"Hamdan?! Apa yang lo lakukan?! Lo …,"
"Berhenti disitu Bang! Jangan peduli lagi sama gue! Gue ini sudah cacat!" potong Hamdan, Hikmal mematung ditempat.
Hikmal terlihat gusar, "apa yang lo katakan hah?! Lo gak boleh bicara seperti itu! Lo harus …,"
"Kenapa harus gue Bang?! Salah apa gue Bang?! Selama ini gue tidak pernah menyakiti siapapun, bahkan gue menjadi pendiam untuk menjaga perasaan orang lain. Kenapa harus gue Bang?! Kenapa?! ucap Hamdan begitu menyayat hati, tangannya mengalir darah segar entah terkena benda apa.
Hikmal menggeleng, "hidup lo masih panjang Ham! Lo hanya cacat, tapi lo masih bisa melakukan semuanya. Lo tenang saja, gue bakal balas semua ini!" jawab Hikmal mencoba mendekati Hamdan.
"Kenapa gak ambil nyawa gue sekalian Bang?! Kenapa gue harus disiksa seperti ini?! Kenapa Tuhan tidak mau ambil nyawa gue sekalian! Kenapa?!" teriak Hamdan mulai terisak, sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Hamdan! Berhenti berbicara seperti itu, semua ini sudah takdir sayang. Kita tidak tahu nasib kita akan seperti apa," sentak Hanum mendekap tubuh Hamdan.
Hikmal masih diam ditempat, hatinya hancur melihat Hamdan adiknya selemah itu. Hikmal tidak akan membiarkan sang pelaku hidup bahagia, Hikmal akan membalas semua ini. Tangan Hikmal mengepal, menahan amarah serta dendam yang begitu besar.
Hikmal menghampiri Hamdan sambil memegangi baju Hamdan. "Berhenti menangis bego! Lo tidak boleh lemah! Lo tidak boleh terlihat bodoh seperti ini! Bangkitlah! Mana Hamdan yang gue kenal! Mana?!" teriak Hikmal membuat Hamdan menghentikan tangisnya.
"Apa yang bisa gue perbuat Bang? Dengan kaki gue yang hanya satu ini, gue bisa apa? Gue belajar mati-matian, demi mendapatkan prestasi agar gue bisa sukses. Gue bisa bahagian Mama juga lo, agar Mama tidak menjadi bahan gosipan tetangga!" Hamdan mengusap air matanya dengan kasar. "Sakit hati gue Bang! Mendengar kata-kata pedas dari mulut tetangga, apalagi Papa yang ikut membuat nama baik keluarga kita hancur."
Hikmal menghempaskan baju Hamdan dengan kasar. "Disini gue lebih terluka Ham! Gue sering dibanding-bandingkan sama lo, gue juga mendapat perlakuan tidak baik dari Papa! Meskipun banyak lo, tapi Papa tidak pernah kasar sama lo! Sedangkan gue, sejak kecil gue selalu dipukul Papa! Gue juga sakit hati Ham!"
Hamdan memeluk tubuh Hamdan, mereka saling berpelukan larut dalam perasaan dan pikiran masing-masing. Hanum hanya bisa meneteskan air mata, akibat ulahnya anak-anaklah yang menjadi korban. Ya Hanum harus rela menjadi simpanan sahabat Malik demi sebuah uang, itu semua Hanum lakukan karena Malik bangkrut.
"Maafkan Mama, Mama sudah membuat hidup kalian hancur penuh cemoohan. Andai ada cara lain, Mama sudah memilih cara itu." Hanum dengan suara parau akibat menangis, mengungkapkan isi hatinya.
Hamdan dan Hikmal saling pandang, Hikmal membawa Hanum ditengah-tengah mereka. Kini mereka saling berpelukan, suasana malam yang sepi membuat kesedihan semakin terasa. Hanum memang menjadi simpanan seorang lelaki, tapi lelaki tersebut disuruh istrinya, karena istrinya cacat.
Dulu Hanum sempat menolak, tapi melihat kondisi Malik yang bangkrut ada Hikmal dan Hamdan yang masih balita. Membuat Hanum akhirnya setuju, dengan syarat Hanum merawat istri lelaki tersebut. Cinta itu akhirnya tumbuh, Hanum dan laki-laki tersebut saling mencintai.
"Mari kita hadapi semua ini bersama-sama, Hamdan akan menerima semua ini. Maaf Hamdan sudah membuat kekacauan," ucap Hamdan membuat semua tersenyum.
"Ma lebih baik Mama istirahat, biar Hikmal yang mengurus Hamdan. Mama tidak perlu khawatir," perintah Hikmal yang diangguki Hanum.
Hikmal mengambil kotak p3k, mencari obat merah serta perban. Luka Hamdan harus segera ditangani, meskipun kecil tidak boleh dibiarkan terlalu lama.
Argh! Sakit setan!
Pekik Hamdan saat obat merah menetes pada lukanya, Hikmal justru menekan luka tersebut semakin keras. Membuat Hamdan menatapnya sambil melotot, Hikmal hanya memutar bola matanya.
"Makanya tidak usah bandel, lo ini sudah gede. Ngapain ngamuk-ngamuk segala, kayak bocil minta jajan gak diturutin lo!" ejek Hikmal tangannya sibuk mengobati luka Hamdan.
Hamdan mencebikkan bibirnya, mirip perawan sedang merajuk. "Ya emang gue masih bocil, lo yang sudah tua saja masih suka ngamuk-ngamuk. Kenapa gue yang bocil gak boleh ngamuk?" balas Hamdan tidak mau kalah.
"Lama-lama itu bibir gue kuncir juga, biar mirip kepala barbie. Gue kalau ngamuk gak bikin berantakan anjir, otak gue masih berfungsi dengan normal. Gue gak mau capek kerja kali, pintar-pintar kok tolol!" Hikmal mengembalikan kotak p3k ketempat semula.
Hamdan melirik Hikmal dari ekor matanya, "makasih Bang, ngomong-ngomong lo tahu gak Bang dari sekolah mana mereka? Gue pengen tahu siapa orang yang sudah menebas kaki gue, memang itu orang buta warna apa? Sampai gak tahu mana lawan mana kawan," jelas Hamdan.
Hikmal membereskan barang-barang yang sudah di obrak-abrok Hamdan, "gue gak tahu, tapi gue bakal cari tahu. Kan tadi gue sudah bilang bareng saja sama gue, lo saja yang bandel plus ngotot pakai acara mau jalan kaki segala. Kalau lo gak jadi pembangkang, lo gak akan dikira musuh mereka."
"Tapi … mereka datang tiba-tiba Bang! Awalnya itu jalan sepi, lempeng gitu saja. Tahu-tahu ada yang nabrak gue, otomatis gue oleng dong Bang." Cerita Hamdan begitu dramatis.
"Sudah! Sudah! Lo sekarang tidur, gue juga mau tidur. 3 hari gue bolos sekolah," perintah Hikmal lalu berbaring disebelah Hamdan.
Hamdan tidak membalas ucapan Hikmal, memilih terdiam. Hamdan masih sibuk dengan pikirannya, sebenarnya rasa kantuk sudah teramat mendalam. Lambat laun mata Hamdan terpejam, hanya sesekali terusik dengan posisi tidurnya yang kurang nyaman.
Paginya Hamdan terbangun lebih awal, berusaha untuk bangkit sendiri. Sayang usahanya itu gagal, Hamdan memilih membangunkan Hikmal untuk membantunya.
"Gue pengen sekolah Bang, suntuk rasanya tidak keluar-keluar. Lo tenang saja, gue bisa jaga diri gue." Hamdan menatap serius penuh harap pada Hikmal.
Hikmal menghembuskan nafasnya berkali-kali. "Serah lo lah, gue siap-siap kalau selesai baru ngurusin lo."
Hikmal beranjak menuju kamar mandi, selesai mandi tidak lupa menyiapkan segala keperluannya juga Hamdan. Hikmal mengurus Hamdan dengan telaten, Hikmal bahkan sampai meminjam mobil Hanum. Tidak mungkin Hikmal membawa motor, dalam keadaan Hamdan yang duduk dikursi roda akan menyulitkan jika membawa motor.
"Loh itu anak sombong bukan? Si Hamdan? Kena karma mungkin ya, salah sendiri jadi orang sombong amat!"
"Iya ya, padahal gue suka sama itu orang karena cakep. Minusnya sombong gak mau nyapa sama sekali, wajahnya datar kayak tembok."
"Kasihan banget ya si tukang prestasi ditimpa musibah,"
"Waduh! Cacat dong! Hahah!"
Segala cacian juga hinaan keluar saat Hamdan tiba disekolah, Hamdan hanya terdiam, wajahnya datar, masih dengan raut wajah santai. Sedangkan Hikmal nafasnya mulai naik turun menahan emosi, tangannya mengepal siap memukul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
𝒮🍄⃞⃟Mѕυzу᭄
...
2023-11-28
0