anaknya, meskipun Nathan telah memasuki usia dewasa. Ia merasa bahwa anaknya itu masih membutuhkan lebih banyak kasih sayang, terutama karena kehilangan sosok ibunya sejak kecil. Sejak saat itu, hangatnya kebersamaan dan kelembutan kasih sayang seorang ibu tak pernah menyentuh hati kecil Nathan.
Jika diminta untuk menikah lagi, dengan tegas, presdir Victor menolak, membebani hatinya demi ketenangan batin anaknya. Baginya, mencari pengganti istri yang telah pergi bukanlah sekadar mencari wanita serupa. Pria tampan ini memiliki standar tinggi dalam menentukan pasangan hidup.
"Terkadang, kesepian menghampiri aku saat tak ada ayah di sampingku."
"Maaf, tadi ayah memiliki urusan mendesak."
Kehadiran klien mendesak membuat pria tampan ini sepakat menghadiri pertemuan mendadak di sebuah hotel berbintang lima. Meski ia merasa sepele, presdir Victor setuju untuk memenuhi panggilan tersebut.
Namun, takdir bermain dengan seribu rintangan. Saat sedang sibuk menangani urusan klien, telepon darurat dari anaknya memaksa presdir Victor meninggalkan pertemuan itu. Suara panik di ujung telepon mendorongnya untuk segera kembali ke rumah.
Di tengah perjalanan pulang, kejadian tak terduga melibatkannya dalam penyelamatan seorang wanita yang hampir menjadi korban tenggelam. Dengan tindakan cepat, presdir Victor menyelamatkannya, membawa perubahan dramatis dalam hidupnya, membuka lembaran baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Berbaring dengan tatapan yang kosong di atas kasur, pria tampan itu ditemani oleh keheningan malam, hanya bayangan sang anak yang telah terlelap di sampingnya. Meski matanya terbuka, pikirannya melayang kejauhan, masih terguncang oleh peristiwa di hotel tadi. Kedua mata pria itu terus menatap langit-langit, sesekali berkedip seperti mencoba menyeka bayangan yang memburu.
Ada sesuatu yang tak beres dengan gadis yang baru saja diselamatkannya. Presdir Victor teringat betapa gadis itu memohon bantuan dari walikota yang telah membayarnya dengan mahal.
Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar. Mengapa gadis itu harus terlibat dalam dunia pela__curan? Padahal, menurutnya, dalam urusan yang seharusnya penuh dengan kesepakatan, kedua belah pihak harus setuju. Namun, mengapa gadis itu terlihat terpaksa melakukan hal tersebut, terutama setelah ia mencoba membantunya.
"Apa gadis itu sedang melakukan penipuan? Tapi tidak mungkin, mengingat ia begitu nekat melompat dari atas gedung."
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti melayang tanpa jawaban pasti di benaknya, hingga akhirnya, kelelahan merayap di tubuhnya dan memaksanya untuk merunduk dalam tidur.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments