Jalang Berwajah Seribu

Jalang Berwajah Seribu

Sebuah Keputusan

"Kardiomiopati? Apa itu, Dok?" tanya Larasati dengan matanya yang mulai memerah.

Seorang pria paruh baya dengan jubah putih, menghela nafas panjang. Ia menegakkan posisi duduknya, kemudian menautkan jemarinya. "Sederhananya, kardiomiopati adalah gangguan pada otot jantung, Bu. Karena infeksi yang terjadi pada otot jantung anak ibu, jantungnya menjadi bekerja lebih keras dari jantung pada umumnya."

Bagai tersambar petir di siang bolong, hari ini Larasati harus menerima kenyataan bahwa anak semata wayangnya menderita kelainan pada jantungnya. Kontras dengan suasana hati Larasati yang sedang kelabu, cuaca Jakarta siang itu justru sedang terik.

Kini Larasati sedang menyeruput segelas kopi susu di sebuah warung kopi pinggir jalan. Suara klakson yang bersahut-sahutan, asap dari kendaraan dan rokok, juga suara gelak tawa dari orang sekitar yang sedang bercengkrama, turut menemani riuhnya pikiran Larasati. Berkali-kali ia menghela nafas, hingga Amel— perempuan yang menjadi temannya selama tiga tahun terakhir, merasa penasaran dengan apa yang terjadi.

"Kenapa sih, Ras? Ada yang ganggu pikiran lo?"

Setelah meletakkan kembali gelas yang tadi ia genggam, Larasati mengalihkan atensinya pada Amel. "Miko sakit, Mel. Anak gue usianya baru 6 tahun, tapi dia sakit."

Larasati mulai terisak. Ia bahkan sudah tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang mungkin heran melihatnya tiba-tiba menangis.

"Dokter bilang ada kelainan di jantungnya. Miko harus dirawat dalam minggu ini, karena keadaannya harus dipantau."

Alih-alih memberi tanggapan, Amel memilih mengusap pelan bahu milik Larasati. Ia tahu, bukan kata 'sabar' yang ingin Larasati dengar saat ini.

"Miko juga harus cari pendonor buat transplantasi jantung. Gaji gue berapa sih, Mel? Lo tahu sendiri kalo gue sama Dirga selama ini kelimpungan karena harus bayar cicilan rumah dan biaya hidup lainnya. Duit tabungan gue bahkan nggak akan cukup untuk biaya perawatan Miko, apalagi transplantasi."

"Dirga udah tau?" tanya Amel, yang mendapat gelengan dari Larasati.

"Gue belum sempet ngobrol sama dia. Lo tau sendiri dia sibuk banget." Larasati tertawa hambar. "Bahkan dengan kesibukan dia yang kayak gitu, kita nggak akan mampu bayar biaya rumah sakit buat Miko."

"Coba lo obrolin sama Dirga deh, Ras. Mau gimana pun sibuknya Dirga, dia harus tau kondisi anaknya. Dia juga harus berusaha buat cari jalan keluar. Kalo ngandelin gaji jurnalis kayak kita mah, nggak akan cukup, Ras."

Amel benar. Hal pertama yang harus Larasati lakukan adalah menceritakan kondisi anaknya pada Dirga. Bagaimana pun, Dirga juga harus memikirkan jalan keluar untuk kesembuhan Miko. Maka tanpa berpikir panjang, Larasati beranjak meninggalkan warung kopi itu untuk menuju ke sebuah halte busway. Tujuannya adalah kantor tempat Dirga bekerja.

Dirga merupakan karyawan dari sebuah perusahaan retail yang cukup terkenal di Jakarta. Meski begitu, Dirga hanya bekerja sebagai staff biasa yang gajinya bahkan tidak sampai dua digit. Namun, pernikahan mereka yang menginjak usia 8 tahun itu cukup menyenangkan bagi Larasati.

Ia tidak menginginkan barang mewah atau mobil keluaran terbaru seperti milik teman-temannya. Cukup Dirga berada di sisinya dan menemaninya sepanjang sisa hidup, Larasati sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.

Butuh waktu sekitar 30 menit hingga Larasati sampai di pelataran kantor tempat Dirga bekerja. Ia berjalan dengan pasti untuk memasuki gedung yang memiliki 4 lantai tersebut. Alih-alih masuk lebih jauh, Larasati memilih untuk menunggu di area lobi dan menelepon suaminya untuk turun dan menemuinya.

Hingga tak lama kemudian, Dirga terlihat berjalan cepat untuk mendatangi Larasati. Seperti biasa, laki-laki bertubuh tinggi itu tampak sangat tampan dengan lesung pipinya saat tersenyum.

"Kenapa, Ras? Tumben banget ke sini?" tanya Dirga lembut, kemudian ia membawa Larasati untuk duduk di sebuah sofa yang berada di lobi tersebut.

"Ga, tadi aku udah bawa Miko ke rumah sakit."

"Terus? Apa kata dokter?"

Larasati menghela nafas panjang. Ia tahu, bahwa bukan hanya dirinya yang akan hancur setelah mengetahui kondisi Miko, tapi juga Dirga. Laki-laki itu jelas sangat menyayangi Miko.

"Ada kelainan di jantung Miko, Ga. Dia harus dirawat dalam minggu ini." Netra legam milik Larasati terasa panas, sebab butiran bening yang sebentar lagi akan jatuh membasahi pipinya. "Bukan cuma itu, Miko bahkan butuh pendonor buat jantungnya. Kita harus gimana, Ga? Aku nggak mau Miko kenapa-napa."

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Dirga. Ia menatap kosong pada Larasati yang mulai terisak. Dadanya begitu sakit. Belum pernah ia merasa sehancur ini. Dirga bahkan tidak memiliki tenaga untuk sekedar menenangkan Larasati saat ini.

"Jangan diem aja, Dirga! Aku dateng ke sini bukan cuma untuk liat kamu diem gini," ujar Larasati dengan suara paraunya.

"Kita jual rumah aja, Ras. Nanti aku hubungi pihak bank, biar mereka cari pembeli baru buat ngelanjutin cicilan rumah kita."

"Jual rumah nggak segampang itu, Ga. Kamu pikir bakal dapet pembeli dalam minggu ini? Miko nggak boleh nunggu lebih lama lagi."

"Terus apa lagi yang bisa kita lakuin, Ras? Cuma itu satu-satunya jalan. Nggak mungkin aku pinjem duit perusahaan. Mereka nggak akan kasih pinjaman sebesar itu."

'Kecewa' adalah satu kata yang menggambarkan perasaannya saat ini. Dimatanya, Dirga hanya tidak mau berusaha. Namun, Larasati menolak untuk menyerah dan menganggap bahwa sudah tidak ada jalan lain. Meski menemui Dirga pada akhirnya hanya memberinya jalan buntu, Larasati tidak ingin berhenti untuk mencari cara.

Setelah menghapus jejak air matanya, Larasati beranjak pergi meninggalkan Dirga yang masih mematung di tempatnya. Ia tidak lagi kemperdulikan panggilan Dirga yang memintanya untuk berbalik.

Setelah berjalan cukup jauh dari kantor Dirga, Larasati merogoh ponsel yang ia simpan di tas hitamnya. Dengan cepat ia mencari nama sesorang di daftar kontaknya. Untuk beberapa saat, Larasati terdiam. Ia terlihat ragu untuk menekan tombol panggilan pada nomor telepon tersebut. Berkali-kali ia menggigit bibirnya sendiri dan mengacak rambutnya dengan frustasi. Lalu setelah beberapa saat, Larasati mulai menelepon nomor tersebut.

Pada nada sambung ke lima, seseorang dari seberang telepon menjawab panggilannya.

"Tawaran yang lo kasih ke gue tiga hari lalu, boleh gue ambil sekarang? Apa tawarannya masih berlaku?"

Benar. Kalau Dirga tidak bisa memberinya jalan keluar atas masalah kesehatan Miko, maka Larasati akan mencarinya sendiri. Apa pun akan ia lakukan, agar anak semata wayangnya bisa kembali sehat dan normal seperti anak-anak lainnya.

Untuk saat ini, Larasati tidak peduli pada resiko yang akan ia hadapi di masa depan. Sekali lagi, yang paling penting untuknya adalah kesehatan Miko. Hingga Larasati lupa, bahwa hidupnya bukan hanya tentang Miko, tapi juga Dirga dan rumah tangga mereka...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!