Bab.10

"Dasar biang orok! Pencemar nama baik sekolah!" 

"Biang kerok Zahra! Kalian nih sudah pemalak, bikin onar pula! Kalian pikir ini sekolah milik nenek moyang kalian apa!" protes Bunga.

"Sayang ganteng-ganteng, kalau nggak gue juga bakal benci sama kalian." 

"Makasih Fahira," balas Udin membuat mereka mendesis. 

Saat itu Intan tidak sengaja melihat Hikmal yang sedang dihukum, keringat Hikmal yang sebiji jagung membuat Intan iba. Intan masih ingat bahwa Hikmal sudah menolongnya saat Marsha membuat masalah dengan Intan. 

"Bang? Jadi lo dan kawan-kawan lo ini yang guru-guru bilang? Kenapa sih lo harus ngelakuin ini Bang? Lo juga yang bikin Wawan terkena senjata? Kenapa lo egois banget sih Bang?! Lo mengatasnamakan gue hanya untuk memenuhi ego lo itu Bang? Gue kecewa sama lo Bang!" 

Hamdan! Lo hanya salah paham! 

Teriak Hikmal berusaha menghentikan langkah Hamdan, Hamdan tidak menggubris teriakan Hikmal. Matanya terus berlinang air mata, padahal Hikmal melakukan ini semua demi Hamdan. Tapi Hikmal tidak berfikir bahwa tindakannya justru salah, apalagi bayangan Wawan yang terus memenuhi kepalanya.

Anak itu memang suka bergurau, bahkan anak itu yang selalu menghabiskan bekal yang dibawa Hikmal. Tidak hanya itu Wawan juga yang selalu mengerjakan tugas-tugas Hikmal, rasa bersalah dalam hati Hikmal semakin membuat dirinya terisak. 

"Sebenarnya gue gak suka nangis, gue juga suka marahin kalian cengeng setiap kali menangis. Hanya saja kali ini gue benar-benar butuh menangis, gue kira bakalan kuat. Ternyata gue terlalu rapuh," ucap Hikmal mengusap air matanya. 

Mereka saling memeluk, memberikan Hikmal kekuatan. Mereka tidak akan pernah meninggalkan Hikmal begitu saja, mereka bisa kuat seperti itu karena adanya Hikmal. 

Mereka meneruskan hukuman, hingga bel pulang sekolah berbunyi. Hikmal bergegas untuk menghampiri Hamdan, saat sampai di kelas ternyata Hamdan sudah tidak ada. Hikmal mencari keberadaan Hamdan dengan pikiran was-was, hingga menjelang sore Hikmal belum juga menemukan Hamdan. 

Hikmal memutuskan untuk pulang kerumah, matanya menatap meja makan yang terdapat mangkok. Ternyata mangkok tersebut berisi mie kuah, Hikmal meneteskan air mata. Bahkan saat menyeruput mie tersebut air mata Hikmal tidak berhenti menetes, Hikmal tahu bahwa yang membuatkan mie merupakan Hamdan. 

"Hari ini Ibu pulang larut malam, gue hanya bisa masak mie itu." 

Hikmal menoleh, "makasih Dek, maaf sudah merepotkan. Harusnya gue yang masak buat lo, bukan kebalikannya." 

"Mau gue yang bikin atau lo sama saja wujudnya," jawab Hamdan dengan ketus. 

Ya Hamdan masih memendam perasaan kecewa pada Hikmal, meskipun begitu Hamdan tetap perhatian pada Hikmal. Buktinya Hamdan tidak membiarkan perutnya kenyang sendirian, Hamdan juga tidak ingin Hikmal sampai kelaparan. Begitulah jika mereka sedang ada masalah, tetap masih perhatian satu sama lain. 

"Gue melakukan ini semua bukan demi ke egoisan gue Dek, gue hanya ingin orang itu merasa bersalah. Paling nggak minta maaf sama lo, maaf jika cara gue ini salah." 

"Gue paham Bang, tapi lo juga harus mikirin perasaan orang tua mereka. Sebagai seorang pemimpin harusnya lo bisa berpikir panjang, tawuran itu melibatkan nyawa. Gue ini bukan bodoh Bang! Gue tahu tawuran itu gimana," kelakar Hamdan. 

Hikmal terdiam, tidak mengerti harus berkata apa lagi. Padahal sejak awal Hikmal sudah mengatakan pada Sigit, Binar, Udin, Wawan, Ucup, juga Bravo agar tidak ikut andil masalah tersebut.  Hanya saja Hamdan salah paham, Hikmal memilih menjelaskan pada Hamdan nanti saja. 

Deru mobil berbunyi, Hanum baru saja pulang bekerja. 

"Ibu masih ambil lembur? Kenapa Ibu kerja keras sekali?" tanya Hikmal sambil menyodorkan minuman pada Hanum. 

Hanum meneguk minuman tersebut, "bagaimanapun biaya hidup kita itu tidak sedikit sayang, Ibu masih sehat kok. Jadi kamu tidak perlu khawatir, lebih baik kamu belajar yang tekun biar Ibu juga senang." 

"Nanti kalau aku sudah bekerja, Ibu dirumah saja. Tidak perlu bekerja keras seperti ini, Ibu itu harus ingat bahwa umur Ibu tidak lagi muda. Penyakit bisa hinggap kapan saja," ucap Hikmal memijit tubuh Hanum. 

Dibandingkan Hamdan, memang Hikmal yang paling dekat dengan Hanum. Hanya saja Hanum selalu membanggakan Hamdan, menurut Malik perhatian Hanum pada Hamdan terlihat berlebihan dibandingkan pada Hikmal. Itu juga penyebab mengapa mereka sering bertengkar, Hanum terlihat pilih kasih menurut Malik. 

"Ayahmu belum pulang? Tidak biasanya jam segini Ayahmu belum pulang, Ibu khawatir dia tidak mau pulang." Keluh Hanum hanya ingin mengubah topik pembicaraan. 

"Buat apa juga Ibu selalu menunggunya, orang perilaku Ayah sama Ibu tidak pernah baik kok. Sudahlah Bu, biarkan saja toh Ayah sudah gede." Hikmal beranjak. 

Hanum mencekal tangan Hikmal agar tetap berada disampingnya. "Seburuk apapun perilaku Ayah tetap saja dia Ayahmu, Ibu tidak ingin kalian membenci Ayah." 

"Alasan apa agar kita tidak membenci Ayah? Bahkan kita sudah berulang kali melihat Ayah memperlakukan Ibu dengan tidak baik, sampai kapanpun Hikmal akan terus membenci Ayah. Dia bukan Ayah yang baik!" 

"Kamu juga harus sadar bahwa kamu tumbuh besar dari keringatnya! Ayahmu banting tulang untuk membesarkan kalian! Sungguh jika Ibu bisa menghapus semua kejadian itu agar kalian tidak membenci Ayah, Ibu akan melakukannya!" 

"Mau sampai kapan sih Ibu selalu membela laki-laki itu? Padahal kebusukannya sudah terlihat didepan mata, tapi Ibu tetap kekeh bahwa Ayah itu baik!" 

"Sampai kalian sadar bahwa perlakuan Ayah pada Ibu tidak sebanding dengan perlakuan Ibu pada Ayahmu!" 

Hening, Hikmal dan Hanum saling terdiam dengan emosi masing-masing. 

"Jadi, apa yang dikatakan Ayah itu benar? Bahwa Ibu menjadi simpanan sahabat Ayah?" tanya Hikmal. 

Hanum mengangguk, ini saatnya Hikmal mengetahui semuanya. "Ya memang benar apa yang dikatakan Ayahmu, Ibulah penyebab Ayahmu seperti ini. Ibu juga penyebab Ayahmu kehilangan semuanya, termasuk Ibu kandungmu juga Adik kandungmu." Hanum tertunduk sambil memilin bajunya, menahan sesak dalam dada. 

"Maksud Ibu? Ibu kandungku? Jadi, apa aku dan Hamdan?" 

"Ya kalian tidak kandung, kalian berbeda Ayah juga Ibu. Maaf jika kejujuran ini menyakitimu, Ibu rasa kau harus tahu yang sebenarnya. Inilah penyebab mengapa Ibu melarangmu untuk membenci Ayah," jelas Hanum sambil gemetar. 

"Oh aku paham sekarang, kenapa Ibu selalu pilih kasih denganku. Ternyata selama ini aku bukan anak kandungmu? Bagus! Bahkan sekalipun kau bukan Ibu kandungku, aku menyayangimu lebih dari Ibu kandungku sendiri. Selama ini aku berkali-kali menguatkan hatiku bahwa Ibu tidak pernah pilih kasih, itu hanya perasaanku saja. Ternyata memang itu bentuk pilih kasih, aku kecewa dengan Ibu!" 

Hikmal pergi meninggalkan Hanum yang masih terisak, Hikmal menyambar kunci motornya. Saat ini Hikmal butuh menenangkan dirinya sendiri, sepanjang jalan Hikmal terus menangis. Bayangan Hanum, Malik, juga Hamdan terus berputar-putar di otaknya. 

Apa salah gue Tuhan! 

Teriak Hikmal seperti orang kesetanan, bahkan kendaraan yang berpapasan sampai heran melihat tingkah Hikmal. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!