Antara Dendam Dan Cinta
Sret! Bres!
Sebuah senjata berhasil mematahkan kaki kiri seorang lelaki, lelaki tersebut terus menatap kakinya. Bahkan tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya, rasa nyeri sama sekali tidak terasa.
Hamdan!
Teriak lelaki lain sambil berlari mendekati Hamdan, orang yang terkena sebuah senjata hingga kakinya patah, lelaki tersebut begitu panik. Meminta bantuan pada orang-orang yang justru hanya memandangnya, lelaki tersebut merupakan Hikmal kakak dari Hamdan.
Wiu! Wiu! Wiu!
Sirine mobil ambulance memekakkan gendang telinga, Hikmal berusaha membawa Hamdan menuju mobil ambulance dibantu salah satu petugas ambulance.
Gue akan balas semua ini!
Teriak Hikmal pada segerombolan pemuda, lebih tepatnya anak sekolah yang sedang melakukan tawuran.
Sampai rumah sakit, Hikmal mondar-mandir menunggu kabar adik kesayangannya. Meskipun setiap hari bertengkar, Hikmal tetap menyayangi Hamdan.
"Bagaimana adikmu Hikmal? Kenapa bisa terjadi? Astaga! Hiks! Hiks! Hamdan!" Hanum ibu dari Hikmal dan Hamdan tiba dirumah sakit, dengan air mata berderai, Hanum berdiri sejajar dengan Hikmal.
Hikmal merengkuh tubuh Hanum. "Hikmal juga tidak tahu jika kejadiannya seperti ini Bu, maaf Hikmal tidak bisa menjaga Hamdan dengan baik." Sesal Hikmal meneteskan air matanya.
Hanum ikut menangis, merasakan sakit begitu luar biasa. Hanum bukan menyalahkan Hikmal maupun Hamdan, Hanum hanya tidak terima dengan apa yang terjadi dengan putra keduanya tersebut.
Dokter keluar, mengabarkan jika Hamdan kehilangan satu kakinya. Kabar itu membuat Hanum semakin frustasi, Hanum terus saja menangis.
"Bu berhentilah menangis, kasihan Hamdan. Kita harus kuat, agar Hamdan tidak merasa sedih." Hikmal mencoba menenangkan Hanum.
Beberapa hari berlalu, kini Hamdan sudah diperbolehkan untuk pulang.
"Tumben Bang lo sendiri, Ibu gak ikut kesini? Biasanya itu Emak paling rempong kalau menyangkut soal gue," tanya Hamdan kala Hikmal membawanya pada kursi roda.
Hikmal masih sibuk dengan Hamdan. "Gue juga gak tahu, mungkin ada keperluan. Kalau gak ya arisan, biasa emak-emak. Lo udah siap pulang kan?" Hikmal menatap dalam Hamdan.
Hamdan tersenyum sambil mengangguk, setelah kejadian itu. Hamdan mencoba ikhlas, meski itu sulit.
Plak!
Hamdan dan Hikmal saling pandang, ini sudah kesekian kalinya Malik melakukan KDRT terhadap Hanum.
"Sudah berapa kali aku bicara! Jangan pernah ikut campur urusanku! Mau aku mabuk-mabukan! Judi! Bahkan selingkuh sekalipun, kau tidak punya hak mengaturku!" ucap Malik dengan nada meninggi.
Ayah!
Teriak Hikmal, Hikmal membawa tubuh Hanum kesisinya.
"Hey bocah ingusan! Kau tidak usah berteriak seperti itu, kupingku masih berfungsi dengan normal." Malik justru memaki Hikmal secara bergantian.
Dengan gerakan cepat Hikmal memepet Malik pada dinding. "Aku masih sopan terhadapmu bajingan! Kau hanya bisa mabuk-mabukan, menyakiti Ibu, juga menghabiskan uangnya! Kau tidak punya kemampuan apapun, kau …,"
"Lepaskan Hikmal! Jangan seperti itu sayang, dia Ayahmu! Sadarlah!" potong Hanum berusaha memisah ayah serta anak yang sedang bertengkar.
Malik menyeringai, "pintar sekali kau berbicara, tidak ingat besar karena siapa? Aku yang sudah membesarkanmu! Aku yang dulu mencarikan segala kebutuhanmu! Sebelum Ibumu menjadi pelacur hanya untuk sebuah harta!" Malik menudingkan tangannya pada mata Hikmal. "Perlu kau ingat, aku seperti ini penyebabnya Ibumu! Jika dia tidak bermain api, bahkan hingga melahirkan anak kebanggaanya itu, aku tidak akan seperti ini!"
Bugh!
Hikmal memberikan bogeman pada perut Malik, Malik sempat terhuyung. Badannya yang tidak berisi juga tidak kurus, membuat Hikmal dengan mudah mengalahkannya.
Ibu bukan pelacur! Hamdan adik kandungku!
Racau Hikmal terus memberikan bogeman pada Malik, Hanum berteriak histeris hanya Hamdan yang begitu dingin.
"Lepaskan tanganmu itu dari badan si tua bangka Bang! Jangan lo kotori tangan lo," ucap Hamdan akhirnya.
Hanum menggelengkan kepalanya, bukan menyelesaikan masalah Hikmal justru membuat keadaan semakin parah.
"Buka matamu Hikmal! Ibumu hanya menyayangi anak haram itu, coba kau fikir. Ibumu sejak dulu tidak pernah adil, untuk apa kau selalu membelanya? Memang benar dia anak haram, nyatanya sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa ayahnya. Sadarlah Hikmal!" jawab Malik memperkeruh suasana.
Hikmal mengepalkan tangannya, "diamlah kau! Lebih baik kau pergi dari sini! Muak sekali rasanya melihat kau yang terus mengoceh, sejak dulu hingga sekarang. Ibu selalu menyayangiku dengan baik, tanpa pilih kasih! Jangan pernah lagi kau mengatakan Hamdan anak haram, dia bukan anak haram! Dia anak Ibu!" sentak Hikmal melemparkan badan Malik dengan kasar.
"Kau memang anak bodoh! Yang sudah terlihat jelas di depan mata, kau masih saja mengelak. Malas sekali punya anak bodoh sepertimu!" Malik berusaha bangkit untuk berdiri.
"Mas! Jangan bicara seperti itu! Kau tidak boleh membandingkan anak kita, anak kita mempunyai keunikan sendiri. Sudah berapa kali aku mengatakan bahwa Hamdan itu anakmu Mas!" Hanum mencoba peruntungan agar Malik tidak berbicara semaunya.
Malik memandang Hanum dengan kesal, "tidak usah berceramah, kalau mau ceramah sana dimasjid! Kupingku panas mendengar suara cemprengmu itu."
Malik berjalan, melewati Hamdan yang masih diam terpaku di atas kursi roda. Pandangan Hamdan lurus kedepan, dengan raut wajah datar, tanpa menoleh ke arah Malik sedikitpun.
Brugh!
Malik sengaja menabrak kursi roda Hamdan, hingga Hamdan oleng. Saat itu wajah Hamdan sama sekali tidak berubah, wajahnya mendadak mati semenjak kejadian itu.
Hamdan!
Teriak Hikmal dan Hanum secara bersamaan, tidak menyangka jika Malik akan menabrak Hamdan.
"Ayah! Jalan itu pakai mata! Lihat! Hamdan terjatuh!" sentak Hikmal membantu Hamdan kembali duduk di kursi roda.
Malik tersenyum mengejek, "memang sengaja," ucapnya lantas berlalu pergi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Gue anterin ke kamar ya? Lo harus istirahat, Lo kan baru …,"
"Tidak usah, gue bisa sendiri. Makasih bantuannya," potong Hamdan dengan wajah datar.
Hamdan menjalankan kursi rodanya menuju kamar, ada rasa sakit ketika Hamdan mendadak berubah. Biasanya anak itu selalu tersenyum, hanya disekolah saja Hamdan menjadi anak pendiam. Selain takut murid perempuan mendekatinya karena ketampanannya, juga merupakan anak berprestasi.
Hamdan sering menjuarai berbagai lomba, dari akademik maupun non akademik Hamdan bisa menaklukkannya.
Brak!
Hamdan membanting pintu dengan kasar, Hikmal ingin menghampirinya. Hanum lebih dulu mencegahnya, padahal Hikmal ingin sekali menemani Hamdan.
"Biarkan dulu sendiri, Hamdan perlu menenangkan dirinya. Nanti kalau sudah tenang pasti keluar kok, kamu lebih baik makan. Mama sudah siapkan semuanya," jelas Hanum mengelus punggung Hikmal.
Hikmal menggeleng, "aku tidak nafsu makan Ma, Mama saja yang makan. Aku akan menunggu Hamdan disini, siapa tahu Hamdan butuh bantuan."
Hanum tidak ingin memaksa keinginan Hikmal, Hanum meninggalkan Hikmal yang memilih membaringkan badannya disofa. Saat matanya terasa berat, Hikmal memilih untuk memejamkannya.
Tyar!
Suara gaduh terdengar dari kamar Hamdan, dengan cepat kilat Hikmal berlari menuju kamar Hamdan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments