PoV Arya
Aku tidak menyangka akan dipertemukan dengan mereka di saat ini. Melihat mantan istri dan anakku saat aku bersama dengan keluarga baruku, membuat darahku seakan berhenti mengalir. Tak menyangka jika kedua anakku sekolah di tempat yang sama.
Aqilah, anakku dari Rani tampak begitu akrab dengan Safira, anakku dari Risa. Begitu juga dengan istriku, ternyata telah saling mengenal dengan Risa, mantan istriku. Aku tidak tahu seberapa dekat mereka. Aku hanya bisa berharap kenyataan yang selama ini ku tutupi dari Rani tetap tertutup rapat. Aku tak ingin kehilangan Rani yang juga pastinya dapat menghilangkan sumber keuanganku juga.
Ku lirik Safira. Wajahnya terlihat datar. Sedikitpun tak terlihat kebagianlan di wajahnya saat bertemu denganku. Sepertinya Risa telah mengajarinya untuk menganggap kami tak saling kenal jika bertemu tanpa sengaja.
Hari ini kedua putriku itu mengikuti pertandingan lomba lari. Wajah Aqilah tampak antusias dan penuh semangat. Sementara Safira, tatapannya kosong dengan wajah lesu dan hilang semangat. Sejujurnya aku tak tega melihat Safira seperti itu. Dari dulu, dia tak pernah mendapatkan perhatian dariku. Bahkan aku tak bisa mengiriminya nafkah karena keuangan yang masih di atur oleh Rani. Aku seolah abai akan tanggung jawabku terhadapnya. Tapi aku sangat yakin, Risa dan keluarganya tak akan membiarkan Safira menderita. Mengingat Safira adalah cucu pertama dikeluarganya.
Saat pertandingan akan dimulai, terdengar suara teriakan seperti supporter bola meneriaki nama pemain. Dan, ya. Suara teriakan itu menyebut nama Safira. Ku cari sumber suara yang begitu riuh dan menaikkan semangat itu. Tepat dihadapanku. Tiga pria dengan pompom di tangan masing - masing terus meneriaki nama Safira layaknya tim cheerleaders. Ku alihkan pandanganku pada Safira. Wajahnya berubah menjadi lebih bersemangat. Senyum semakin mengembang dan dia tampak berjingkak kecil kegirangan melihat para penyemangatnya.
Aku mengenal tiga pria yang menyemangati putriku itu. Mereka adalah teman semasa sekolah Risa. Beberapa kali aku pernah ikut berkumpul dengan mereka di acara reuninya.
Perasaanku sedikit kacau. Seharusnya aku menyemangati putriku yang sedang berlomba. Tapi aku sendiri tak sanggup melakukannya. Aku takut jika ku teriaki nama Aqilah, maka Safira akan berkecil hati dan sedih. Sebaliknya jika aku meneriaki nama Safira, maka Rani akan curiga dan rahasiaku akan terbongkar.
"Mas, ayo kita semangati Aqilah. Kamu kok kayaknya ngelamun gitu". Rani menyenggol lenganku.
"Eh, Iya, Ma". Aku sedikit gugup menghadapi situasi ini. Ku lirik Risa ditempatnya berdiri. Dia sudah tak ada disana. Mataku menelisik ke setiap kerumunan penonton. Aku belum menemukannya juga.
"Mas... Kamu ngeliatin apa, sih ? Anak kamu disana". Suara Rani kembali menyadarkan perbuatanku. Aku menatap Rani lalu mengikuti arah telunjuknya.
Ya, kedua anakku memang berada disana. Yang aku cari adalah ibu dari anakku yang satunya. Tak mungkin ku katakan pada Rani begitu. Aku mengulas senyum pada Rani. "Mas cuma cari dimana penjual minuman. Haus". Jawabku mencari alasan.
"Tunggu sampek Aqilah selesai ya, Mas. Takutnya nanti kamu malah gak liat Aqilah lomba".
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Memperhatikan para peserta yang sudah bersiap di lapangan.
"Tigaaa"
Panitia lomba telah memberikan kamando pada para peserta memulai pertandingan. Mataku tak lepas dari Safira yang lari dengan sangat lincah dan cepat hingga mencapai garis finish. Aku terlonjak gembira melihat dia meraih kemenangan. Walau masih harus memasuki semi final.
"Yaaa... Aqilah kalah, Mas". Aku tersadar dari kegembiraanku atas kemenangan Safira. Buru - buru ku alihkan pandanganku pada Aqilah dan menghampirinya.
"Aqilah... Sini sayang". Ku raih Aqilah dalam gendonganku. "Gak apa - apa ya, sayang. Setidaknya kamu juga udah berusaha semampumu dan bisa ngalahin dua orang di belakangmu. Jangan sedih, ya". Sebisa mungkin ku tenangkan putri kesayanganku itu agar dia tak bersedih.
"Gak apa - apa ya, sayang. Lain kali pasti kamu bisa menang". Sambung Rani sambil mengelus pundak Aqilah.
"Kenapa Fira, sih yang menang. Harusnya Aqilah. Iiih... Sebel deh". Wajahnya cemberut. Bukan kesedihan yang tampak diwajahnya. Dia terlihat seakan tak terima dengan kekalahan. Mungkin akibat dari didikan kami yang selalu memanjakannya dan memberikan apa saja yang menjadi keinginannya. Dia jadi tak bisa menerima kekalahan.
"Ssst. Gak boleh gitu ya, sayang. Nanti gantinya, Aqilah mau aaaappa aja Mama turuti". Beginilah Rani. Bukannya memberi pengertian pada anaknya. Malah mengiming - imingi anaknya dengan sesuatu.
"Bener ya, Ma. Apapun yang Aqilah mau nanti Mama turuti ?". Dia mengulang pertanyaan Mamanya dengan wajah yang masih ditekuk.
"Bener, sayang. Kan, Mama gak pernah bohong".
Tak ku hiraukan lagi percakapn ibu dan anak ini yang sedang membahas keinginan dan menambah level manja sang anak. Aku memalingkan pandanganku mencari sosok Safira. Dia pasti sedang berbahagia dengan Rani karena kemenangannya.
Mataku menangkap Safira yang tengah berada dalam gendongan pria yang ku kenal bernama Rendy. (Aku masih mengingat beberapa nama teman sekolah Risa). Safira tampak bahagia dalam gendongannya.
"Tapi kan masih kurang lengkap kalo gak ada Papa".
Seketika aku mematung. 'Papa' ? Safira memanggil Rendy dengan sebutan 'Papa' ? Sejak kapan ? Kenapa baik Safira maupun Risa tidak meminta izin terlebih dahulu padaku sebagai Ayah kandungnya saat menjadikan Rendy sebagai Papanya ?
"Ehem... Jadi kehadiran Om Aldi dan Om Erik gak ada artinya dong". Pria satunya, Aldi mulai bersuara. Dia melirik Safira seolah tidak terima karena hanya Rendy yang diberi pujian.
"Heheee... Gak gitu Om. Makasih ya Om Aldi, Om Erik karna udah mau luangin waktu buat dateng ke perlombaan Fia. Semangat Fia jadi fuuuuull luber". Kedua tangannya merentang menunjukkan seberapa besar yang di maksudnya.
Aku sedikit terhenyak mendengar penuturan Safira. Rasanya hatiku teriris. Kalimatnya terdengar seperti sindiran di telingaku. Ya. Aku memang tak bisa meluangkan waktu untuknya. Tapi setidaknya sekarang aku hadir melihat pertandingannya. Setidaknya aku juga memenuhi keingin Risa untuk mengahadiri pertandingan Safira. Mungkin juga berkat kehadiran tak terdugaku ini semangat Safira menjadi bertambah.
"Mas... "
"Ya... " Aku menatap Rani yang sudah tampak kesal.
"Kami itu sebenernya ngelamunin apa, sih ? Diajak ngomong dari tadi tapi gak respon sama sekali. Tuh, Aqilah udah kehausan. Tadi juga katanya kamu mau ke kantin". Dia menunjuk Aqilah yang masih berada dalam gendonganku. Wajahnya tampak cemberut dengan bibir yang dimajukan beberapa centi.
"Eh, Maaf ya, sayang. Itu... Aa... Itu..." Otakku berpikir mencari jawaban yang tepat sambil terus menoleh ke kanan dan kiri agar mereka tak semakin curiga. "Tadi Papa lagi liat - liat penjual minuman. Kita ke sana aja, yuk". Aku menunjuk ke salah satu penjual yang datang ke sekolah. Beruntung penjual itu menjual kembang gula kesukaan Aqilah.
"Waaah". Wajah Aqilah langsung berubah ceria. "Ada kembang gulaaa. Papa memang debes deh". Tangannya melingkar di leherku dan memberi pipiku ciuman
"Iya, dong. Papa siapa dulu". Aku bisa bernafas lega karena satu masalah bisa teratasi. "Ayo, kita kesana".
Kami menuju tempat penjual itu. Ku sempatkan melirik ke tempat Safira berada. Mereka sudah tak disana. Mungkin mencari tempat istirahat. Sebaiknya aku fokus pada Aqilah dan Rani dulu. Agar tak semakin membuat masalah. Setelah ini aku masih harus bertemu dengan Safira dan Risa karena masih harus melihat Aqilah tampil berlomba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Suyadi Yadi
karena kamu pria matre mengorbankan anakmu demi ambisi mu
2023-10-30
0