Sepucuk Surat Berdarah

Tengah malam Guruh berada di kamar merenung memikirkan bagaimana ia bisa memajukan masyarakat sekitarnya yang berprofesi sebagai petani. Dia merasa sebagai satu-satunya sarjana di kampung memiliki kewajiban untuk memajukan masyarakat disekitarnya. Selain itu, neneknya berpesan untuk tak pernah tidur sore. Selalu mengingatkan bahwa orang jawa pantang tidur sore hari. Suara detik jam terdengar dan beberapa saat kemudian lonceng berbunyi beberapa kali. Suasana begitu hening. Perasaan Guruh tiba-tiba tak nyaman memberitahunya untuk waspada.

Menarik nafas dalam-dalam kemudian ia hembuskan untuk mendoktrin dirinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lemari kayu berguncang begitu keras membuat Guruh tersentak. Ia menoleh mendekat mengulurkan lengan membuka pintu lemari. Ia terkejut melihat anak kecil meringkuk di dalam menatapnya menyiratkan permintaan tolong.

"Kamu siapa? "

Tak ada sahutan dari anak kecil di depannya. Bau harum semerbak memenuhi ruangan. Guruh menoleh kesana-kemari mencari sumber bau dan menemukan sekelebat bayangan putih menembus pintu. Guruh tanpa rasa takut membuka pintu dan langsung berhadapan dengan sosok berbulu hitam besar memiliki bau apek tengah meneteskan air liur dengan mata merahnya melotot.

"Brakkk!! "

Guruh seketika tersadar ketika anak kecil keluar dari kamarnya berlari. Ia mengejar hingga sampai di ruang tamu dan melihat sekeliling namun tak menemukannya.

"Dimana dia? " gumamnya bingung.

Rumah berguncang. Guruh tahu makhluk itu mengejarnya namun dirinya merasakan tenang ketika bau harum kembali tercium. Bayangan hitam raksasa layaknya api berada tak jauh darinya. Guruh terdiam. Angin pelan melewatinya dan suara samar terdengar dari dalam benaknya.

"Aku melindunginya! " ucap suara yang terdengar dari dalam benak Guruh.

Makhluk hitam seketika menjauh dan menghilang. Guruh melihat sekilas bayangan perempuan cantik berkedip ke arahnya dan menguap. Ia kembali teringat akan anak kecil yang tengah ia kejar sebelumnya. Derit pintu terdengar. Guruh dengan jelas melihat neneknya berpakaian sama seperti dahulu yakni kebaya dan bersanggul ala sinden.

"Nenek.. " ucapnya sebelum kesadarannya menghilang.

Ia kembali terbangun yang ternyata sebelumnya tertidur di atas meja. Matanya berkedip melihat jam pukul 01.00. Helaan nafas kembali ia lakukan.

"Apakah aku penderita penyakit kejiwaan hingga tak bisa membedakan halusinasi dan kenyataan?" gumamnya frustasi.

Ia membuka pintu berjalan di lorong panjang. Langkahnya terhenti ketika berada di depan kamar neneknya. Guruh terdiam untuk beberapa saat sebelum memutuskan masuk sesegera mungkin.

"Brukk!! "

Pintu tertutup rapat. Guruh melihat ruangan kotor penuh akan sarang laba-laba. Debu tebal menambah kesan terbengkalai. Ia bertanya-tanya mengapa Pak Parno tak membersihkan kamar neneknya padahal gaji yang diterima cukup besar. Lukisan Maryam Soemarmo pada saat muda yang pernah menjadi sinden terpampang jelas. Senyum alami menambah kecantikan klasik tiada banding pada waktu itu. Orang-orang memanggil sebagai Nyai Maryam Soemarmo sang Tuan tanah. Guruh terdiam melihat lukisan tersebut. Perasaan aneh mendera tubuhnya seakan memperingatkan untuk tak terkecoh.

"Pyarrrr!! "

Guruh menoleh melihat benda pecah tersenggol oleh tikus. Ia mengusap kaca riasan menggunakan sapu tangan miliknya. Bayangan dirinya terlihat jelas meskipun sekelilingnya tertutupi debu. Matanya berkedip melihat lipatan kertas di atas meja. Bercak darah kering membuat Guruh membuka secara perlahan. Kalimat "Hidupmu adalah milikku" dengan tujuan Maryam Soemarmo membuat Guruh terkejut hingga mundur menabrak dinding. Suara kayu berderit terdengar membuatnya menahan nafas.

"Tes... tes... tes... "

Guruh mendongak dan matanya melotot ketika melihat perempuan dengan kepala terbalik menjulurkan lidahnya dengan posisi merangkak di langit-langit kamar.

"Aaaaa!!!!! "

Guruh berteriak keluar kembali ke kamarnya dengan nafas tersengal-sengal. Ia begitu mengingat jelas wajah bergelambir mengerikan itu. Pintu digedor-gedor semakin keras. Guruh panik memejamkan matanya menggumamkan sesuatu.

"Aku Guruh Prayoga Atma Soemarmo cucu dari Nyai Maryam Soemarmo dan putra tunggal Wiratama Aryo Soemarmo meminta untuk berhenti mengangguku atau aku akan bertindak!" ucap Guruh di dalam hatinya.

Gedoran pintu berhenti seketika. Guruh membuka kedua matanya. Ia berbalik menghadap pintu berjalan mundur dan berbaring pelan di ranjang mengabaikan apa yang terjadi. Sebelum tidur, ia melihat kembali surat berdarah meletakkannya di atas meja dan memejamkan mata berharap semuanya baik-baik saja.

Waktu Shubuh.

Sayup-sayup suara bedug terdengar pertanda memasuki waktu shubuh. Guruh berjalan ke belakang berniat wudhu. Pancuran air mengucur dan Guruh mulai berwudhu. Kabut tebal disekeliling rumah. Suasana hening. Guruh mendengar suara aneh namun ia mengabaikannya. Sholat shubuh ditunaikan namun hal aneh terjadi begitu selesai melakukannya.

Rumah seakan berguncang. Guruh mengabaikan dan akan memulai penyelidikan hari ini. Mbok Sum berkutat di dapur menyiapkan sarapan. Guruh menengok dapur membuat Mbok Sum senang. Wajah tua renta dengan senyuman teduh meluluhkan hati Guruh. Dirinya teringat akan neneknya.

"Eh... Mbok lagi nyiapin makanan. Disini banyak asap takut Tuan tidak nyaman, " ucapnya ramah mengusap kedua telapak tangan pada jarik lusuh dan menghampiri Guruh.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat bagaimana suasana dapur, " balas Guruh.

Bau harum tercium. Hidangan singkong bakar dan pisang rebus tersaji di atas kursi kayu. Guruh memiliki minat. Mbok Sum tersadar dan buru-buru memberikannya kepada Guruh.

"Ini, Mbok rebus pisang dan Pak Parno membakar singkong. Ini buat sarapan, " ucapnya.

Guruh menerima hidangan tersebut dan duduk di kursi kayu melihat Mbok Sum tengah mengaduk beras yang dipanaskan. Ia mengambil cangkir mengambil air beras masak dan memberikannya kepada Guruh.

"Ini air tajin biar tambah kenyang, " ucap Mbok Sum.

Guruh tersenyum. Udara dingin menyantap singkong bakar di depan perapian adalah hal menyenangkan yang tak ia temui di kota. Kabut turun membuat kawasan di sekitar gunung tertutup. Guruh melihat ke luar jendela. Dibalik pepohonan rimbun, ia merenung memikirkan kejadian yang ia alami semalam.

"Mbok, kenapa nenek tidak membiarkanku tinggal dimari. Disaat akhir hayatnya baru memperbolehkannya, " tanya Guruh.

Mbok Sum yang tengah menampi beras seketika berhenti ketika mendengar pertanyaan Guruh.

"Tuan ingin tahu? " ucapnya mengulangi pertanyaan.

Guruh menganggukkan kepala. Mbok Sum mengambil kursi kecil membenarkan jariknya sebelum duduk. Ia menatap Guruh seperkian detik.

"Terlalu banyak kenangan pahit, " ucap Mbok Sum singkat.

"Aku telah dewasa dan tak seharusnya ada yang disembunyikan. Aku menemukan sesuatu di kamar nenek, " balas Guruh.

Mbok Sum terhenyak dan hendak berbicara namun Pak Parno datang dengan kaos serta celana pendek.

"Sum.. Aku mau pergi agak jauh, " ucap Pak Parno melintas di depan Guruh dan menoleh sesaat.

Mbok Sum menganggukkan kepala. Pak Parno berpesan untuk tak berkeliaran di desa saat kabut tebal masih menyelimuti desa.

"Ada apa Mbok memangnya? " tanya Guruh.

"Akhir-akhir ini orang desa yang berkeliaran disaat kabut tebal maka akan mati dengan kepala terpenggal entah dimana, " jawab Mbok Sum.

"Tapi Pak Parno? " ucap Guruh.

"Tenang saja. Orang kepercayaan Nyai tidak sembarang orang termasuk Pak Parno, " balas Mbok Sum.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!