Masih PoV Rendy
Aku lalu mengajak menuju stand mobil - mobilan. Safira memperhatikan mobil - mobilan yang ada sebelum menaikinya.
"Fia naik yang itu aja ya, Pa". Tunjuknya pada mobil jip berwarna hitam putih itu. Pilihan yang bagus. Aku pikir dia akan memilih mobil sedan berwarna pink yang ada di depannya. Ternyata dia bukan tipikal feminin sepertinya ibunya.
Aku mengiyakan permintaannya. Lalu mengajaknya menaiku mobil pilihannya. Pemilik stand memberi tahu cara kendalinya pada Safira. Aku ikut memperhatikan arahan yang diberikan pria pemilik stand itu pada Safira. Mata Safira tak lepas dari arahan tersebut. Lalu dengan lancar Safira mempraktekkan arahan yang baru dipelajarinya tadi.
Aku terpukau dengan kemahirannya. Dalam waktu lima menit dia dapat mengendalikan mobil tersebut tanpa kendala. Aku mengikuti arah mobil itu berjalan. Takut juga jika tiba - tiba terjadi hal yang tak terduga pada Safira. Bisa kelar hidupku dibuat ibunya karena sudah membuat anaknya celaka.
Setelah puas menaiki mobil, Fira memilih bermain prosotan dengan anak yang lain. Aku hanya memperhatikan dari tempat duduk yang ada di dekat permainan itu. Aku melirik jam di tanganku. Pukul 12.15. Sepertinya waktu berjalan begitu cepat. Aku melambaikan tangan pada Safira saat dia menoleh ke arahku. Seolah mengerti dengan isyarat yang ku berikan, dia pun berjalan menghampiriku.
"Fia terlalu asyik main ya, Pa ? Maaf ya, Pa". Astaga, aku jadi tidak enak dengan ucapannya. Buru - buru kugelengkan kepalaku agar tak membuatnya sedih.
"Bukan, sayang. Ini udah masuk waktu makan siang. Mainnya udah dulu, ya". Aku menyeka keringat di wajahnya dengan sapu tangan milikku.
Fira lalu meraih tasnya dan mengeluarkan isinya. Ternyata dia membawa handuk kecil. Mirip sapu tangan. "Bunda udah siapin semua keperluan Fia kok, Pa. Kata Bunda, Fia gak boleh buat Papa repot. Karena Papa kan gak pernah ngurus anak kecil". Ucapnya sambil mengusap peluh di wajahnya. Lalu dia mengeluarkan botol minuman berbentuk beruang dari dalam tasnya dan langsung meneguknya.
"Fira bawa apa aja, nak ?". Aku mencoba membuka tas ransel berbentuk kepala karakter minny mouse tersebut. Aku terkejut melihat isinya. Ada tissue basah dan kering. Ada kotak bekal yang aku duga isinya adalah makanan. Juga... Astaga! Dompet ? Aku menatap Safira sambil memegang dompet tersebut.
Safira yang sepertinya tahu maksudku langsung memberi penjelasan. "Kata Bunda, barang kali uang Papa gak cukup, atau Papa lupa bawa dompet. Trus kita cuma jalan - jalan doang tanpa beli apapun. Jadi Bunda jaga - jaga bawain ini buat Fia". Mataku membelalak mendengar jawaban polos dari gadis kecil di hadapanku. Sungguh tega sekali Risa membuatku malu di depan putri kecilnya ini. Mungkin dikiranya aku bakal menelantarkan anaknya. Haaah... Risa... Risa... Begini amat pemikiranmu padaku.
Safira meraih dompet yang ku pegang lalu membuka dan mengeluarkan isinya. "Siapa tau aja Bunda bawain Fia uang monopoli. Ya, kan Pa. Perlu kita cek kebenaran uangnya. Bisa jadi Bunda cuma bohongin Fia".
Aaah. Bener juga kata Fira. Siapa tahu aja, Risa hanya memasukkan uang mainan di dompet itu. Karena aku kan pamit ingin mengajaknya bermain. Aah, kenapa tak terpikir olehku, sih. Aku menunggu Safira mengeluarkan isi dari dompet lipat itu.
Lembaran uang berwarna merah. Ada sekita lima lembar. Tunggu dulu. Dilihat, ada benang pengamannya. Diraba, ada tekstur kasar, kode tunanetra. Di terawang. Kunaikkan lemabaran uang tersebut ke arah sinar matahari. Lagi, aku terperangah melihat keaslian uang ini. Risa benar - benar membekali Safira dengan uang sungguhan. Sial!
"Kenapa, Pa ?". Tanyanya polos.
Aku tersenyum menatap wajahnya. "Gak apa - apa, sayang. Eh, iya. Ini Bunda bawain apa buat Fira ?" Aku mengalihkan pembahadan uang ini dari Safira. Walau Safira belum sepenuhnya mengerti dengan maksud Risa, tapi ini mampu membuatku malu.
"Ini kue White Chocochip, Pa. Enak banget loh, Pa. Kue ini kesukaan Fia, Pa". Matanya tampak berbinar melihat kue kesukaannya. Dia mengambil sendok dari penutup bekal tersebut. Lalu tangannya mengarahkan sendok ke arah kue tersebut. Buru - buru ku tahan tangan mungil itu untuk menyendoknya.
"Eits. Sabar dulu, sayang. Kita harus makan siang dulu. Setelah makan, baru kita makan kue ini sebagai dessert nya. Tapi sebelumnya kita cari musholla dulu buat sholat". Aku teringat isi tas Safira yang juga ada tas kecil berisi mukenah. Itu artinya Risa ingin putri kecilnya ini tak melupakan kewajibannya untuk beribadah. "Fira masih bisa tahan atau kita mau makan dulu ?". Aku juga harus memastikan perut Safira belum kosong. Karena beribadah saat perut kosong hanya akan merusak konsentrasi.
"Fia belum terlalu laper kok, Pa". Senyum tulusnya membuktikan bahwa dia berkata jujur.
"Waduuuh.. Anak cantik lagi main sama Papa, ya. Mamanya mana, kok gak keliatan ?".
Aaah... Kenapa harus ada Mbak - mbak yang kepo, sih. Tanganku tiba - tiba saja reflek menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal.
"Atau jangan - jangan Masnya duda, ya ? Aduuh... Mau dong jadi Mama penggantinya", nadanya terkesan dibuat - buat. Aku jadi teringat dengan Wulan. Dia selalu berbicara padaku dengan nada seperti ini.
"Aku juga mau loh jadi Mama pengganti buat adik cantik ini. Papanya juga ganteng". Aku bergidik dengan pujian itu. Memang sih aku sudah terbiasa dengan kata - kata ganteng. Tapi entah kenapa, saat mereka yang mengatakannya mampu membuat bulu - bulu halus ditengkukku berdiri.
"Maaf, Mbak. Istri saya sedang istirahat dirumah. Jadi tugas jaga anak saya yang ambil alih". Ucapku sopan dan lembut. "Ayo, sayang. Permisi Mbak. Mari". Aku meraih tangan Safira dan menatihnya menuju Musholla terdekat.
Safira terkikik setelah jarak kami dengan wanita - wanita tadi sudah jauh. Aku menatapnya heran. "Fira kenapa, sayang ?".
"Heheee... Papa lucu. Tante - tante itu godain Papa. Heheee... " Dia menutup mulutnya menahan tawa.
Setelah selesai sholat, kami langsung menuju angkringan terdekat untuk makan siang. Pilihan kami jatuh pada ayam penyet dan jus jeruk. Safira tampak lahap menikmati makanannya. Sesekali dia terlihat kepedesan saat makan dengan sambal.
"Aaah. Alhamdulillah, akhirnya kenyang". Ucapnya sambil membersihkan tangannya denga tissue.
"Yakin udah kenyang". Godaku sambil menunjuk ke grobak penjual batagor. Dia mengikuti arah telunjukku.
"Gak ah, Pa. Nanti Fia gak bisa makan kue buatan Bunda". Tolaknya halus.
Aku hanya menimpalinya dengan tawa. "Setelah ini, kita mau main apa lagi ?". Aku melihat ke sekeliling. Memperhatikan permainan yang ada.
"Ntar aja deh, Pa mainnya. Kita duduk aja dulu". Safira menyeruput jus jeruknya yang masih separuh.
"Oke deh kalo gitu". Jawabku santai.
Hampir satu jam kami hanya duduk sambil bercerita. Mulai dari sekolah, warung Uti sampai pekerjaan Risa, sang ibu. Wajahnya akan tampak serius saat menceritakan tentang ibunya yang sibuk bekerja.
Hingga akhirnya kami memutuskan untuk mencoba permainanan yang lain. Dia mengajakku untuk bermain ayunan. Lalu tiup gelembung dan terakhir kami menaiki odong - odong untuk keliling pertokoan.
Waktu menunjukkan pukul empat sore saat kami turun dari odong - odong. Aku langsung mengajaknya pulang karena dia juga perlu istirahat. Jam tidur siangnya sudah terganggu karena asik bermain.
Setelah mengantarkan Safira pulang dan memastikannya beristirahat, aku kembali ke rumah kakakku. Orang tuaku sedang tak ada dirumah. Lagi pula sudah lama juga aku tak bertemu Sakha, keponakanku. Usia masih dua tahun. Kakakku sudah menikah hampir tujuh tahun, namun masih dikaruniai satu orang anak. Dia mengidap PCOS sehingga kesulitan untuk hamil. Tapi dengan kesabaran kedua belah pihak, Tuhan menghadiahi mereka seorang buah hati yang mereka damba.
"Halo jagoan... " Teriakku saat sudah diambang pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments