Karma
Guruh Prayoga menyelesaikan study dikota dan berniat kembali ke kampung halamannya. Sendiri dan kesepian adalah hal biasa. Semenjak kecil tak ada keluarga yang benar-benar menetap di dalam hatinya. Kematian ayahnya adalah awal petaka dimana keluarganya satu per satu meninggal hingga menyisakan dia serta neneknya sebagai satu-satunya keluarga. Guruh biasa memanggilnya sebagai Nek Mar. Pada waktunya tiba, neneknya meninggal tanpa alasan jelas. Dia belajar di kota sesuai permintaan neneknya. Hari ini adalah kepulangannya dari kota kembali ke kampung halaman dimana Nek Mar pernah memperingatkan Guruh untuk berhati-hati atau hal buruk menimpa.
19 Agustus 1973
Guruh mengendarai mobil melintasi kawasan kampung halamannya. Keluarganya dahulu dikenal sebagai orang terpandang apalagi neneknya Maryam Soemarmo dikenal sebagai Tuan tanah oleh masyarakat sekitar. Guruh memasuki jalan kediaman. Rumah bernuansa mistis terasa begitu melihat berbagai hiasan penuh akan syarat makna mendalam. Di dominasi oleh kayu jati dan patung-patung penari. Mobil berhenti tepat di depan gerbang. Guruh menunggu dan beberapa saat kemudian seorang laki-laki paruh baya berjalan tergesa-gesa membukakan pintu gerbang. Guruh tersenyum ramah.
"Pak Parno gimana kabarnya? " tanya Guruh.
Soeparno atau kerap dipanggil pak Parno oleh Guruh adalah penjaga sekaligus pelayan kediaman keluarganya. Neneknya mengatakan hanya Soeparno lah orang yang dapat dipercaya bahkan melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal di luar konteks pekerjaannya.
"Bapak selalu sehat, " Jawab Pak Parno.
Guruh menganggukkan kepalanya. "Minta tolong untuk dibawa ke dalam"
Pak Parno melaksanakan perintah Guruh dengan membawa barang bawaan ke dalam rumah. Ketika pintu dibuka, bau kayu tercium begitu khas. Patung menghiasi disetiap sudut ruangan menambah kesan klasik. Lukisan sebuah bangunan megah bergaya jawa kuno sebagai pandangan pertama ketika memasuki ruang tamu.
"Tuan, nyonya berpesan untuk tak menempati kamarnya, " ucap Pak Parno.
Guruh menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju lorong melewati beberapa kamar hingga berhenti di ujung. Tangannya meraih ganggang pintu.
"Tunggu! Ruangan ini belum bapak bersihkan. Takut Tuan tidak nyaman, " ucap Pak Parno mengejutkan Guruh. Ia mengurungkan niatnya untuk mengecek keadaan di dalam kamar setelah mendengarkan ucapan Pak Parno.
Guruh kembali ke ruang tamu duduk di bawah lukisan. Dia melihat sekelilingnya mencermati lingkungan yang telah lama ia tinggal. Ingatan masa kecil berputar dalam benaknya. Bayangan keluarga lengkap menghantui pikirannya.
"Atma raga mati, " gumamnya membaca tulisan akasara jawa yang berada di atas pintu. Beberapa peletakan kamar hingga arah rumah sesuai dengan kejawen.
Kertas merah bertuliskan arab terpajang pada dinding di bawah lukisan berjumlah dua. Guruh menghela nafas panjang setelah melihat keadaan rumahnya. Seseorang mengetuk pintu berkali-kali membuatnya berdiri melihat siapa yang datang. Guruh mengernyitkan dahi ketika melihat pria bungkuk membawa sebakul berisikan hasil kebun.
"Bapak ingin cari siapa? " tanya Guruh.
"Guruh Prayoga cucu almarhumah Nyai Maryam?" balas pria tersebut bertanya.
"Benar. Saya cucu almarhumah Nyai Maryam. Ada apa bapak mencari saya? " ucap Guruh.
"Saya mau memberikan ini sebagai tanda bahwa Anda datang ke kampung halaman, " ucapnya memberikan bakul tersebut kepada Guruh.
"Tidak perlu repot-repot"
Pria tersebut memaksa Guruh menerimanya sembari memberikan kode melalui kedua matanya. Pak Parno datang dari belakang ketika mendengar suara ribut-ribut.
"Eh, ada pak Yoto, " ucap Pak Parno.
Pria yang dipanggil Pak Yoto diam seketika. Pak Parno mengambil bakul pemberiannya kemudian mempersilahkan untuk pergi.
"Siapa Dia pak? " tanya Guruh.
"Orang yang tinggal di ujung sawah. Namanya Pak Yoto, dia dulu pernah bekerja sebagai pelayan disini sebelum nyonya Maryam memecatnya, " jawab Pak Parno.
"Ohhh.... "
"Kamar sudah saya bersihkan. Tuan bisa beristirahat, " ucap Pak Parno berpamitan pergi ke dapur.
Guruh menuju lorong kamar dan membuka pintu, sejenak ia diam melihat ruangan dahulu dimana ia samar-samar mengingat kejadian yang entah membuatnya trauma akan suara. Lemari telah terisi barang-barangnya. Hanya ada meja dan beberapa pernak pernik hiasan. Salah satu yang membuat Guruh tertarik adalah lukisan pohon rindang dengan ayunan kayu.
"Tuan.. " panggil Pak Parno.
Guruh tersentak. Pak Parno meletakkan nampan berisikan pisang rebus berikut dengan singkong bakar.
"Maaf mengagetkan. Tapi ini camilan pengganjal perut Tuan. Mbok Sum masih di kampung sebelah rewang acara nikahan"
"Iya Pak. Makasih" ucap Guruh.
Pak Parno undur diri menutup pintu pelan. Guruh mengelus-elus dadanya sembari menghela nafas.
"Bisa-bisa aku jantungan setiap saat, "gumamnya menggelengkan kepala.
Guruh merasakan lelah kemudian berbaring ditempat tidur memejamkan matanya.
"Degggg...!! "
Guruh terbangun dengan perasaan kalut. Ia buru-buru bangkit setelah mengingat bahwa dirinya tertidur saat hendak magrib. Membuka jendela kamar melihat langit telah gelap. Ketukan pintu terdengar. Guruh menyahut ketika ketukan berubah menjadi gedoran. Dirinya merasa kesal dibuatnya. Tangannya meraih ganggang pintu dan ketika ia hendak membukanya, seorang anak kecil melewati dirinya bersembunyi dibalik lemari kayu.
"Tutup pintunya! " teriak anak kecil tersebut keras. Guruh tanpa sadar mengikuti perintahnya. Ia mendekati lemari kayu namun langkahnya terhenti ketika merasakan getaran.
"Gempa!? " gumamnya sedikit panik.
Getaran semakin terasa dan bau apek tercium begitu jelas. Tak ada pergerakan dari dalam lemari. Keadaan menjadi sunyi bahkan deru nafas terdengar. Guruh hendak mengecek siapa yang berada di luar pintu namun perasaannya mengatakan untuk tidak melakukannya. Suara geraman samar terdengar. Guruh tersadar hal mengerikan berada di balik pintu. Ia memejamkan mata meyakinkan diri untuk tak membayangkan ciri-cirinya yang dapat merefleksikan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Aku tahu ada yang tak beres. Inilah jika aku mengabaikan perkataan Nenek untuk tak tidur saat menjelang magrib, " gumamnya mencengkeram celana berusaha menenangkan diri.
Guruh terhenyak ketika udara dingin melewati tubuhnya menyentuh lengannya. Seketika ia menoleh ke arah lemari dimana kedua matanya berkontak mata dengan anak kecil tersebut. Keduanya sama-sama terkejut. Bau harum semerbak tercium memenuhi ruangan. Guruh semakin panik.
"Brakkk!! "
Pintu lemari terbuka lebar. Anak kecil yang ada di dalamnya berdiri menatap mata Guruh. Keduanya saling pandang satu sama lain. Guruh hanya bisa mengartikan apa yang diucapkannya.
"Hati-hati? " ucapnya bertanya.
Anak kecil tersebut menganggukkan kepalanya dan melambaikan tangan menunjukkan tatapan sedih. Sebuah tangan menyentuh pundak Guruh membuatnya tersentak.
"Tuan, ini sudah hampir magrib. Tidak baik untuk tidur, " ucap Pak Parno.
Guruh menghela nafas lega, ia melihat langit berwarna oranye dan menganggukkan kepala berterimakasih kepada Pak Parno. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
"Lebih baik Tuan bersih-bersih dibelakang"
Guruh tersenyum menganggukkan kepalanya. Pak Parno pergi meninggalkan kamar. Guruh memikirkan apa yang baru saja ia alami membuatnya termenung di atas ranjang.
"Siapa dia dan mengapa aku melihat bahwa kamar ini adalah tempat kejadianya? " gumamnya lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments