Sigit mendekatkan bibirnya pada telinga teman Reyhan tersebut, entah apa yang sudah Sigit bisikan hingga membuat teman tersebut masuk kedalam.
Beberapa menit kemudian Reyhan keluar, lelaki yang memiliki kulit sawo matang, tapi tetap manis itu berjalan mendekati Sigit, Hikmal serta yang lainnya.
"Lo sudah siap dengan kosekuensi yang ada? Lo tahu apa tentang tawuran? Gelutnya antar pelajar? Atau apa?" tanya Reyhan memandang Hikmal.
Hikmal tersenyum kecut, "gue bukan bodoh! Gue tahu tawuran itu seperti apa, yang kalah akan kehilangan nyawa sedangkan yang menang akan menghabisi nyawa. Lo pikir gue bocah SD?" tutur Hikmal dengan seringai mautnya.
"Lo ganteng, kalau dilihat dari penampilan lo pasti lo orang kaya. Kalau sampai lo mati, memang gak akan banyak orang yang merasa kehilangan lo? Lo yakin bakal ikut tawuran ini? Meskipun nyawa lo selamat, wajah lo tetap akan menjadi bulan-bulanan mereka! Bahkan tidak hanya itu saja, nyawa orang-orang terdekat lo pasti juga bakal terancam." Reyhan memandang sinis pada Hikmal.
Hikmal tersenyum remeh, "apa hubungannya wajah gue sama gue dari orang miskin atau kaya? Memang kalau tawuran harus yang kaya saja? Sebenarnya lo ini ngajakin gue tawuran atau pemilihan ketua osis sih? Dahlah buruan, lo mau gak kerjasama dengan gue?" tanya Hikmal memicingkan matanya sebelah.
Reyhan terdiam, dia membalikkan badannya untuk masuk kedalam. Sementara Hikmal berfikir jika Reyhan menolak ajakannya, Hikmal memberikan instruksi agar yang lain balik menuju motornya.
Hey! Tangkap!
Teriak Reyhan membuat Hikmal spontan menoleh, Hikmal menangkap sebuah senjata yang diberikan Reyhan.
"Bawa itu! Sekarang kita bergegas, kalian semua harus membawa juga. Dapatkan kepala Rendra," ucap Reyhan dengan senyum bengis.
Hikmal hanya tersenyum, lantas menggenggam erat senjata itu di tangannya. Mereka mulai berjalan, menuju sebuah jalan raya yang biasa untuk mereka jadikan tawuran.
Kubu Moza sudah menunggu, mereka juga sama membawa senjata berupa parang. Hikmal sedikit bergidik, tapi saat pandangannya tertuju pada Rendra. Bayangan kaki Hamdan yang patah begitu saja membuat wajah Hikmal merah padam, kemarahan Hikmal sudah berada dipuncak.
Serang! Maju!
Instruksi Reyhan yang begitu melolong di jalanan, teman Reyhan mulai berjalan maju. Sementara Hikmal masih terus memantau Rendra, hingga saat penjagaan Rendra sedikit lengah Hikmal maju.
"Gue bakal balas semua rasa sakit lo Dek, bersiaplah Rendra! Lo harus merasakan penderitaan yang sedang Adek gue alami! Rasakan pembalasanku!"
Teriak Hikmal menggelegar, Hikmal mencengkram kuat parang yang ada di tangannya. Hikmal mulai berlari, menghampiri Rendra yang sedang fokus dengan orang lain.
Berhenti!
Teriak seorang gadis mengenakan jilbab, dia bahkan berdiri menghadang kubu Reyhan juga Rendra.
Mundur!
Instruksi Reyhan juga Rendra, semua kembali ke asal. Hanya Hikmal yang masih berdiri di tengah, masih berdiam diri di tempat.
Gadis itu menjewer telinga Rendra, hingga membuat Rendra mengerang kesakitan. Sementara teman Rendra mulai membubarkan diri, begitu juga dengan Reyhan.
"Sudah berapa kali gue bilang Bang? Jangan lagi lakukan tawuran ini, kenapa lo masih saja tawuran? Lo ini pura-pura budek atau sengaja gak mau dengar hah?!" teriak gadis itu masih setia menjewer telinga Rendra.
Rendra berusaha melepaskan tangan gadis tersebut. "Lepaskan dong Dek, lagian lo ngapain sih selalu ngerecokin gue? Gue juga sudah bilang berkali-kali sama lo, kalau gue tetap bakal tawuran! Kenapa juga lo bandel sih! Lepasin tangan lo atau kalau enggak gue bakal …,"
"Bakal apa? Lo pikir gue takut sama ancaman lo itu Bang? Pulang! Sekarang!" Gadis itu menyeret Rendra dengan tangan masih menjewer telinga Rendra.
Hikmal menyaksikan kepergian gadis tersebut dengan Rendra, padahal misi balas dendam sudah ada didepan mata. Tapi misinya harus kandas gara-gara gadis tersebut, yang membuat Hikmal tidak habis pikir. Hikmal seperti mengenal gadis tersebut, tapi Hikmal lupa siapa gadis tersebut.
"Woy! Bos! Lo ngapain masih betah berdiri disini? Lo mau berjemur?" ucap Wawan menimpuk pundak Hikmal.
Hikmal terlonjak kaget, "gue kayak gak asing sama gadis itu, kayak pernah ketemu. Tapi dimana? Gue lupa," jelas Hikmal menatap kembali gadis yang bersama Rendra.
"Itu Intan Bos, adiknya Rendra. Memang yang bikin Rendra berhenti tawuran ya hanya Intan itu, meskipun ujungnya bertengkar. Tapi Rendra selalu kalah, jelas gak akan asing. Intan kan sekolah di sekolah kita Bos, panas nih. Cabut yok! Sudah gak ada orang juga," ajak Sigit membuat Hikmal mengekorinya.
Sementara di tempat lain, Hamdan ingin mengikuti basket. Ya sebelum kakinya cacat, dulu Hamdan merupakan pimpinan tim basket, Hamdan dengan penuh percaya diri mendekati pelatih.
"Bawa sini bolanya Pak, saya sudah siap." Sambil tersenyum Hamdan mengulurkan kedua tangannya.
Pak Ferdo mendekati Hamdan. "Hamdan saya tahu ini begitu sulit untuk kamu, saya bukannya meragukan kemampuanmu. Tapi dengan kondisimu yang seperti ini, apa kamu yakin bisa bermain basket?" tutur Pak Ferdo menyamakan tinggi tubuhnya dengan Hamdan yang berada di kursi roda.
Senyum Hamdan hilang, berubah menjadi dingin. "Jadi saya sudah tidak bisa bermain basket lagi? Bapak yakin akan menggantikan saya?" tanya Hamdan.
"Kenapa tidak? Gue yang bakal menggantikan lo, lo tidak perlu bermimpi lagi. Lo sudah cacat, jadi tidak perlu bermimpi bisa main basket kembali. Lebih baik lo mundur, istirahat sana!" ucap Darwin musuh bebuyutan Hamdan.
Pak Ferdo meniup peluit, Hamdan mengepalkan tangannya. Hamdan memilih pergi dari lapangan basket, saat berjalan Hamdan tidak sengaja berpapasan dengan pendukungnya dulu.
"Kasihan sekali, sudah cacat tidak bisa apa-apa lagi. Bahkan posisinya digantikan musuhnya."
"Iya, kasihan. Padahal dulu idola, sering dipuja-puja."
"Sombong sih, sok jual mahal pula."
Semua kasak-kusuk serta hinaan membuat hati Hamdan memanas, Hamdan memilih untuk pergi. Meskipun masih ada saja yang memakinya, Hamdan yang begitu marah tanpa disadari sebuah batu besar membuatnya terjatuh.
Badan Hamdan ambruk, bahkan terlepas dari kursi roda. Hamdan menangis, sambil terus menepuk-nepuk badannya. Tangis Hamdan meraung-raung, dunianya benar-benar hancur.
Hamdan!
Pekik Hikmal berlari tergopoh-gopoh menghampiri Hamdan, "apa yang terjadi? Siapa yang sudah melakukan ini? Katakan!"
Hamdan masih menangis meraung-raung, membuat hati Hikmal ikut teriris. Begitu juga dengan teman-teman Hikmal, mereka tidak kuasa melihat Hamdan seperti itu. Dimata teman-teman Hikmal, Hamdan berbeda bukan seperti apa yang mereka tuduhkan.
"Bangun Hamdan! Gue bantu, lo harus bangun! Lo harus bangkit! Tidak boleh seperti ini! Bangun! Hamdan! Gue tidak mau lo …,"
"Apa salah gue Bang? Kenapa Allah hanya mengambil kaki gue? Kenapa tidak mengambil nyawa gue juga? Kenapa Bang! Kenapa?!" teriak Hamdan dengan terisak.
Hikmal terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja Hamdan katakan. Hikmal tidak menyangka jika Hamdan berfikir seperti itu, ini kedua kalinya dia menyalahkan dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments