Masih PoV Rendy
Ku lihat Risa keluar dari dapur. Kali ini dia tak membawa kue. Melainkan menenteng plastik besar berisi kotak - kotak kue pesanan pembeli. Dia terus berjalan menuju pintu keluar toko dan terus berjalan menghampiri kurir yang masih berdiri di dekat parkiran motor tadi. Tanpa pikir panjang aku melepaskan tangan Wulan dari lenganku dan segera menyusul Risa keluar.
"Alfin... "
"Risa... "
Teriak aku dan Risa berbarengan. Risa membalikkan badannya dan menatapku. Alisnya bertaut saat mata kami saling bersitatap. "Rendy... ?"
"Ada yang mau aku omongin sama kamu, Ri." Ucapku serius. Sejujurnya aku sangat tegang dan gugup untuk mulai berbicara.
"Mbak Risa. Ini pesanan yang mau diantar ?". Kurir itu mengambil alih plastik besar dari tangan Risa sekaligus mengambil alih pandangan Risa dariku juga. "Mau dianter kemana, Mbak ?". Sambungnya lagi.
Risa tampak mengambil sesuatu dari dalam plastik besar itu. Lalu menyerahkan secarik kertas pada kurir tersebut. "Ini alamatnya. Lengkap sama nama penerima dan nomor HP nya. Nanti kalo udah mau deket lokasinya, kamu kabari pembelinya. Itu juga udah saya tulis rincian kekurangannya dan kopian kuitansi pembayaran sebelumnya. Di perhatiin baik - baik ya, Fin". Perintah Risa dengan tegas pada kurir itu. Nada bicaranya sangat berwibawa dan sopan.
Kurir itu mengambil kertas yang disodorkan Risa. Memperhatikan kertas tersebut dengan teliti lalu mengangguk. "Oke, Mbak. Nanti kalo ada apa - apa saya kabari Mbak Risa. Saya pamit dulu, Mbak. Permisi Mbak, Mas". Pamitnya sopan lalu meninggalkan kami berdua.
Entah kemana arah pandangan Risa. Yang jelas matanya tak tertuju padaku. Senyumnya mengembang, walau aku tahu itu senyum terpaksa. Aku mencoba mengikuti arah pandangannya. Astaga... Ternyata Wulan mengikutiku keluar. Ah, Sial! Sepertinya memang ini bukan waktu yang tepat.
Lagi. Wulan langsung meraih lenganku untuk digandeng. Ini juga salah satu kebiasaannya yang membuatku sedikit merasa tak nyaman. Apalagi saat ini ada Risa. Sudah pasti Risa akan berpikiran yang tidak - tidak padaku.
"Ayo, Ren. Bentar lagi giliran aku. Nanti keburu dipanggil lagi. Kan bisa malu aku". Ucapnya dengan begitu manja padaku. Haah. Kadang aku berpikir, apa dia menganggapku sebagai mesin ATM, ya ? Setiap kali bertemu di toko atau resto pasti dia akan meminta dibayarin.
Rasanya aku harus mengusirnya dulu dari sini agar maksudku pada Risa dapat tersampaikan. Ku keluarkan dompet dari saku celanaku dan mengambil selembar uang merah. Lalu ku serahkan pada Wulan. "Nih, kamu ke kasir aja dulu. Aku masih mau ngomong sama Risa".
Ku lihat wajahnya langsung berubah. Bibirnya maju beberapa senti. Pipinya menggembung. Lalu tatapannya berubah tajam saat menatap Risa. "Heh, Risa. Kalo kerja itu ya kerja aja. Jangan makan gaji buta dengan curi - curi waktu untuk berleha - leha. Tuh, liat. Temen - temen kamu di dalem lagi kewalahan ngadepin pembeli. Lah kamu malah disini berdiri kayak gadak kerjaan aja". Ucapnya pedas dan penuh penekanan.
Aah. Wulan tak pernah bisa jaga sikap. Kata - katanya tak pernah nyaman di telinga dan hati. Ku tatap Risa. Tatapannya datar. Tak bisa diartikan. Sedikitpun ada kalimat yang keluar dari mulut mungilnya. Malah senyuman yangterukir diwajah ayunya. Nyaman sekali melihatnya. Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik ke atas.
"Idiiih... Kamu ini ya, Risa. Dibilangin bukannya balik kerja. Malah senyam senyum gak jelas. Mau kamu aku laporin ke atasan kamu karna kamu nggak becus kerja ? Mau kamu di pecat ? Mau dikasih makan apa anak kamu kalo kamu dipecat ? Cari kerja susah Risa. Apalagi kamu cuma tamat SMA". Cecar Wulan tiada henti. Mulut pedasnya seakan tak memberi jeda pada Risa untuk menjawab kalimat yang dilontarkannya.
Padahal tadi aku sempat melihat hamparan taman bunga yang indah. Banyak bunga bermekaran. Kupu - kupu yang berterbangan. Lalu tiba - tiba semua hancur sirna hanya karena aksi si julid dan tukang iri ini. Rasanya mataku tak tega melihat bunga yang baru mekar hancur dalam sekejap karena kalimat pedas itu. Aku heran, padahal mereka berdua termasuk dekat dan akrab saat sekolah dulu. Bahkan Risa selalu membantu Wulan setiap kali mereka mendapat tugas sekolah. Tapi kenapa sekarang malah jadi begini.
Ingin rasa menjawab segala kalimat yang terlontar dari si mulut pedas ini. Tapi yang ada nantinya malah Risa yang semakin sakit hati. Dia tidak pernah bisa berpikir jernih jika hatinya sedah panas seperti ini. Apalagi dia tahu kalau aku ingin bicara serius pada Risa. Bagaimana nantinya ya jika dia tahu kalau aku akan melamar Risa ? Apa dia akan semakin bertindak kasar pada Risa ? Atau malah berbaik hati dan menjaga sikap kepada Risa ?
"Ren... Lain kali aja, ya. Toko lagi sibuk. Maaf aku permisi dulu". Ucap Risa dan sedikit menundukkan tubuhnya sebelum berlalu kedalam toko.
Aku hanya bisa menatap punggung Risa yang telah cepat berlalu melewati pintu masuk. Ck. Seharusnya aku gak dateng kesini. Kasihan Risa harus mendapat cacian dari Wulan. Seharusnya aku kabari dia dulu jika ingin bertemu. Memang susah jika nasi sudah menjadi bubur.
"Ren, masuk yuk. Kita bayar kue ku dulu". Wulan meraih tanganku sambil merengek mengajak kembali masuk. Jujur, aku sedikit risih mendengar kalimat manja darinya. Dia tak pernah memposisikan dirinya dengan tepat.
Aku melepaskan pegangan Wulan dengan lembut. Walau bagaimanapun sikapnya, dia tetap seorang wanita, makhluk yang harus diistimewakan. Karena dari seorang wanita lahir generasi baru dengan berbagai watak dan karakter.
"Kamu masuk aja sendiri, ya. Aku masih ada urusan". Ku berikan senyum termanis yang kupunya. Biasanya akan berhasil meluluhkan hati wanita. Tapi belum berhasil pada Risa. Entahlah. Aku selalu kehabisan cara untuk merayu Risa.
Mata Wulan tampak berbinar. Itu artinya senyum andalanku masih berfungsi. "Yaudah deh, gak papa. Lain kali kita jalan ya". Pintanya sedikit centil dengan tingkah dibuat semenggemaskan mungkin.
Aku hanya menimpalinya dengan senyuman sambil terus berjalan menuju mobil sedanku di parkiran. Aku melambaikan tangan sebelum memasuki mobil dan berlalu meninggalkan area toko.
Tujuanku tak lain dan bukan. Warung orang tua Risa. Aku putuskan untuk menyampaikan maksudku pada Ibu dan Bapak saja. Urusan Risa belakangan. Restu orang tua yang paling utama. Karena restu Safira sudah didapat, itu artinya sedikit lagi langkahku untuk menggapai cinta yang sempat tertunda dapat terwujud. Aku yakin Risa juga menyimpan rasa padaku. Aku bisa melihatnya walau sekuat tenaga Risa menyembunyikan rasa itu. Bukan aku ge-er. Tapi aku bisa merasakan rasa sayangnya padaku.
Sepanjang jalan aku memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan maksudku pada Risa. Mungkin baginya ini terlalu cepat. Tapi jika tidak begitu, aku takut setelah tugasku selesai malah aku tak punya kesempatan lagi karena sudah didahului orang lagi.
Aku masih ingat kata - kata Aldi. Setelah dia pulang dari Kalimantan, dia akan langsung melamar Risa. Dia juga sudah mengabariku dan Erik kalau bulan depan dia akan kembali ke Jakarta. Itu artinya saat itu aku masih di Bandung menyelesaikan pekerjaanku, dan tentu kesempatan yang ku punya untuk bisa mendapatkan Risa akan kembali sirna. Dua minggu lagi aku akan ke Bandung. Pihak kantor menugaskanku untuk menyelesaikan kasus klien disana. Tentu aku tak menolaknya karena kasus ini memang yang sedang ku tunggu. Selain itu, imbalannya sangat besar. Aku juga sudah mengumpulkan banyak bukti dan informasi mengenai kasus klienku ini. Itu sebabnya, sebelum kepergianku ke Bandung, aku harus sudah menghak miliki Risa sebelum Aldi datang mendahuluiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Mama lilik Lilik
POV nya panjang banget Thor,jadinya kurang greget
2023-10-30
1