Bab.11

Dunia seketika runtuh, Hikmal terus menangis, memacu laju motor tanpa arah. Bahkan untuk menerima kenyataan ini membuat Hikmal tidak sanggup, Hikmal pikir Malik yang berlebihan. Nyatanya lelaki itu justru menyimpan banyak luka, harusnya Hikmal paham sejak awal. 

Ckit! 

Hikmal mengerem mendadak, pasalnya tinggal beberapa langkah saja Hikmal akan bertabrakan dengan sebuah mobil. 

"Lo mau cari mati? Lo gak lihat motor segede ini? Apa lo sudah gak betah …," 

Hikmal? 

Potong wanita tersebut, setelah mengetahui siapa lelaki yang ada dihadapannya. 

"Lo nangis? Astaga! Sini turun, gak baik menyetir dalam keadaan nangis begini." Intan menyeret lengan Hikmal begitu saja. 

Bahkan tanpa menunggu persetujuan Hikmal terlebih dahulu, Intan membawa Hikmal ke tepi jalan. Intan menyodorkan botol minuman kehadapan Hikmal. 

"Lo ngapain sih malem-malem gini nyetir sambil nangis, habis putus cinta lo? Ck! Parah lo, soal begitu saja lo nangis." Decak Intan. 

Sejenak Hikmal terdiam, sambil meneguk minuman yang ada ditangannya. Sejak pertama bertemu dengan Intan, perempuan itu memang sudah cerewet. 

"Memang salah kalau gue nangis? Emang lo pikir perempuan saja yang bisa nangis? Meskipun bukan soal cinta yang gue tangisi, lebih baik menangis daripada bunuh diri." Hikmal mulai tenang saat dirinya meneguk minuman yang tadi diberikan Intan. 

Glek! Glek! Glek! 

Minuman itu tandas, Hikmal meremas botol ditangannya membuang asal begitu saja. Intan sempat tertegun, hanya saja tidak berani berucap. Hingga Hikmal menyerahkan uang 5 ribu pada intan, membuat Intan kebingungan. 

"Maksud lo?" 

"Itu buat bayar minuman yang lo tadi bawa, gue gak mau harus balas budi sama lo." 

Hikmal berdiri menuju motornya, meninggalkan Intan yang masih terdiam menganga. Hikmal melajukan motornya kembali menuju rumah, sebenarnya Hikmal enggan ingin pulang. 

"Dari mana? Habis bertengkar?" tanya Hamdan sudah berada di belakang pintu. 

"Lo kenapa gak tidur Dek? Sudah malam, tidurlah." 

Hikmal tidak menjawab pertanyaan Hamdan, justru memerintahkan Hamdan agar masuk kedalam kamar. 

"Gue tahu perasaan lo sedang hancur, gue juga pernah ngalamin di posisi lo. Tapi gue sadar, kenyataan itu tidak akan pernah bisa diubah. Gue tetap akan menyayangi lo seperti Abang kandung gue sendiri, tidak peduli lo mau terima atau tidak! Perasaan itu tidak akan pernah berubah," ucap Hamdan menghentikan langkah kaki Hikmal. 

Hikmal membalikkan badannya. "Jadi lo sudah tahu? Dan lo hanya diam saja? Kenapa?" 

"Gue ingin lo dengar kenyataan itu dari mulut Ibu sendiri, biar lo juga percaya." 

"Ck! Omong kosong! Kalian berdua memang pintar bersandiwara, sudahlah! Tidak perlu menjelaskan apapun, gue sedang ingin sendiri." 

Hikmal kembali berjalan, Hikmal tidak menuju kamar dimana dirinya tidur dengan Hamdan. Melainkan menuju kamar milik tamu, sementara ini Hikmal memang butuh menenangkan dirinya sendiri. 

"Tumben lo gak sama Hamdan? Kalian sedang bertengkar?" tanya Sigit saat mereka menuju ke dalam kelas. 

"Gimana kabar Wawan? Apa hari ini sudah masuk sekolah?" Hikmal justru mengalihkan topik pembicaraan. 

Bravo merangkul pundak Hikmal. "Lo tenang saja, itu anak pasti datang sekolah kok. Nyokapnya mana tinggal diam kalau itu anak tidak sekolah," jelas Hikmal menghentikan langkahnya. 

"Hari ini masuk kedalam kelas, gue ingin mengikuti pelajaran. Gue tidak mau merepotkan siapapun," ucap Hikmal membuat mereka saling pandang. 

Hikmal terus berjalan tanpa memperdulikan sikap teman-teman yang memandang aneh padanya, Hikmal tidak ingin membuat keputusan itu berubah. 

"Tumben kalian masuk kelas? Kalian mau apa? Jangan bikin rusuh di dalam kelas, jika tujuan kalian hanya membuat rusuh lebih baik kalian keluar saja." Salah satu guru yang sedang mengajar kelas Hikmal tidak menyangka bahwa hari ini mereka berubah. 

Hikmal hanya terdiam tanpa ingin menjawab peringatan guru tadi, Hikmal bahkan sudah mengeluarkan alat tulis. Mulai mengikuti pelajaran hingga istirahat berbunyi, biasanya saat istirahat Hikmal akan mengajak teman-teman menuju kantin. Berbeda dengan hari ini Hikmal justru membuka bekalnya, semua anak bahkan sampai heran. 

Wawan mendekat, "lo berubah bukan karena gue kan? Gue gak mau perubahan lo ini terpaksa, gue gak masalah kehilangan nyawa gue asal balas dendam itu terwujud. Gue bahkan tidak peduli sekeras apa orang tua gue ngelarang gue, lo itu lebih dari teman. Lo yang sudah bikin gue seperti ini," jelas Wawan. 

"Lo lihat gue lagi makan gak sih? Kenapa lo ajak gue ngobrol? Ini semua bukan gara-gara lo, lo gak usah sok ke PD an. Urusan balas dendam itu biar jadi masalah gue, kalian fokus sekolah saja. Apalagi kita sudah kelas 3 yang sebentar lagi akan lulus, gue gak mau kalian justru tinggal kelas gara-gara mikirin ini." Hikmal beranjak dari duduknya. 

Saat Hikmal ingin pergi sebuah tangan meletakkan air mineral dihadapannya. "Itu uang semalam yang lo beri sama gue, gue tulus mau bantu lo jadi lo gak usah ganti minuman gue. Gue hanya ingin lo bangkit dari semua ini, apapun masalah lo semalam memang gue tidak tahu. Tapi lo tidak sendiri, semua orang punya masalah masing-masing. Habis ini jangan pernah mengembalikan maupun mengganti barang yang sudah gue kasih, gue gak suka!" Intan membalikkan badan pergi dari kelas Hikmal. 

"Lah itu cewek bukannya yang waktu itu ngaku miskin?" tanya Wawan sambil memandang tubuh Intan yang semakin jauh. 

Sigit menepuk pundak Hikmal. "Jangan bilang gara-gara Intan lo jadi lemah, gara-gara dia lo melupakan balas dendam lo sama Rendra. Jangan kecewakan gue sebagai sahabat yang sudah dukung lo penuh, lo harus ingat penderitaan Hamdan. Hamdan tidak akan pernah kehilangan kakinya jika bukan Rendra yang mengambil," imbuh Sigit menatap tajam Hikmal. 

"Ck! Mana bisa! Semalem itu cewek hanya nolongin gue doang, gue sama sekali tidak suka sama itu cewek. Dia bukan selera gue, toh Kakaknya sudah bikin Adek gue menderita. Kalau perlu itu cewek kita gunakan alat sebagai balas dendam," balas Hikmal sambil tersenyum menyeringai. 

 Meskipun benar begitu tapi hati Hikmal menolak, ada getaran lain saat dirinya berjumpa dengan Intan. Wanita itu yang mampu membuat Hikmal merasa tenang saat berada didekatnya, jika benar itu cinta pasti akan rumit. 

Hikmal pamit menuju toilet, mendadak hajatnya ingin segera dituntaskan. Mungkin gara-gara makan mie terus membuat perut Hikmal terasa perih, Hikmal berjalan meski dengan tertatih-tatih. 

Byur! 

Siraman air hingga tawa Marsha membuat perut Hikmal membaik, mata Hikmal bahkan sampai membola saat melihat Marsha mengguyur air di tubuh Intan. 

"Lo ya dibilangin masih juga ngeyel, sudah berapa kali gue bilang buat tidak dekat-dekat dengan Hikmal? Sampai kapanpun Hikmal itu hanya milik gue! Lo gak usah keganjenan buat deketin dia, mentang-mentang pakai kerudung lo seenak jidat rayu dia gitu? Gak akan mempan! Kerudung lo ini hanya sebagai penutup doang kan? Bahwa sebenarnya lo itu perempuan murahan?" Marsha kini menarik-narik kerudung yang dikenakan Intan. "Sampai gue lihat lagi lo deketin Hikmal, gue gak akan segan-segan kasih lo pelajaran yang lebih menyakitkan dari ini! Awas ya lo, setiap gerak-gerik lo gue akan awasin!" Marsha mengibaskan tangannya dengan kasar hingga membuat Intan terjatuh. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!