Hikmal meraih pisau yang dibawa Hamdan, hingga pisau itu mengenai tangannya. Hanum yang panik berteriak, mendapati tangan Hikmal yang berdarah. Hamdan yang merasa bersalah mendekati Hikmal, lantas meraih tangan Hikmal.
"Kenapa lo tarik paksa pisau itu Bang? Apa lo nyari mati? Cepat ambilkan p3k Bu," perintah Hamdan yang panik.
Hanum mengambil p3k, sementara Malik pergi begitu saja tidak mau tahu kekacauan yang dibuatnya. Hamdan mulai mengobati luka pada Hikmal, meskipun tidak begitu berat tetap saja luka Hikmal harus segera diobati.
Mereka kini berada diruang tamu, "lo ngeraguin kemampuan gue ya Bang? Makannya lo tarik paksa itu pisau? Biar gue cacat begini, gue masih bisa kok ngerobek mulut itu tua bangka! Mengesalkan!" oceh Hamdan terus mengobati luka Hikmal.
"Bukan begitu Dek, gue cuman gak mau sampai lo kenapa-napa. Lagian lo juga baru pulih, jangan melakukan keputusan saat lo sedang emosi. Lagian lo ngapain ladenin itu orang sih Dek? Memang itu orang kan sejak dulu pembuat masalah," tegur Hikmal membuat Hamdan menghentikan aktivitasnya.
"Gue gak habis pikir saja Bang, dengan kejadian gue yang seperti ini itu orang masih saja membuat onar. Gue gak terima Ibu diperlakukan dengan tidak baik, gue udah tidak punya batas kesabaran lagi." Hamdan mendengus kesal.
"Ibu tidak apa-apa kok, itu mah sudah biasa. Kalian buruan ganti baju, habis ini makan. Kamu gimana Hikmal? Masih juga kamu tidak masuk sekolah?" tanya Bu Hanum sambil mempersiapkan makanan diatas meja.
"Abang masih belum bisa tobat Bu, kalian saja berdua. Nanti Hamdan nyusul," sela Hamdan sambil bergegas pergi menuju kamar.
Bertengkar dengan Malik membuat nafsu makan Hamdan mendadak hilang, Hamdan memilih untuk pergi ke kamarnya saja.
Baru mengganti seragam, terdengar ribut-ribut di luar. Hamdan yang berniat untuk tidur mendadak mengurungkan niat tersebut, Hamdan memilih keluar.
"Bu Hanum ini ya, bisa-bisanya suami selalu minta uang sama suami saya! Dia pikir suami saya ini penghasil uang apa?! Batas kesabaran saya sudah habis Bu, tetap saja suami Ibu bertindak semaunya! Sekarang saya minta balikin duit uang sudah dipinjam suami Ibu!" maki Bu Furi sambil menuding Hanum tepat diwajahnya.
Dengan cepat Hamdan melajukan kursi rodanya. "Ada apa ini Bu? Bu Furi marah-marah dengan Ibu saya? Apa Ibu saya melakukan sesuatu? Hingga membuat Ibu memaki Ibu saya seperti itu?" tanya Hamdan berusaha menenangkan suasana yang sudah cukup memanas.
Terlihat Hikmal yang juga ikut berlarian keluar, Hikmal tadi sedang menuntaskan makannya jadi tidak mengetahui bahwa kedatangan Bu Furi justru membuat keributan.
"Bilang sama Ibumu, suruh bayar uang yang selalu Ayahmu minta sama suami saya! Dipikir suami saya ternak uang apa! Didiemin bukannya terasa malah semakin melonjak!" Bu Furi yang kepalang emosi terus saja berkata dengan ber api-api.
Hamdan menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Sudah tidak perlu marah-marah begini juga Bu! Ibu ini sudah pernah naik haji sikapnya kayak tidak beragama saja, apa tidak malu kalau seperti ini? Lihat tuh tetangga saja sampai pada ngeliatin Ibu, memang Ayah minta uang berapa Bu?" Tanya Hamdan.
Nampak Bu Furi yang terlihat malu, kini Bu Furi baru menyadari bahwa tindakannya tadi mengundang banyak orang.
"Tidak sedikit, hanya 2 juta. Bagi Ibumu uang segitu kan kecil, apalagi Ibumu seorang …," ucap Bu Furi terpotong, Bu Furi menutup mulutnya seolah sedang keceplosan.
Hanum terlihat menghembuskan nafasnya, "maksud Ibu saya pelacur? Kenapa tidak diterusin Bu? Saya mah sudah biasa mendengar kata-kata itu, uang segitu memang kecil bagi saya. Saya sudah sering mengeluarkan uang yang lebih banyak dari ini, jadi Ibu tenang saja." Hanum mengeluarkan beberapa lembar uang yang diserahkan pada Bu Furi. "Harusnya Ibu tidak perlu marah-marah kalau uang itu hanya 2 juta, saya juga bakal mengembalikan kalau Ibu mengatakan sesungguhnya. Selama ini Ibu tidak pernah memberitahu saya apapun itu, jadi saya mana tahu soal suami saya. Sudah sah ya Bu? Ibu boleh kok pergi dari rumah saya, daripada Ibu malu sendiri dengan perilaku Ibu ini."
Bu Furi yang kesal lantas menyerobot uang itu, Hamdan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah laku Bu Furi.
"Kasihan banget ya Bu Hanum, sudah anaknya tertimpa musibah, suaminya tidak tobat juga. Kalau saya jadi Bu Hanum sudah pasti jadi gila," ucap seorang warga yang masih berkasak-kusuk di halaman rumah Hanum.
"Gak usah kasihan! Mungkin itu juga karma! Ya karma sudah menjadi pelacur plus pelakor, saya mah udah gak ada rasa belas kasihan! Sudahlah pergi saja dari sini, nanti malah laki kita yang diembat!" balas salah satu warga yang mengenakan banyak perhiasan.
Hamdan begitu geram nafasnya naik turun, tangannya mendadak gatal ingin menampar mulut-mulut yang sudah berdosa itu.
Hikmal mendekat, "hey ibu-ibu, memangnya kalian pernah melihat dengan mata kalian sendiri kalau Ibu saya melacur? Dimana Ibu saya melacur? Coba jelaskan!" sungut Hikmal berkacak pinggang.
"Heleh! Gak perlu dijelaskan pun kabar itu sudah tersebar! Kau kan anaknya, sudah pasti kau akan membela Ibumu itu!"
"Kalau Ibu tidak tahu dengan mata kepala Ibu sendiri, jatuhnya fitnah Bu! Berarti Nafis anak Ibu yang perempuan itu pelacur juga dong?!" Hikmal membalikkan pembicaraan hingga membuat Bu Mayang membelalakkan matanya.
"Hey jangan asal tuduh kamu! Suka benar menebar fitnah!"
"Lah bukankah itu yang Ibu lakukan pada Ibu saya? Sudahlah Bu tidak perlu mengurusi hidup orang, lebih baik Ibu urusi itu keluarga Ibu. Jangan sampai yang Ibu ucapkan tadi justru berimbas pada anak Ibu, apalagi Ibu punya anak perempuan kalau bicara hati-hati Bu!"
Bu Mayang yang kesal memilih untuk pergi, sementara yang lain entah apa yang mereka katakan. Lebih tepatnya mereka seperti orang bergumam pada diri sendiri, Hanum mengajak Hikmal juga Hamdan untuk masuk kedalam rumah.
"Sudah mukanya tidak perlu kalian tekuk seperti itu, Ibu tidak apa-apa kok. Perkataan seperti itu mah sudah biasa, Ibu sudah kebal."
"Gimana gak ditekuk Bu, hampir setiap hari mereka mengatakan seperti itu pada Ibu. Hanya karena Ibu bekerja dari pagi pulang malam, membuat mereka menyangka Ibu sebagai pelacur. Hikmal tidak terima Bu, orang jelas-jelas Ibu selalu ambil lembur agar mendapat uang lebih kok." Hikmal sungguh tidak menyangka bahwa tetangga masih saja menyebar fitnah pada Hanum.
"Sudah-sudah! Sekarang kalian siap-siap untuk sholat, sebentar lagi adzan maghrib. Ibu juga mau siap-siap," balas Hanum lantas pergi meninggalkan Hamdan juga Hikmal.
Perut Hamdan mulai terasa lapar, Hamdan pergi menuju meja makan tanpa pamit dengan Hikmal.
Hikmal mendekati Hamdan sambil mengenakan pecis juga sarung dengan rapi. "Dek gue mau berangkat sholat dulu, lo habis makan jangan lupa sholat juga jangan menunda sholat gak baik."
"Iya ntar gue bakal sholat kok Bang lo tenang saja, itupun kalau ingat." Hamdan menghisap jari-jarinya yang tersisa makanan.
Hikmal hanya menggeleng, kebiasaan buruk Hamdan memang sejak dulu tidak pernah melaksanakan sholat. Berbanding terbalik dengan Hikmal, memang Hikmal tidak sepintar Hamdan. Tapi soal agama, Hikmal lebih unggul dari pada Hamdan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments