NovelToon NovelToon

Antara Dendam Dan Cinta

Bab.1

Sret! Bres! 

Sebuah senjata berhasil mematahkan kaki kiri seorang lelaki, lelaki tersebut terus menatap kakinya. Bahkan tidak percaya dengan apa yang ada di depan matanya, rasa nyeri sama sekali tidak terasa. 

Hamdan! 

Teriak lelaki lain sambil berlari mendekati Hamdan, orang yang terkena sebuah senjata hingga kakinya patah, lelaki tersebut begitu panik. Meminta bantuan pada orang-orang yang justru hanya memandangnya, lelaki tersebut merupakan Hikmal kakak dari Hamdan. 

Wiu! Wiu! Wiu! 

Sirine mobil ambulance memekakkan gendang telinga, Hikmal berusaha membawa Hamdan menuju mobil ambulance dibantu salah satu petugas ambulance. 

Gue akan balas semua ini! 

Teriak Hikmal pada segerombolan pemuda, lebih tepatnya anak sekolah yang sedang melakukan tawuran. 

Sampai rumah sakit, Hikmal mondar-mandir menunggu kabar adik kesayangannya. Meskipun setiap hari bertengkar, Hikmal tetap menyayangi Hamdan. 

"Bagaimana adikmu Hikmal? Kenapa bisa terjadi? Astaga! Hiks! Hiks! Hamdan!" Hanum ibu dari Hikmal dan Hamdan tiba dirumah sakit, dengan air mata berderai, Hanum berdiri sejajar dengan Hikmal. 

Hikmal merengkuh tubuh Hanum. "Hikmal juga tidak tahu jika kejadiannya seperti ini Bu, maaf Hikmal tidak bisa menjaga Hamdan dengan baik." Sesal Hikmal meneteskan air matanya. 

Hanum ikut menangis, merasakan sakit begitu luar biasa. Hanum bukan menyalahkan Hikmal maupun Hamdan, Hanum hanya tidak terima dengan apa yang terjadi dengan putra keduanya tersebut. 

Dokter keluar, mengabarkan jika Hamdan kehilangan satu kakinya. Kabar itu membuat Hanum semakin frustasi, Hanum terus saja menangis. 

"Bu berhentilah menangis, kasihan Hamdan. Kita harus kuat, agar Hamdan tidak merasa sedih." Hikmal mencoba menenangkan Hanum. 

Beberapa hari berlalu, kini Hamdan sudah diperbolehkan untuk pulang. 

"Tumben Bang lo sendiri, Ibu gak ikut kesini? Biasanya itu Emak paling rempong kalau menyangkut soal gue," tanya Hamdan kala Hikmal membawanya pada kursi roda. 

Hikmal masih sibuk dengan Hamdan. "Gue juga gak tahu, mungkin ada keperluan. Kalau gak ya arisan, biasa emak-emak. Lo udah siap pulang kan?" Hikmal menatap dalam Hamdan. 

Hamdan tersenyum sambil mengangguk, setelah kejadian itu. Hamdan mencoba ikhlas, meski itu sulit. 

Plak! 

Hamdan dan Hikmal saling pandang, ini sudah kesekian kalinya Malik melakukan KDRT terhadap Hanum. 

"Sudah berapa kali aku bicara! Jangan pernah ikut campur urusanku! Mau aku mabuk-mabukan! Judi! Bahkan selingkuh sekalipun, kau tidak punya hak mengaturku!" ucap Malik dengan nada meninggi. 

Ayah! 

Teriak Hikmal, Hikmal membawa tubuh Hanum kesisinya. 

"Hey bocah ingusan! Kau tidak usah berteriak seperti itu, kupingku masih berfungsi dengan normal." Malik justru memaki Hikmal secara bergantian.

Dengan gerakan cepat Hikmal memepet Malik pada dinding. "Aku masih sopan terhadapmu bajingan! Kau hanya bisa mabuk-mabukan, menyakiti Ibu, juga menghabiskan uangnya! Kau tidak punya kemampuan apapun, kau …," 

"Lepaskan Hikmal! Jangan seperti itu sayang, dia Ayahmu! Sadarlah!" potong Hanum berusaha memisah ayah serta anak yang sedang bertengkar. 

Malik menyeringai, "pintar sekali kau berbicara, tidak ingat besar karena siapa? Aku yang sudah membesarkanmu! Aku yang dulu mencarikan segala kebutuhanmu! Sebelum Ibumu menjadi pelacur hanya untuk sebuah harta!" Malik menudingkan tangannya pada mata Hikmal. "Perlu kau ingat, aku seperti ini penyebabnya Ibumu! Jika dia tidak bermain api, bahkan hingga melahirkan anak kebanggaanya itu, aku tidak akan seperti ini!" 

Bugh! 

Hikmal memberikan bogeman pada perut Malik, Malik sempat terhuyung. Badannya yang tidak berisi juga tidak kurus, membuat Hikmal dengan mudah mengalahkannya. 

Ibu bukan pelacur! Hamdan adik kandungku! 

Racau Hikmal terus memberikan bogeman pada Malik, Hanum berteriak histeris hanya Hamdan yang begitu dingin. 

"Lepaskan tanganmu itu dari badan si tua bangka Bang! Jangan lo kotori tangan lo," ucap Hamdan akhirnya. 

Hanum menggelengkan kepalanya, bukan menyelesaikan masalah Hikmal justru membuat keadaan semakin parah. 

"Buka matamu Hikmal! Ibumu hanya menyayangi anak haram itu, coba kau fikir. Ibumu sejak dulu tidak pernah adil, untuk apa kau selalu membelanya? Memang benar dia anak haram, nyatanya sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa ayahnya. Sadarlah Hikmal!" jawab Malik memperkeruh suasana. 

Hikmal mengepalkan tangannya, "diamlah kau! Lebih baik kau pergi dari sini! Muak sekali rasanya melihat kau yang terus mengoceh, sejak dulu hingga sekarang.  Ibu selalu menyayangiku dengan baik, tanpa pilih kasih! Jangan pernah lagi kau mengatakan Hamdan anak haram, dia bukan anak haram! Dia anak Ibu!" sentak Hikmal melemparkan badan Malik dengan kasar. 

"Kau memang anak bodoh! Yang sudah terlihat jelas di depan mata, kau masih saja mengelak. Malas sekali punya anak bodoh sepertimu!" Malik berusaha bangkit untuk berdiri.

"Mas! Jangan bicara seperti itu! Kau tidak boleh membandingkan anak kita, anak kita mempunyai keunikan sendiri. Sudah berapa kali aku mengatakan bahwa Hamdan itu anakmu Mas!" Hanum mencoba peruntungan agar Malik tidak berbicara semaunya. 

Malik memandang Hanum dengan kesal, "tidak usah berceramah, kalau mau ceramah sana dimasjid! Kupingku panas mendengar suara cemprengmu itu." 

Malik berjalan, melewati Hamdan yang masih diam terpaku di atas kursi roda. Pandangan Hamdan lurus kedepan, dengan raut wajah datar, tanpa menoleh ke arah Malik sedikitpun. 

Brugh! 

Malik sengaja menabrak kursi roda Hamdan, hingga Hamdan oleng. Saat itu wajah Hamdan sama sekali tidak berubah, wajahnya mendadak mati semenjak kejadian itu. 

Hamdan!

Teriak Hikmal dan Hanum secara bersamaan, tidak menyangka jika Malik akan menabrak Hamdan. 

"Ayah! Jalan itu pakai mata! Lihat! Hamdan terjatuh!" sentak Hikmal membantu Hamdan kembali duduk di kursi roda. 

Malik tersenyum mengejek, "memang sengaja," ucapnya lantas berlalu pergi tanpa merasa bersalah sedikitpun. 

"Gue anterin ke kamar ya? Lo harus istirahat, Lo kan baru …," 

"Tidak usah, gue bisa sendiri. Makasih bantuannya," potong Hamdan dengan wajah datar. 

Hamdan menjalankan kursi rodanya menuju kamar, ada rasa sakit ketika Hamdan mendadak berubah. Biasanya anak itu selalu tersenyum, hanya disekolah saja Hamdan menjadi anak pendiam. Selain takut murid perempuan mendekatinya karena ketampanannya, juga merupakan anak berprestasi. 

Hamdan sering menjuarai berbagai lomba, dari akademik maupun non akademik Hamdan bisa menaklukkannya. 

Brak! 

Hamdan membanting pintu dengan kasar, Hikmal ingin menghampirinya. Hanum lebih dulu mencegahnya, padahal Hikmal ingin sekali menemani Hamdan. 

"Biarkan dulu sendiri, Hamdan perlu menenangkan dirinya. Nanti kalau sudah tenang pasti keluar kok, kamu lebih baik makan. Mama sudah siapkan semuanya," jelas Hanum mengelus punggung Hikmal. 

Hikmal menggeleng, "aku tidak nafsu makan Ma, Mama saja yang makan. Aku akan menunggu Hamdan disini, siapa tahu Hamdan butuh bantuan." 

Hanum tidak ingin memaksa keinginan Hikmal, Hanum meninggalkan Hikmal yang memilih membaringkan badannya disofa. Saat matanya terasa berat, Hikmal memilih untuk memejamkannya. 

Tyar! 

Suara gaduh terdengar dari kamar Hamdan, dengan cepat kilat Hikmal berlari menuju kamar Hamdan. 

Bab.2

"Hamdan?! Apa yang lo lakukan?! Lo …," 

"Berhenti disitu Bang! Jangan peduli lagi sama gue! Gue ini sudah cacat!" potong Hamdan, Hikmal mematung ditempat. 

Hikmal terlihat gusar, "apa yang lo katakan hah?! Lo gak boleh bicara seperti itu! Lo harus …," 

"Kenapa harus gue Bang?! Salah apa gue Bang?! Selama ini gue tidak pernah menyakiti siapapun, bahkan gue menjadi pendiam untuk menjaga perasaan orang lain. Kenapa harus gue Bang?! Kenapa?! ucap Hamdan begitu menyayat hati, tangannya mengalir darah segar entah terkena benda apa. 

Hikmal menggeleng, "hidup lo masih panjang Ham! Lo hanya cacat, tapi lo masih bisa melakukan semuanya. Lo tenang saja, gue bakal balas semua ini!" jawab Hikmal mencoba mendekati Hamdan. 

"Kenapa gak ambil nyawa gue sekalian Bang?! Kenapa gue harus disiksa seperti ini?! Kenapa Tuhan tidak mau ambil nyawa gue sekalian! Kenapa?!" teriak Hamdan mulai terisak, sambil menepuk-nepuk dadanya. 

"Hamdan! Berhenti berbicara seperti itu, semua ini sudah takdir sayang. Kita tidak tahu nasib kita akan seperti apa," sentak Hanum mendekap tubuh Hamdan. 

Hikmal masih diam ditempat, hatinya hancur melihat Hamdan adiknya selemah itu. Hikmal tidak akan membiarkan sang pelaku hidup bahagia, Hikmal akan membalas semua ini. Tangan Hikmal mengepal, menahan amarah serta dendam yang begitu besar. 

Hikmal menghampiri Hamdan sambil memegangi baju Hamdan. "Berhenti menangis bego! Lo tidak boleh lemah! Lo tidak boleh terlihat bodoh seperti ini! Bangkitlah! Mana Hamdan yang gue kenal! Mana?!" teriak Hikmal membuat Hamdan menghentikan tangisnya.

"Apa yang bisa gue perbuat Bang? Dengan kaki gue yang hanya satu ini, gue bisa apa? Gue belajar mati-matian, demi mendapatkan prestasi agar gue bisa sukses. Gue bisa bahagian Mama juga lo, agar Mama tidak menjadi bahan gosipan tetangga!" Hamdan mengusap air matanya dengan kasar. "Sakit hati gue Bang! Mendengar kata-kata pedas dari mulut tetangga, apalagi Papa yang ikut membuat nama baik keluarga kita hancur." 

Hikmal menghempaskan baju Hamdan dengan kasar. "Disini gue lebih terluka Ham! Gue sering dibanding-bandingkan sama lo, gue juga mendapat perlakuan tidak baik dari Papa! Meskipun banyak lo, tapi Papa tidak pernah kasar sama lo! Sedangkan gue, sejak kecil gue selalu dipukul Papa! Gue juga sakit hati Ham!" 

Hamdan memeluk tubuh Hamdan, mereka saling berpelukan larut dalam perasaan dan pikiran masing-masing. Hanum hanya bisa meneteskan air mata, akibat ulahnya anak-anaklah yang menjadi korban. Ya Hanum harus rela menjadi simpanan sahabat Malik demi sebuah uang, itu semua Hanum lakukan karena Malik bangkrut. 

"Maafkan Mama, Mama sudah membuat hidup kalian hancur penuh cemoohan. Andai ada cara lain, Mama sudah memilih cara itu." Hanum dengan suara parau akibat menangis, mengungkapkan isi hatinya. 

Hamdan dan Hikmal saling pandang, Hikmal membawa Hanum ditengah-tengah mereka. Kini mereka saling berpelukan, suasana malam yang sepi membuat kesedihan semakin terasa. Hanum memang menjadi simpanan seorang lelaki, tapi lelaki tersebut disuruh istrinya, karena istrinya cacat. 

Dulu Hanum sempat menolak, tapi melihat kondisi Malik yang bangkrut ada Hikmal dan Hamdan yang masih balita. Membuat Hanum akhirnya setuju, dengan syarat Hanum merawat istri lelaki tersebut. Cinta itu akhirnya tumbuh, Hanum dan laki-laki tersebut saling mencintai. 

"Mari kita hadapi semua ini bersama-sama, Hamdan akan menerima semua ini. Maaf Hamdan sudah membuat kekacauan," ucap Hamdan membuat semua tersenyum. 

"Ma lebih baik Mama istirahat, biar Hikmal yang mengurus Hamdan. Mama tidak perlu khawatir," perintah Hikmal yang diangguki Hanum. 

Hikmal mengambil kotak p3k, mencari obat merah serta perban. Luka Hamdan harus segera ditangani, meskipun kecil tidak boleh dibiarkan terlalu lama. 

Argh! Sakit setan! 

Pekik Hamdan saat obat merah menetes pada lukanya, Hikmal justru menekan luka tersebut semakin keras. Membuat Hamdan menatapnya sambil melotot, Hikmal hanya memutar bola matanya. 

"Makanya tidak usah bandel, lo ini sudah gede. Ngapain ngamuk-ngamuk segala, kayak bocil minta jajan gak diturutin lo!" ejek Hikmal tangannya sibuk mengobati luka Hamdan. 

Hamdan mencebikkan bibirnya, mirip perawan sedang merajuk. "Ya emang gue masih bocil, lo yang sudah tua saja masih suka ngamuk-ngamuk. Kenapa gue yang bocil gak boleh ngamuk?" balas Hamdan tidak mau kalah. 

"Lama-lama itu bibir gue kuncir juga, biar mirip kepala barbie. Gue kalau ngamuk gak bikin berantakan anjir, otak gue masih berfungsi dengan normal. Gue gak mau capek kerja kali, pintar-pintar kok tolol!" Hikmal mengembalikan kotak p3k ketempat semula. 

Hamdan melirik Hikmal dari ekor matanya, "makasih Bang, ngomong-ngomong lo tahu gak Bang dari sekolah mana mereka? Gue pengen tahu siapa orang yang sudah menebas kaki gue, memang itu orang buta warna apa? Sampai gak tahu mana lawan mana kawan," jelas Hamdan. 

Hikmal membereskan barang-barang yang sudah di obrak-abrok Hamdan, "gue gak tahu, tapi gue bakal cari tahu. Kan tadi gue sudah bilang bareng saja sama gue, lo saja yang bandel plus ngotot pakai acara mau jalan kaki segala. Kalau lo gak jadi pembangkang, lo gak akan dikira musuh mereka." 

"Tapi … mereka datang tiba-tiba Bang! Awalnya itu jalan sepi, lempeng gitu saja. Tahu-tahu ada yang nabrak gue, otomatis gue oleng dong Bang." Cerita Hamdan begitu dramatis. 

"Sudah! Sudah! Lo sekarang tidur, gue juga mau tidur. 3 hari gue bolos sekolah," perintah Hikmal lalu berbaring disebelah Hamdan. 

Hamdan tidak membalas ucapan Hikmal, memilih terdiam. Hamdan masih sibuk dengan pikirannya, sebenarnya rasa kantuk sudah teramat mendalam. Lambat laun mata Hamdan terpejam, hanya sesekali terusik dengan posisi tidurnya yang kurang nyaman. 

Paginya Hamdan terbangun lebih awal, berusaha untuk bangkit sendiri. Sayang usahanya itu gagal, Hamdan memilih membangunkan Hikmal untuk membantunya. 

"Gue pengen sekolah Bang, suntuk rasanya tidak keluar-keluar. Lo tenang saja, gue bisa jaga diri gue." Hamdan menatap serius penuh harap pada Hikmal. 

Hikmal menghembuskan nafasnya berkali-kali. "Serah lo lah, gue siap-siap kalau selesai baru ngurusin lo." 

Hikmal beranjak menuju kamar mandi, selesai mandi tidak lupa menyiapkan segala keperluannya juga Hamdan. Hikmal mengurus Hamdan dengan telaten, Hikmal bahkan sampai meminjam mobil Hanum. Tidak mungkin Hikmal membawa motor, dalam keadaan Hamdan yang duduk dikursi roda akan menyulitkan jika membawa motor. 

"Loh itu anak sombong bukan? Si Hamdan? Kena karma mungkin ya, salah sendiri jadi orang sombong amat!" 

"Iya ya, padahal gue suka sama itu orang karena cakep. Minusnya sombong gak mau nyapa sama sekali, wajahnya datar kayak tembok." 

"Kasihan banget ya si tukang prestasi ditimpa musibah," 

"Waduh! Cacat dong! Hahah!" 

Segala cacian juga hinaan keluar saat Hamdan tiba disekolah, Hamdan hanya terdiam, wajahnya datar, masih dengan raut wajah santai. Sedangkan Hikmal nafasnya mulai naik turun menahan emosi, tangannya mengepal siap memukul. 

Bab.3

Berisik! 

Teriak Hikmal dengan lantang, Hikmal menatap satu persatu murid yang sudah mengejek Hamdan. Menguliti hidup-hidup sang pembully, sang pembully memilih ngacir pergi meninggalkan tempat tersebut. Selain takut dengan Hikmal, mereka tidak ingin menjadi babak belur. 

"Sudahlah Bang, mereka semua benar. Buat apa kita ambil pusing, lebih baik lo bawa gue ke kelas. Gue panas nih," perintah Hamdan sambil menunjuk kepalanya yang terpampang sinar matahari. 

Hikmal menghembuskan nafas kasar, "kalau dibiarkan mereka bakal ngelunjak! Mereka gak punya hak buat ngatain lo seperti itu, gue tetap gak terima kalau lo dikata-katain. Yaudah gue antar lo sampai kelas, kalau ada yang macem-macem, lo bilang saja sama gue." Hikmal mendorong kursi roda Hamdan menuju kelasnya. 

Hamdan terdiam tidak ingin menjawab perkataan Hikmal, Hamdan dan Hikmal memang berbeda kelas. Beda jurusan juga, Hamdan dengan otak berliannya memilih jurusan IPA. Sedangkan Hikmal yang mempunyai otak pas-pasan masuk jurusan IPS, ya jurusan ini menjadi pembeda mana yang pintar dan mana yang pas-pasan. 

"Kemarin kemana Bro? Kok lo bolos sekolah? Biasanya kalau bolos sekolah selalu ngajakin, nah lo kenapa sendirian?" tanya Solikin saat Hikmal masuk kedalam kelas. 

Hikmal menaruh tasnya, "adek gue masuk rumah sakit, ini yang lain belum pada dateng? Si Wawan? Cahyo? Darko? Mereka belum juga dateng?" Hikmal menatap serius manik mata Solikin. 

"Hah? Kenapa adek lo? Kok lo gak bilang sama kita sih? Lo kayak gak punya temen saja, biasa mereka lagi malakin adek kelas. Lo tumben gak ikutan?" Solikin berdiri sambil menatap Hikmal penuh kecewa. 

Hikmal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu gak penting, gue sedang butuh informasi lain. Kita hampiri saja mereka," ajak Hikmal bergegas keluar. 

Brian membuntuti Hikmal dari belakang, ya mereka sudah hafal dimana teman-temannya berada. Jadi tidak perlu bersusah payah mencari keberadaan teman-temannya, mungkin efek libur sehari membuat Hikmal lupa jika teman-temannya memalak adik kelas. Kebiasaan memalak memang sudah dilakukan saat mereka dulu pernah menjadi korban pemalakan, grub mereka  berdiri dari berbagai konflik serta masalah. 

Dulu mereka sering dibully juga diperlakukan tidak baik oleh kakak kelas, hanya Hikmal yang selalu menantang. Sampai akhirnya mereka ikut membela Hikmal menantang kakak kelas, dari situlah mereka mulai menjadi anak nakal. Mereka sering memalak adik kelas, tapi tidak membully. 

"Buruan berikan sekarang! Lo terlihat tidak miskin, kenapa lo gak mau ngasih duit? Mau gue perawanin lo," ucap Wawan sambil menodong salah satu adik kelas yang mengenakan hijab. 

Adik kelas tersebut nampak sedikit ketakutan. "Apaan sih Kak? Kalau ngomong jangan asal jeplak dong, gue benar-benar tidak bawa uang. Dompet gue ketinggalan dirumah, yakali buat apa gue bohong. Kalau gue ada tanpa lo ancampun gue kasih," jelas adik kelas tersebut. 

Wawan tidak terima dengan apa yang sudah adik kelas itu ucapkan, dengan sekuat tenaga Wawan melempar tubuh adik kelas tersebut. 

Bugh! 

Adik kelas tersebut menabrak badan Hikmal, sampai tubuhnya luruh ke lantai. 

"Lo ngapain nabrak gue? Mata lo gak rabun kan?" tanya Hikmal menatap adik kelas tersebut dengan seksama. 

Adik kelas tersebut menunjuk ke arah Wawan. "Itu orang yang sudah membuat gue nubruk lo Kak, itu orang bahkan minta gue uang. Padahal gue benar-benar tidak punya juang," jelas adik kelas tersebut. 

Hikmal memandang Wawan. "Sini lo! Ngapain lo susah payah malak orang yang gak punya uang? Lo cuman mau godain cewek ini doang hah?!" ucap Hikmal membuat Wawan nyengir. 

"Ya gitu bos, habis dia cantik plus gemesin." Wawan terlihat menggaruk tengkuknya. 

Hikmal menoyor kepala Wawan. "Dasar lo buaya! Sekarang kumpul, cari yang lain! Gue tunggu di belakang sekolah," ucap Hikmal yang langsung dilaksanakan Wawan. 

Hikmal melenggang pergi meninggalkan kelas tersebut, Hikmal memang sengaja meninggalkan pelajaran. Apalagi jadwal pagi ini matematika, membuat rasa malas dalam diri Hikmal semakin tumbuh. 

"Ada apa Bos? Kenapa kita kumpul disini? Biasanya nyari tempat lain," ucap salah satu anak buah Hikmal yang bernama Udin. 

Hikmal menoleh, memasukkan kedua tangan kedalam saku celana. "Apa salah satu diantara kalian ada yang tahu sekolah mana yang suka tawuran?" 

"Itu SMK Moza sama SMK Belter Bos, memang kenapa tiba-tiba lo tanya soal begituan? Lo mau tawuran?" jawab salah satu diantara mereka yang bernama Sigit. 

Wajah Hikmal memerah, "biasanya mereka tawuran setiap hari atau hanya diwaktu tertentu saja?" 

"Hari ini mereka akan tawuran Bos, " jelas Sigit.

"Jam berapa? Lo tahu pimpinan mereka? Entah yang Moza atau Belter? Gue perlu tahu orang yang sudah ngebuat Hamdan kehilangan kakinya berada di kubu mana," tutur Hikmal membuat semua saling pandang. 

Sigit mendekati Hikmal. "Jadi Hamdan begitu gara-gara kena sabet salah satu senjata? Emang ciri-cirinya kayak apa? Lo ingat? Gue bakal siap bantu lo, bahkan gue berani menaruhkan nyawa gue." Sigit mengepalkan tangannya. 

"Putih, biasa pakai topi, pakai jaket hoodie, mulutnya ada tusuk gigi, singatt gue itu." Nafas Hikmal naik turun setiap kali mengingat pelakunya. "Sayang waktu itu gue gak sempat ngejar bocah tengik itu, gue keburu syok ngeliat kaki Hamdan putus." 

"Rendra! Namanya Rendra Bos, dia dari kubu Moza." Sigit membuat mata Hikmal berbinar, tidak menyangka bahwa Hikmal akan secepat ini mengetahui pelakunya. 

"Kita bakal ada di kubu Belter, lo tidak usah khawatir Bos. Pimpinan ini sahabat gue sendiri, sudah dari orok gue sahabat dengannya. Jadi kita tidak akan kesulitan lagi," imbuh Sigit membuat Hikmal semakin semangat. 

Hikmal memandang satu persatu temannya. "Ada yang ingin mundur? Ada yang ingin disekolah saja? Gue gak mau kalian ngelakuin ini karena terpaksa, kalau kalian memang tidak berani lebih baik diam di sekolah. Tenang saja gue tidak akan memecat kalian dalam geng ini kok," ucap Hikmal membuat semua menggeleng. 

Bravo mengacungkan tangannya, "maaf Bos, boleh ijin ke kamar mandi dulu gak Bos? Gue pengen boker," terang Bravo membuat yang lain tertawa. 

"Masih pagi begini boker, sudah sana buruan. Yang lain bersiap! Gue nebeng, gue gak bawa motor tapi bawa mobil." Hikmal memberikan instruksi. 

Mereka berjalan menuju parkiran, sementara Wawan harus menunggu Bravo terlebih dahulu. Mereka akan menemui Reyhan dari kubu Belter, biar bagaimana mereka butuh pasukan. 

Kalau kubu lawan bisa diajak bekerja sama, Hikmal tidak perlu kesusahan mencari pasukan lagi. Lagi pula mana ada anak yang mau diajak tawuran, Sigit mengajak mereka di sebuah basecamp tempat dimana Reyhan berkumpul dengan pasukannya. 

"Siapa lo? Mau apa lo kemari?" tanya salah satu teman Reyhan yang berjaga di pintu. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!