Setelah insiden tragis kemarin, kini Lucy istirahat total, menjauh dari segala aktivitas, termasuk kewajibannya bersekolah. Untuk memberitahu ketidakhadirannya, presdir Victor telah menghubungi pihak sekolah, memberitahu bahwa Lucy sedang dalam proses pemulihan yang membutuhkan waktu.
Saat ini, gadis itu duduk dengan tenang di atas kasur yang terbalut selimut tebal. Mata terjaga, namun pandangannya jauh, merenungi peristiwa mengerikan kemarin. Hampir mengalami trauma, Lucy tak pernah menduga bahwa dirinya akan menjadi target dari Tuan Denny, pria yang ia pikir seharusnya tidak akan bertemu lagi.
Namun, semua dugaannya meleset. Pria tua kejam itu ternyata masih memiliki nyali untuk menculiknya, menciptakan kisah yang hampir mirip dengan cerita di dalam sebuah novel, meskipun di dalamnya terbungkus oleh konflik dan ending yang lebih kompleks.
Mengingat kembali, Lucy hanya bisa merenung. Tuan Denny, menurut pengetahuannya, hanya disewa semalam oleh ibunya. Bahkan, itu pun hanya merupakan sepotong kecil dalam cerita yang dihiasi oleh nama-nama lain yang mungkin juga pernah menyewanya.
Kehidupan Lucy seperti terjebak dalam labyrin novel yang rumit. Terkadang mengikuti arahan cerita, terkadang melenceng jauh, namun puncak konflik tetaplah sama—dirinya dijadikan objek yang diinginkan oleh berbagai karakter.
Dalam kebingungannya, Lucy merenungkan hidupnya yang penuh misteri. Seiring dengan perjalanan waktu, ia menyadari bahwa kehidupannya sendiri adalah novel yang rumit, dimana ia tak lebih dari karakter yang terus digilir untuk berbagai kepentingan orang lain.
Dengan tiba-tiba, pintu terbuka perlahan, dan kepala presdir Victor muncul, mencuri pandang ke dalam kamar Lucy. Melihat gadis itu terduduk dalam lamunan, presdir Victor memasuki ruangan sambil merendahkan diri dengan kata-kata permisi yang lembut.
Pria tampan itu langsung menempati tempat di atas kasur, tatapannya penuh kekhawatiran. Wajahnya yang memelas mencerminkan rasa bersalah, merasa bertanggung jawab atas pengalaman traumatis yang mungkin menghancurkan masa depan Lucy.
"Maaf," bisiknya dengan kepala yang tertunduk, suara penuh penyesalan.
Lucy menatap sayu ke arah presdir Victor. "Tidak perlu meminta maaf, Tuan. Ini semua terjadi karena kecerobohan saya," ucapnya dengan suara pelan.
"Sudah kukatakan, aku ini ayahmu, jadi panggil saja aku ayah," pintanya dengan penuh kelembutan.
"Tidak perlu, saya merasa tidak pantas menyebut Tuan sebagai ayah," sahut Lucy, kembali menundukkan kepalanya.
"Apa karena saya tidak berhasil menjadi ayah?" Tanya presdir Victor dengan ekspresi sedih.
"Tidak, saya yang tidak pantas menjadi anak Tuan," ungkap Lucy lagi, melamun. "Saya terlalu hina untuk bersanding dengan Anda."
"Tidak benar! Saya tidak peduli siapa kamu, dari mana asalmu. Yang terpenting, kamu adalah anakku saat ini dan selamanya," ucap presdir Victor dengan tegas, mencoba menghapus keraguan Lucy dengan kata-kata bijaknya.
Namun, Lucy tetap tidak memberikan respons apapun terhadap kata-kata presdir Victor. Ia hanya terdiam, terhanyut dalam lamunannya, mata fokus pada jari-jemari tangannya yang terulur di hadapannya.
Hening menyelimuti mereka berdua, sebuah kesunyian yang terasa begitu berat. Lucy masih tenggelam dalam refleksi atas kejadian traumatis kemarin yang hampir merampas kebebasannya. Di sisi lain, presdir Victor merasakan kecanggungan menyelinap, ragu untuk melanjutkan percakapannya dengan Lucy. Namun, takdir membawa keduanya bersama, terikat oleh rasa khawatir dan kasih sayang yang mendalam, terhubung sebagai ayah dan anak angkat.
Di balik pintu kamar, Nathan diam-diam mengintip, melihat ayahnya dan Lucy yang terdiam tanpa sepatah kata pun.
Keinginannya untuk meminta maaf pada Lucy mendorongnya untuk masuk, namun rasa canggung dan malu melanda. Terus menatap wajah Lucy yang terlihat sedih hanya meningkatkan rasa bersalahnya.
"Nathan?"
Tiba-tiba, seseorang memanggil namanya dengan lembut. Pria itu segera berbalik, matanya beralih mencari siapa yang menyebut namanya dengan penuh kejutan.
"Liam? Tuan Richard?" terdengar seruan Nathan yang penuh kejutan. "Apa kabarmu? Katanya kau sedang sakit," tanyanya sambil mendekati sahabatnya.
"Itu hanya alasan. Sebenarnya, aku sangat lelah karena mengejar dan menghajar penculik kemarin," ungkap Liam dengan ekspresi gestur seperti petinju dihadapan Nathan. "Aku hanya ingin istirahat sehari."
"Mengapa kau kesini?" tanya Nathan dengan rasa keheranan. "Bukannya seharusnya kau istirahat untuk pulih sepenuhnya?"
"Iya, benar. Tapi aku merasa khawatir dengan Lucy." Wajah ceria Liam berubah menjadi serius, sepertinya pembicaraan tentang Lucy sangat mendalam. "Di mana dia sekarang?" tanya Liam sambil menatap tajam Nathan.
Nathan hanya menunjuk pintu kamar Lucy tanpa berkata sepatah kata pun. Liam pun melangkah menuju kamar itu, meninggalkan Nathan dan ayahnya.
"Maafkan saya, Nathan. Anak itu terus meminta untuk datang ke sini," ucap Tuan Richard kepada Nathan.
"Tidak apa-apa," ucap Nathan heran dengan sikap aneh sahabatnya.
Kemudian, Nathan memberi izin kepada Tuan Richard untuk masuk ke dalam kamar Lucy, mengingat bahwa ayahnya juga berada di sana untuk memantau kondisi gadis itu.
Mereka berdua memasuki kamar, dan melihat kedatangan Tuan Richard, presdir Victor bangkit dari duduknya, menyambutnya dengan anggukan kepala yang penuh kerendahan hati. Gerakan ini terpaksa dilakukan karena tangan kanannya masih terluka dan di balut perban, sebagai sisa dari kejadian tragis kemarin.
"Bagaimana keadaan putrimu?" Tanya Tuan Richard, matanya terarah pada Lucy yang terlihat lemah.
"Seperti yang Anda lihat, dia masih terlihat lemah dan terus terdiam sejak kemarin," jelas presdir Victor. "Beruntung, Lucy masih dapat diselamatkan sebelum suatu kejadian yang tidak diinginkan terjadi."
presdir Victor kemudian menoleh ke arah putra Tuan Richard. "Beruntung ada Liam yang sigap menemukan lokasi dan pelaku. Jika tidak ada dia, saya tidak tahu bagaimana kondisi Lucy ke depannya."
Sementara presdir Victor dan Tuan Richard terlibat dalam percakapan serius, Liam mengajak Nathan keluar untuk menghirup udara segar. Keduanya melangkah keluar dari kamar, meninggalkan dua ayah yang mendiskusikan nasib Lucy yang penuh drama.
***
Di belakang rumah, teriknya matahari begitu menyengat. Keduanya duduk di kursi, mata terarah pada deretan tanaman di depan mereka. Di atas meja, dua gelas minuman segar tersusun rapi.
"Apa ada masalah dengan Lucy?" Liam memulai pembicaraan, mencoba membuka suatu topik yang terpendam.
Nathan menatap Liam dengan ekspresi datar. "Apa maksudmu?" tanya Nathan, rasa penasarannya terpicu.
Liam mulai mengisahkan kejadian kemarin, mengenai saat dia duduk di kursi lobi bersama Lucy dan presdir Victor. Mereka bertiga berkumpul, menanti kelanjutan dari peristiwa yang terjadi. Hingga akhirnya, sang pemilik hotel bintang lima muncul, memecah kesunyian dengan kehadirannya.
"Dan kemudian, Paman Reinhard pergi ke suatu tempat, meninggalkan kita berdua. Ia juga meminta agar aku menjaga Lucy hingga dia kembali," jelas Liam sambil berdiri dan melangkah perlahan ke arah depan. Kedua tangannya masuk dalam saku, memberikan kesan dramatis pada ceritanya.
Sahabat Nathan menambahkan bahwa Lucy tiba-tiba berbicara padanya, meminta agar kejadian itu tidak diungkapkan kepada siapapun, termasuk teman-teman sekolah.
Liam melangkah mendekati Nathan, menatap wajahnya dengan pandangan tajam. "Kenapa kau menyembunyikan ini dariku?!" ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya, ekspresi kekecewaan tergambar jelas. "Bukankah kita sahabat?" tambahnya, keningnya berkerut karena kebingungan.
"Tidak hanya itu. Lucy juga menyuruhku untuk merahasiakan identitasnya sebagai anak angkat presdir Victor di sekolah. Bahkan, ia meminta agar aku berpura-pura tidak mengenalnya." Liam kembali menatap tajam Nathan. "Ada apa ini? Mengapa Lucy bisa meminta sesuatu seperti itu?"
Nathan terdiam, cemas. Ia ingin membuka semuanya, tetapi rasa takut akan kemarahan Liam membuatnya ragu, meskipun ia yakin bahwa kemarahan itu pasti akan datang.
Merasa bahwa tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, Nathan akhirnya membuka suara. Ia mengakui bahwa dia memang bersalah dan sangat menyesalinya.
Namun, alasan utamanya hanyalah untuk melindungi nama baik ayahnya. Ia takut bahwa jika informasi mengenai adopsi anaknya diketahui, nama baik ayahnya akan tercemar. Nathan juga khawatir bahwa usaha bisnis ayahnya bisa terpengaruh.
"Kenapa? Ayahmu kan keren, berani mengadopsi anak," ujar Liam, masih penasaran.
Nathan menjelaskan bahwa latar belakang Lucy sangat buruk, bahkan keluarganya. Menurut informasi dari ayahnya, ibunya rela menyewakan Lucy kepada pria-pria tidak bertanggung jawab. Bahkan, sudah banyak daftar orang yang sudah ingin menyewa Lucy selama dua minggu berturut-turut.
Untungnya, sang ayah dengan cepat mengambil keputusan untuk membeli Lucy dari ibunya yang tidak waras itu.
Nathan merasa takut. Orang-orang yang menyewa Lucy mungkin tahu bahwa ayahnya mengadopsi anak dengan latar belakang yang tidak baik. Ia khawatir bahwa gosip tersebut akan membuat ayahnya kehilangan reputasi dan orang-orang menjadi tidak percaya padanya lagi.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments