"Iya. Jadi gimana ? Fira mau gak Om jadi Ayah Fira ?". Kembali, pertanyaan itu dilontarkan oleh Rendy.
"Enggak deh, Om".
Aku tercenung mendengar jawaban putriku. Entah kenapa perasaan aneh itu muncul lagi. Namun, sedetik kemudia...
"Om jadi Papanya Fia aja. Kan Fia udah punya Ayah Arya. Jadi Om Rendy jadi Papa Fia aja, ya".
Terdengar sangat antusias jawaban putriku. Dan tak tahu kenapa, perasaan bahagia menyelimutiku. Tanpa sadar, senyumku mengembang. Wajahku terasa memanas.
"Udah selesai ngupingnya ?"
"Astaghfirullahaladzim..." Aku tersentak kaget mendengar suara dari arah belakang. Hampir saja nampan yang ku pegang lolos dari tanganku. Ku palingkan wajahku ke arah suara itu. "Ibu... Bikin kaget aja". Pekikku pelan.
"Siapa suruh kamu berdiri kayak patung disitu. Bukannya langsung nganter minuman malah nguping". Ibu menatapku dengan senyum yang tak bisa ku artikan.
"Heheeee..." Aku hanya bisa membalasnya dengan cengiran saja.
"Udah, ayok di bawa keluar minumannya. Tuh, jusnya udah berkeringet". Tunjuk Ibu pada teko diatas nampan yang ku bawa.
Aku pun langsung melangkah keluar mendahului Ibu.
"Jusnya udah dateng". Ucapku sambil meletakkan nampan di atas meja teras. Lalu menuangkan jus jeruk ke masing - masing gelas
"Udah lama datengnya, Ren".
"Eh, ada Ibu. Baru aja, sih. Baru aja ngerasain kekeringan". Jawab Rendy sambil melirikku. Dia menurunkan Safira dari pangkuannya lalu menghampiri Ibu dan menyalaminya. "Ibu mau kemana, nih bawak bekel segala ?"
"Oh, ini mau nganter cemilan buat bapak di warung. Sesekali mampir ke warung, Ren. Siapa tau aja jadi penglaris". Seloroh ibu pada Rendy. "Ibu juga jual mi sop, loh".
"Wah... Kayaknya perlu kesana, nih". Matanya melirik Safira yang sedang menyeduh Jus jeruk.
"Ayok, Pa..."
Mataku seketika membelalak mendengar jawaban putriku. Wajahku tak bisa menutupi keterkejutanku. "Tadi Fira bilang apa ?"
Safira menatapku dengan wajah penasarannya. "Bilang apa, Bun ?"
"Tadi barusan... Fira bilang apa ke Om Rendy ?" Ulang ku lagi.
"Oooh... bilang 'Ayok Pa', Bun". Senyum bahagia terbit di wajahnya yang polos.
"Pa ?" Tanyaku masih penasaran. Mungkin saja pendengaranku sudah berkurang atau bermasalah.
"Iya, Bun. Sekarang Om Rendy jadi Papanya Fia. Boleh kan, Bun ? Boleh kan Uti ?". Dia menatapku dan Ibu dengan bergantian. Astaga... Fira. Panggilan Papa pada Rendy langsung diterapkannya. Apa sebegitu mendambanya dia akan sosok seorang Ayah di sampingnya. Ya, Allah... Ternyata aku masih mengabaikan salah satu kebahagiaan putriku.
"Boleh Fira. Yang penting Om Rendynya gak keberatan di panggil seperti itu". Ibu lebih dulu menyetujui ucapan Safira. Sedangkan aku masih menatap Rendy mencari penjelasan darinya yang hanya di balas dengan tawanya.
"Udah, ayok Fira. Nanti ke buru rame di warung. Kasian Yangkung kerepotan". Rendy langsung menggandeng tangan Safira dan berlalu meninggalkanku yang masih belum mendapat jawaban.
"Lah, jus nya gimana ? Aku udah capek - capek buatin loh"
"Fia udah minum jus nya kok, Bun. Udah Fia abisin satu gelas". Jawab Safira seolah takut aku marah karena tak menikmati hidangan yang sudah ku sediakan.
Aku menatap putriku dan tersenyum. "Trima kasih, sayang". Lalu pandanganku beralih pada Rendy yang ingin melangkah pergi.
"Iya, iya. Ini aku minum". Rendy langsung membalikkan langkahnya menuju meja dan duduk kembali. Lalu meneguk habis jus yang ada di gelas.
"Aaah...." Ucapnya setelah menandaskan segelas jus jeruk dingin. Lalu berdiri danmeraih tangan Safira. "Ayok, sayang".
"Yuk, Pa. Uti mau sekalian ikut kami ?"
Ibu menggelengkan kepala. "Kalian duluan aja. Uti mau naik motor saja".
"Yaudah. Kami duluan Uti. Bye bye, Bunda".
Aku membalas lambaian tangan Safira. Dia selalu tampak lebih bahagia jika berada di dekat Rendy. Selama ini, bukan hanya Rendy yang mendekatiku, tapi ada beberapa pria yang berusaha mengambil hati Safira untuk bisa dekat denganku. Namun hanya Rendy yang mampu menciptakan kebahagiaan untuk Safira. Tentu saja selain Bapak dan adikku, Zein.
"Kamu ikut ke warung, Sa ?"
"Enggak, Bu. Masih ada yang mau dikerjain".
"Yaudah, Ibu mau nyusul Bapak ke warung. Itu Ibu sudah masak untuk makan malem. Kunci pintunya kalo kamu mau istirahat".
Seperginya Ibu, aku langsung membereskan gelas - gelas dan yang lainnya lalu masuk ke rumah menutup pintu. Ku cuci gelas kotor di dapur dan memasukkan teko berisi jus jeruk ke dalam kulkas. Lalu aku menuju kamarku dan Safira untuk rebahan. Rasanya masih ada yang mengganjal di pikiranku mengenai panggilan Safira pada Rendy.
Apa itu artinya aku memang harus kasih Rendy kesempatan, ya ? Tapi kan belum tentu maksud Rendy sama seperti yang ku pikirkan. Bisa jadi dia hanya ingin menghibur Safira yang sedih karena Ayahnya tak punya waktu untuknya. Aku gak boleh terus baper dengan apa yang Rendy buat. Aku harus memastikan apa maksud Rendy menyuruh Safira memanggilnya Papa.
***
Aku masih sibuk merekap pesanan pelanggan di toko rotiku. Setelah mengantar Safira ke sekolah, aku langsung menuju toko. Ya, aku punya toko roti sendiri sejak empat tahun lalu yang berada di dekat pusat kota tempat tinggalku. Tapi, hanya kedua orang tuaku yang mengetahuinya. Aku merahasiakannya dari semua orang termasuk putriku dan kedua adikku. Selama ini aku selalu bilang kalau aku bekerja di toko roti itu. Yang pada nyatanya toko itu adalah kepunyaanku.
Sejak dua tahun belakangan ini, tokoku semakin laris dan telah memiliki pelangganh tetap. Aku menjual berbagai cake dan kue kering. Aku berencana membuka cabang untuk toko rotiku di dekat perumahan yang cukup padat penduduk. Disana sudah banyak ruko - ruko yang berjualana, tapi belum ada toko roti. Aku dan Tia, karyawan terlama dan yang paling loyal di tokoku sudah survey lokasi. Aku juga sudah bertanya - tanya mengenai harga sewa ruko. Hanya tinggal membeli beberapa peralatan pelengkap untuk berjualan.
"Mbak Risa. Ini pesenannya udah beberapa yang kelar. Udah di kotakin juga. tinggal cek aja". Tia yang berbicara. Aku masih mentotal pesanan yang masuk dari akun hijauku.
"Itu pesenan yang harus di antar hari ini, kan ? Yang untuk hajatan atas nama Marisa ?". Tanyaku memastikan.
"Iya, Mbak. Ini ada sekitar tiga ratus kotak". Tia memperhatikan kotak - kotak yang telah tersusun rapi di meja ruangan itu. Kami ada di ruang penyajian yang terhubung dengan ruang penyimpanan dan produksi. Karyawan di ruangan itu ada lima orang. Tiga yang bertugas untuk membuat adonan kue. Dua sebagai penata sekaligus penanggung jawab penyimpanan.
"Kalo gak salah, mereka juga pesen Tiramishu, kan ? Udah di siapin juga ?"
"Udah, Mbak. Ini untuk Tiramishunya". Tia menunjuk kotak berukuran 40 x 40 cm yang ada di tumpukan paling atas.
"Oke. Hati - hati bawanya, ya. Edo sama siapa yang anter ?". Tanyaku. Edo adalah karyawan bagian pengantaran.
"Kayaknya sama Rati, Mbak. Soalnya kemarin kan dia yang trima pesenannya". Jelas Tia. Aku sudah mempercayakan toko pada Tia sejak dua tahun ini. Dia sangat amanah. Sejak awal toko rotiku dibuat, dia adalah karyawan pertama yang mampu bertahan bekerja denganku. Kemampuannya untuk menarik pelanggan dan memajukan toko tak perlu diragukan.
Aku melirik jam di ponselku. 10.35. Sebentar lagi acara Safira akan di mulai. "O iya, Tia. Aku gak bisa lama - lama. Ini udah saya rekap pesenan via online ke Aku. Nanti kamu cek ulang lagi, ya. Trus buat pesenannya. Udah aku cantumin juga nomor masing - masing pelanggan. Kabari mereka kalo pesenan udah mau rampung". Aku menyerahkan salinan rekapan pada Tia. "Aku pergi dulu, Tia".
Setelah berpamitan pada Tia, aku langsung menuju ke tempat motor matic ku terpakir. Menggunakan helm lalu gegas ke sekolah Safira. Perjalanan dari toko ke sekolah Safira hanya memakan waktu dua puluh menit. Aku masih bisa sedikit bersantai untuk sampai ke sana. Semoga saja Rendy menepati janjinya dan sudah berada disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Nino
Pusing kepala baca cerita ini, tapi tetap seru. Teruslah menulis, author!
2023-09-20
1