Waktu menunjukkan pukul 5.30 pagi, saat Larasati mendengar ponselnya berdering berkali-kali. Setelah memaksakan matanya untuk terbuka, ia segera menjawab panggilan tersebut dengan suara seraknya karena baru saja bangun tidur. Dari seberang telepon, Larasati bisa mendengar suara Dirga yang panik. Ia berkata bahwa kondisi Miko tiba-tiba turun.
Dengan cepat Larasati menyingkap selimut yang ia kenakan, lalu pergi begitu saja meninggalkan Jovanka yang masih tertidur lelap. Dengan langkah cepat, Larasati berusaha untuk mencari taksi di sekitar apartemen Jovanka. Beruntung, hari ini merupakan hari Minggu. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Di dalam taksi, Larasati terus meremat jemarinya, pikirannya kacau karena khawatir pada Miko. Ia mengutuk dirinya sendiri karena meninggalkan Miko semalaman, padahal tidak ada pekerjaan yang mendesak.
Setelah 40 menit, Larasati sudah sampai pada pelataran sebuah rumah sakit. Ia segera turun dari taksi dan berlari menuju ruang rawat Miko. Dari kejauhan, ia bisa melihat Dirga yang mondar-mandir sambil sesekali mengintip ke dalam ruangan Miko.
"Dirga! Miko gimana?" tanya Larasati yang masih setengah berlari. Matanya memerah sebab ia menahan tangisnya sejak tadi.
"Lagi dicek sama dokter, Ras. Tadi dia tiba-tiba nggak bisa nafas, terus kejang. Badannya juga demam tinggi banget."
Tepat setelah Dirga menyelesaikan ucapannya, Teressa keluar dari ruangan Miko, bersama seorang laki-laki paruh baya yang juga mengenakan jubah dokter.
"Re, Miko gimana?" tanya Larasati sambil mendekat pada Teressa.
"Dia udah nggak kejang lagi, Ras. Kita udah kasih infus yang berisi paracetamol karena demamnya tinggi." Teressa mengusap pelan bahu milik Larasati. "Jangan khawatir, kita bakal cari penyebabnya kenapa Miko sampe demam tinggi. Aku udah ambil darah Miko buat kita cek di Lab."
"Makasih, Re." sahut Larasati yang kini dirangkul oleh Dirga.
"Oh iya ...." Teressa beralih menatap dokter laki-laki yang berdiri di sampingnya. "Ini dokter spesialis jantung yang menangani Miko. Namanya dokter Tian."
"Untuk sementara, kondisi jantung Miko masih stabil, Pak, Bu," kata dokter Tian. "Selama Miko tidak kelelahan dan tidak ada virus lain yang mengganggu imunnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kami juga masih berusaha untuk mencari pendonor yang pas untuk Miko."
"Terimakasih, Dok," sahut Dirga.
Setelah kepergian Teressa dan dokter Tian, Larasati berjalan masuk ke ruangan Miko. Bocah laki-laki itu kini tersenyum melihat Larasati yang mendekat ke arahnya. Miko merupakan bocah yang jarang sekali menangis. Tak jarang Larasati kenemukan bahwa Miko bahkan lebih kuat darinya.
Seperti ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya sedang sakit, misalnya. Saat Larasati menangis sendirian di dalam kamarnya, Miko justru mendatangi Larasati dan mencoba untuk memeluknya.
"Mama jangan nangis, Miko nggak papa. Dada Miko justru kerasa sakit kalo Mama nangis gini," ucap Miko kala itu.
Bahkan saat ini, saat dirinya terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus dan banyak alat medis yang dipasang pada tubuhnya, Miko masih mampu tersenyum, seakan mengatakan pada Larasati bawa semuanya baik-baik saja.
"Mama habis dari rumah? Mama semalem temenin robot-robotan Miko, nggak? Kasian mereka, karena nggak ada Miko jadi kesepian."
Nyeri. Hanya itu yang Larasati rasakan pada dadanya saat ini. Bagaimana jadinya, seandainya Miko tahu bahwa semalam mamanya tidur berdua dalam satu ranjang bersama laki-laki lain? Bagaimana jadinya jika suatu saat Miko mengetahui bahwa mamanya menjual dirinya demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatannya?
Semoga saat itu tiba, Miko tidak terlalu membenci Larasati. Semoga saat itu tiba, ada sedikit rasa bangga dalam hati Miko, karena Larasati rela mengorbankan tubuhnya demi kesembuhan Miko. Setidaknya, hal itu yang bisa Larasati harapkan saat ini.
"Iya, Mama habis dari rumah. Tapi Mama nggak temenin robot-robotan Miko. Maaf, ya ... nanti Mama bawa mereka ke sini, biar ada yang temenin Miko."
Miko lantas mengangguk pelan. "Ma, Om Jo nggak datang lagi?"
"Om Jo?" tanya Larasati, sedikit terkejut karena Miko tiba-tiba menyebut nama Jovanka di depan Dirga.
"Iya, yang waktu itu bawain Miko buku dongeng. Om Jo janji mau datang lagi buat temenin Miko baca bukunya."
"Bukannya Miko udah baca bukunya sama Ayah?" tanya Dirga, sambil mendekat dan mengusap kepala Miko.
"Ada satu lagi buku yang belum dibuka, Ayah. Katanya Om Jo yang mau bacakan buat Miko, soalnya Om Jo juga suka buku itu."
"Jo siapa sih, Ras?"
"Jovanka, Ga. Suami Dokter Teressa yang pernah aku ceritain waktu itu."
"Yang mau kamu interview soal bisnisnya?" Setelah mendapat anggukan dari Larasati, Dirga duduk di samping ranjang Miko. "Apa dia juga yang bantu kamu soal biaya rumah sakit Miko?"
"Ga, kita omongin berdua aja nanti, jangan di depan Miko."
Kalau ada yang lebih riuh dari deburan ombak di laut, maka perasaan Larasati adalah salah satunya. Ia benar-benar tidak tahu harus beralasan apa pada Dirga. Apa suaminya akan percaya jika ia mengatakan bahwa Jovanka membantunya secara cuma-cuma? Atau ia hanya perlu mengatakan bahwa Jovanka memberinya pinjaman?
...****************...
Jovanka sedang berkutat dengan tumpukan berkasnya di kantor, saat Teressa tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Pukul 13.00, seharusnya laki-laki itu sedang beristirahat untuk makan siang. Namun, Teressa seakan lupa, bahwa Jovanka pasti akan mengutamakan pekerjaannya dari pada makan siang.
"Biasakan ketuk pintu dulu. Gimana kalo aku lagi ada tamu?" kata Jovanka tanpa menoleh, dan masih fokus dengan kertas yang sedang ia pegang. Jovanka sudah sangat hafal dengan wangi parfum milik Teressa, maka ia bisa tahu Teressa datang hanya dengan menghirup aromanya.
"Tidur di mana semalam? Aku cari kamu ke sini tapi kamu nggak ada."
"Kamu nggak perlu tau." Jovanka melepas kacamata yang ia gunakan, lalu bersandar pada kursi kerjanya, sambil meregangkan ototnya. "Kenapa ke sini? Nggak mungkin cuma buat tanya semalam aku tidur di mana, kan?"
Teressa mendengus pelan. "Tidur di mana kamu? Selama ini kalo nggak pulang ke rumah, kamu tidur di mana? Jadi selama ini kalo kamu nggak pulang bukan karena urusan kerjaan?"
Teressa berjalan mendekat pada Jovanka yang masih menatapnya datar. "J4l4ng mana yang bikin kamu nggak pulang ke rumah?"
"Teressa! Jaga ucapan kamu!"
"Kenapa?! Bener, kan?! Perempuan mana yang kamu tiduri? Secantik apa dia, sampe bisa bikin kamu berpaling?!"
Jovanka tertawa. Begitu kencang hingga membuat Teressa mengerutkan keningnya. "Berpaling? Jangan buat lelucon, Teressa."
"'Berpaling' cuma buat pasangan yang tadinya saling cinta, tapi perasaannya berubah. Sedangkan kita?" Jovanka tersenyum sarkas. "Nggak pernah ada cinta selama kita nikah, Re."
Diam-diam Teressa mengepalkan tangannya. Ia benar-benar kesal dan marah atas semua ucapan Jovanka padanya hari ini.
"Kamu ngaca, Re. Ngaca! Kamu pernah bilang ke aku buat nggak berharap buat dapetin cinta dari kamu, kan?! Kamu bilang kita cuma partner bisnis dan partner di ranjang, kan?!" Jovanka mendekat hingga tidak ada jarak lagi di antara mereka, sambil merengkuh pinggang Teressa dengan kasar. "Jangan berani-berani kamu bilang kalo aku berhubungan sama j4l4ng! Siapa pun perempuan itu, kamu kenal atau nggak sama dia, kamu nggak ada hak buat bilang itu, karena kamu nggak lebih baik dari dia, Teressa!"
"Aku bakal bilang sama orang tua kamu, kalo sampe kamu berani selingkuh, Jo!"
"Bilang, Re. Bilang sama mereka! Lalu aku juga bakal buka rahasia kamu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Suryani Malelak Wenyi
masalah RT jovanka dan Teresa pelik banget😔
2023-10-30
0