REINKARNASI : MTC__4

Pagi pun menjelang, dalam keheningan kamar yang luas itu, Lestari merunduk, dibalut oleh selimut tebal yang rapat memeluk tubuhnya. Menutupi diri dari dinginnya cuaca ekstrim, ia merenung dalam keheningan, membiarkan pikirannya melayang pada perubahan drastis yang telah menimpa dirinya.

Dalam kebisuan itu, Lestari terombang-ambing oleh pertanyaan yang terus meloncat-loncat di benaknya. Apa sebenarnya yang telah terjadi pada tubuhnya? Ia mencoba merangkai puzzle perubahan yang begitu mendalam setelah kecelakaan tragis kemarin lusa.

Kulit wajahnya sekarang begitu halus, rambutnya kini bergelombang seperti ombak laut, dan hidungnya tampak begitu mancung. Lestari, dalam kebingungan dan keterkejutan, meraba seluruh wajah tanpa percaya bahwa perubahan begitu dramatis telah merayap dalam dirinya.

Pintu kamar terbuka perlahan, menyebabkan mata Lestari melebar kaget, terpaku pada sosok misterius yang baru saja memasuki ruangan itu.

Seorang pria sebaya adanya melangkah masuk dengan langkah ringan, kepalanya tertunduk dalam penghormatan yang terasa menyelimuti ruangan. "Kau sudah bangun," desisnya, wajahnya berbalik sejenak. "Cepat kenakan ini, kita harus segera menuju ruang makan. Ayah sudah menantimu," ujarnya seraya menyodorkan sehelai pakaian ganti.

Awalnya, Lestari terperangah, matanya menatap tajam ke arah Nathan. Namun, pria itu tidak sabar, memperlihatkan ketidaksetujuannya dengan meletakkan pakaian di atas kasur tanpa ampun.

"Jangan membuat kita menunggu. Terutama karena aku dan ayah akan meninggalkan rumah ini segera!" Nathan meninggalkan ruangan dengan langkah mantap, menutup pintu kamar dengan keras.

Tanpa ingin menunda waktu lebih lama, Lestari segera memutuskan untuk mengenakan pakaian yang sudah disediakan. Meskipun gaya pakaian itu terkesan mirip dengan pakaian laki-laki, Lestari tetap memakainya dengan mantap: celana jeans panjang dan kaos polos berwarna abu yang memberikan kesan kuat dan misterius pada penampilannya.

Dengan langkah gesit, wanita itu menuruti perintah laki-laki tadi. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, memantau sekeliling dengan penuh keterpesonaan. Lestari merasa takjub, terpesona oleh kemegahan lorong rumah mewah ini. Berbagai aksesoris rumah dan figura besar tertata dengan begitu rapi, menciptakan atmosfer kemewahan yang melingkupi setiap sudut.

"Kau benar-benar membuat kami menunggu!" Nathan menyampaikan teguran dengan nada tegas yang melekat pada ucapannya.

Sementara sang ayah, justru berupaya menenangkan suasana, meminta Nathan untuk bersikap lebih lembut dalam bertutur kata, terutama ketika berhadapan dengan seorang tamu.

Keduanya duduk dengan sabar menanti kedatangan Lestari. Meja makan terhampar dengan roti dan susu yang tersedia, menciptakan nuansa keramahan. Presdir Victor dengan senyum hangatnya, mengundang Lestari untuk bergabung dalam makan bersama mereka. Meskipun duduk, kepalanya masih penuh dengan tanda tanya, menggambarkan ketidakpastian yang masih melingkupi dirinya.

Satu gelas susu diletakkan dengan anggun di sampingnya, merayu gadis itu untuk segera meminumnya, terutama karena dahaga yang melanda. Setelah menghabiskannya, barulah dia sadar akan keberaniannya yang tadi begitu lancang.

"Maafkan aku," gumamnya seraya menunduk, ekspresinya penuh dengan penyesalan.

"Tidak apa-apa," kata presdir Victor dengan senyum lembutnya, memberikan pengampunan yang hangat.

Sambil menikmati hidangan di meja, percakapan ringan pun mulai mengalir. Presdir Victor sengaja merangkai kata-kata dengan hati-hati, menciptakan suasana yang nyaman agar gadis di hadapannya tidak merasa tegang.

"Kalian sepertinya seumuran," komentar presdir Victor yang disertai senyuman ramah, ditujukan pada Nathan dan Lestari.

Terkejut, wajah Lestari dan Nathan saling bertautan dalam rasa kagum yang sama. Momen itu mengundang tawa Nathan, merasa keadaan menjadi lucu. Lestari, sementara itu, hanya mampu tersenyum tipis, masih merasa malu-malu.

"Dia Nathan, anak saya satu-satunya," ujar presdir Victor dengan penuh kebanggaan, mengakhiri keceriaan di meja makan dengan pengenalan penuh kehormatan terhadap putranya.

Ketika mendengar nama Nathan, Lestari merasa ada yang tidak asing, memaksa dirinya untuk menggali memori dan mencoba menyusun puzzle dari nama-nama yang terasa begitu familiar. Tidak hanya Nathan, tetapi juga nama Victor dan gelar walikota, semuanya menyulut memori, terutama kejadian malam yang hampir merenggut keperawanannya oleh pria tua gembul yang tak dapat dilupakan.

Tiba-tiba, Lestari terdiam, matanya membelalak seolah-olah menolak menerima kenyataan hidupnya saat ini. Tanpa sepatah kata, gadis itu melesat dari kursinya, memutuskan untuk menjauh dari meja makan. Keputusannya mengejutkan presdir Victor dan Nathan, yang dengan cepat berusaha mengejarnya.

Berlari melewati berbagai ruangan, Lestari mencari sesuatu yang mungkin bisa menguatkan keyakinannya. Akhirnya, dia menemukan sebuah cermin di ruang keluarga.

Dengan tangan halusnya, Lestari meraba rambut yang kini bergelombang, dan menepuk-nepuk pipinya seolah-olah tidak percaya dengan wajah yang terpantul di cermin. Ekspresi campuran antara keheranan dan ketakutan melintas di matanya, mencerminkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Presdir Victor dan Nathan berdiri tegak, menyaksikan drama emosional yang tengah dipertontonkan oleh wanita di hadapan mereka.

"Jangan katakan ini bagian dari dunia novel karangan PEMUDA NGANGGUR?!" desak Lestari dengan tegang. "Apakah aku benar-benar pemeran utamanya?!" Napasnya semakin tidak teratur, mencerminkan kegelisahan yang mendalam.

"Tidak... Tidak... Ini tidak mungkin... TIDAAAAAAK!" Lestari meluapkan teriakan yang begitu kuat, mengguncang kedua pria di ruangan itu dan menimbulkan rasa khawatir yang nyata.

Presdir Victor mendekati Lestari dengan langkah hati-hati, lalu memeluk erat tubuhnya yang terasa tak terkendali. Air mata pun tumpah, disertai dengan tangisan keras yang memecah keheningan ruangan. Bahkan, jas yang dikenakan oleh sang presdir terkena sisa-sisa emosi Lestari, menjadi basah di beberapa bagian yang terkena air mata.

***

Presdir Victor kini berada di salah satu ruangan bersama Lestari dan seorang wanita berbaju rapi yang dijuluki psikiater.

Pria tampan itu tak sanggup lagi menanggung beban dari teriakan dan kegelisahan gadis yang ia bawa. Melihat sedikit pemulihan pada Lestari, presdir Victor memutuskan untuk membawanya menemui psikiater, sambil tetap melanjutkan tugasnya untuk mengantar anaknya ke sekolah.

"Anak tuan mengalami anxiety disolder atau gangguan kecemasan," jelas psikiater dengan nada serius, memberikan diagnosis yang membebankan pada sang presdir.

Wanita berbaju rapi itu juga memberikan saran dengan penuh kehati-hatian, mendorong agar anaknya segera menjalani terapi untuk mengatasi gangguan mental yang tengah dihadapinya.

Namun, menyadari bukan siapa-siapa, Lestari dengan tegas menolak tawaran dokter untuk menjalani hipnoterapi. Keberanian itu muncul dari dalam dirinya, menguatkan tekadnya untuk mengatasi cobaan ini tanpa campur tangan metode yang terasa asing.

Walau begitu, kekhawatiran melingkupi hati presdir Victor, terutama karena kondisi mental gadis itu, yang semakin diperparah dengan kenangan traumatis di hotel. Ia merasa ada hubungan yang tak terelakkan antara peristiwa tragis tersebut dan kondisi psikologis gadis itu.

"Aku ingin pulang," ujar Lestari dengan suara datar, menyampaikan keinginannya yang sebenarnya adalah untuk kembali ke dunianya yang terasa lebih aman. Tapi presdir Victor salah mengartikan, mengira bahwa Lestari hanya ingin kembali ke rumah fisiknya yang familiar.

Tidak ada jalan lain untuk membujuknya menjalani terapi, presdir Victor akhirnya menuruti keinginan Lestari, lalu mengantarnya pulang. Pria tampan itu berharap, dengan kembali ke lingkungan rumahnya, gadis itu bisa menemukan ketenangan yang selama ini sulit dicapai.

"Dimana rumahmu?" Tanya presdir Victor sambil mengendorkan laju mobilnya dan memarkirkannya dengan hati-hati.

"Jalan Menteng," ucapnya dengan suara sayu, seolah menggambarkan sebuah rahasia yang lama terpendam.

Sontak, presdir Victor terkejut mendengar lokasi rumah gadis itu. Perumahan orang-orang elit dan pengusaha biasanya mendominasi daerah itu. Ia mulai berspekulasi, mungkin gadis yang duduk di sebelahnya ini juga berasal dari keluarga berada.

Sesampainya di Jalan Menteng, Lestari dengan hati-hati memberikan petunjuk ke titik pusat rumahnya. Ketika sampai di lokasi tujuan, presdir Victor tak dapat menahan keterkejutan melihat rumah gadis itu yang begitu luas dan megah.

Mobilnya diparkir dengan hati-hati, dan Lestari melangkah keluar dengan langkah ragu. Sambil mengucapkan terima kasih, gadis itu bergerak perlahan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan sang presdir dengan rasa keheranan yang masih menyelimuti pikirannya.

Namun, dalam sekejap, seorang wanita keluar dengan tergesa-gesa menuju Lestari, lalu menamparnya dengan pukulan keras yang memecah keheningan.

"Kemana kau kabur, huh?!" ,

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!