Guruh Prayoga menyelesaikan study dikota dan berniat kembali ke kampung halamannya. Sendiri dan kesepian adalah hal biasa. Semenjak kecil tak ada keluarga yang benar-benar menetap di dalam hatinya. Kematian ayahnya adalah awal petaka dimana keluarganya satu per satu meninggal hingga menyisakan dia serta neneknya sebagai satu-satunya keluarga. Guruh biasa memanggilnya sebagai Nek Mar. Pada waktunya tiba, neneknya meninggal tanpa alasan jelas. Dia belajar di kota sesuai permintaan neneknya. Hari ini adalah kepulangannya dari kota kembali ke kampung halaman dimana Nek Mar pernah memperingatkan Guruh untuk berhati-hati atau hal buruk menimpa.
19 Agustus 1973
Guruh mengendarai mobil melintasi kawasan kampung halamannya. Keluarganya dahulu dikenal sebagai orang terpandang apalagi neneknya Maryam Soemarmo dikenal sebagai Tuan tanah oleh masyarakat sekitar. Guruh memasuki jalan kediaman. Rumah bernuansa mistis terasa begitu melihat berbagai hiasan penuh akan syarat makna mendalam. Di dominasi oleh kayu jati dan patung-patung penari. Mobil berhenti tepat di depan gerbang. Guruh menunggu dan beberapa saat kemudian seorang laki-laki paruh baya berjalan tergesa-gesa membukakan pintu gerbang. Guruh tersenyum ramah.
"Pak Parno gimana kabarnya? " tanya Guruh.
Soeparno atau kerap dipanggil pak Parno oleh Guruh adalah penjaga sekaligus pelayan kediaman keluarganya. Neneknya mengatakan hanya Soeparno lah orang yang dapat dipercaya bahkan melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal di luar konteks pekerjaannya.
"Bapak selalu sehat, " Jawab Pak Parno.
Guruh menganggukkan kepalanya. "Minta tolong untuk dibawa ke dalam"
Pak Parno melaksanakan perintah Guruh dengan membawa barang bawaan ke dalam rumah. Ketika pintu dibuka, bau kayu tercium begitu khas. Patung menghiasi disetiap sudut ruangan menambah kesan klasik. Lukisan sebuah bangunan megah bergaya jawa kuno sebagai pandangan pertama ketika memasuki ruang tamu.
"Tuan, nyonya berpesan untuk tak menempati kamarnya, " ucap Pak Parno.
Guruh menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju lorong melewati beberapa kamar hingga berhenti di ujung. Tangannya meraih ganggang pintu.
"Tunggu! Ruangan ini belum bapak bersihkan. Takut Tuan tidak nyaman, " ucap Pak Parno mengejutkan Guruh. Ia mengurungkan niatnya untuk mengecek keadaan di dalam kamar setelah mendengarkan ucapan Pak Parno.
Guruh kembali ke ruang tamu duduk di bawah lukisan. Dia melihat sekelilingnya mencermati lingkungan yang telah lama ia tinggal. Ingatan masa kecil berputar dalam benaknya. Bayangan keluarga lengkap menghantui pikirannya.
"Atma raga mati, " gumamnya membaca tulisan akasara jawa yang berada di atas pintu. Beberapa peletakan kamar hingga arah rumah sesuai dengan kejawen.
Kertas merah bertuliskan arab terpajang pada dinding di bawah lukisan berjumlah dua. Guruh menghela nafas panjang setelah melihat keadaan rumahnya. Seseorang mengetuk pintu berkali-kali membuatnya berdiri melihat siapa yang datang. Guruh mengernyitkan dahi ketika melihat pria bungkuk membawa sebakul berisikan hasil kebun.
"Bapak ingin cari siapa? " tanya Guruh.
"Guruh Prayoga cucu almarhumah Nyai Maryam?" balas pria tersebut bertanya.
"Benar. Saya cucu almarhumah Nyai Maryam. Ada apa bapak mencari saya? " ucap Guruh.
"Saya mau memberikan ini sebagai tanda bahwa Anda datang ke kampung halaman, " ucapnya memberikan bakul tersebut kepada Guruh.
"Tidak perlu repot-repot"
Pria tersebut memaksa Guruh menerimanya sembari memberikan kode melalui kedua matanya. Pak Parno datang dari belakang ketika mendengar suara ribut-ribut.
"Eh, ada pak Yoto, " ucap Pak Parno.
Pria yang dipanggil Pak Yoto diam seketika. Pak Parno mengambil bakul pemberiannya kemudian mempersilahkan untuk pergi.
"Siapa Dia pak? " tanya Guruh.
"Orang yang tinggal di ujung sawah. Namanya Pak Yoto, dia dulu pernah bekerja sebagai pelayan disini sebelum nyonya Maryam memecatnya, " jawab Pak Parno.
"Ohhh.... "
"Kamar sudah saya bersihkan. Tuan bisa beristirahat, " ucap Pak Parno berpamitan pergi ke dapur.
Guruh menuju lorong kamar dan membuka pintu, sejenak ia diam melihat ruangan dahulu dimana ia samar-samar mengingat kejadian yang entah membuatnya trauma akan suara. Lemari telah terisi barang-barangnya. Hanya ada meja dan beberapa pernak pernik hiasan. Salah satu yang membuat Guruh tertarik adalah lukisan pohon rindang dengan ayunan kayu.
"Tuan.. " panggil Pak Parno.
Guruh tersentak. Pak Parno meletakkan nampan berisikan pisang rebus berikut dengan singkong bakar.
"Maaf mengagetkan. Tapi ini camilan pengganjal perut Tuan. Mbok Sum masih di kampung sebelah rewang acara nikahan"
"Iya Pak. Makasih" ucap Guruh.
Pak Parno undur diri menutup pintu pelan. Guruh mengelus-elus dadanya sembari menghela nafas.
"Bisa-bisa aku jantungan setiap saat, "gumamnya menggelengkan kepala.
Guruh merasakan lelah kemudian berbaring ditempat tidur memejamkan matanya.
"Degggg...!! "
Guruh terbangun dengan perasaan kalut. Ia buru-buru bangkit setelah mengingat bahwa dirinya tertidur saat hendak magrib. Membuka jendela kamar melihat langit telah gelap. Ketukan pintu terdengar. Guruh menyahut ketika ketukan berubah menjadi gedoran. Dirinya merasa kesal dibuatnya. Tangannya meraih ganggang pintu dan ketika ia hendak membukanya, seorang anak kecil melewati dirinya bersembunyi dibalik lemari kayu.
"Tutup pintunya! " teriak anak kecil tersebut keras. Guruh tanpa sadar mengikuti perintahnya. Ia mendekati lemari kayu namun langkahnya terhenti ketika merasakan getaran.
"Gempa!? " gumamnya sedikit panik.
Getaran semakin terasa dan bau apek tercium begitu jelas. Tak ada pergerakan dari dalam lemari. Keadaan menjadi sunyi bahkan deru nafas terdengar. Guruh hendak mengecek siapa yang berada di luar pintu namun perasaannya mengatakan untuk tidak melakukannya. Suara geraman samar terdengar. Guruh tersadar hal mengerikan berada di balik pintu. Ia memejamkan mata meyakinkan diri untuk tak membayangkan ciri-cirinya yang dapat merefleksikan apa yang ada di dalam pikirannya.
"Aku tahu ada yang tak beres. Inilah jika aku mengabaikan perkataan Nenek untuk tak tidur saat menjelang magrib, " gumamnya mencengkeram celana berusaha menenangkan diri.
Guruh terhenyak ketika udara dingin melewati tubuhnya menyentuh lengannya. Seketika ia menoleh ke arah lemari dimana kedua matanya berkontak mata dengan anak kecil tersebut. Keduanya sama-sama terkejut. Bau harum semerbak tercium memenuhi ruangan. Guruh semakin panik.
"Brakkk!! "
Pintu lemari terbuka lebar. Anak kecil yang ada di dalamnya berdiri menatap mata Guruh. Keduanya saling pandang satu sama lain. Guruh hanya bisa mengartikan apa yang diucapkannya.
"Hati-hati? " ucapnya bertanya.
Anak kecil tersebut menganggukkan kepalanya dan melambaikan tangan menunjukkan tatapan sedih. Sebuah tangan menyentuh pundak Guruh membuatnya tersentak.
"Tuan, ini sudah hampir magrib. Tidak baik untuk tidur, " ucap Pak Parno.
Guruh menghela nafas lega, ia melihat langit berwarna oranye dan menganggukkan kepala berterimakasih kepada Pak Parno. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
"Lebih baik Tuan bersih-bersih dibelakang"
Guruh tersenyum menganggukkan kepalanya. Pak Parno pergi meninggalkan kamar. Guruh memikirkan apa yang baru saja ia alami membuatnya termenung di atas ranjang.
"Siapa dia dan mengapa aku melihat bahwa kamar ini adalah tempat kejadianya? " gumamnya lirih.
Tengah malam Guruh berada di kamar merenung memikirkan bagaimana ia bisa memajukan masyarakat sekitarnya yang berprofesi sebagai petani. Dia merasa sebagai satu-satunya sarjana di kampung memiliki kewajiban untuk memajukan masyarakat disekitarnya. Selain itu, neneknya berpesan untuk tak pernah tidur sore. Selalu mengingatkan bahwa orang jawa pantang tidur sore hari. Suara detik jam terdengar dan beberapa saat kemudian lonceng berbunyi beberapa kali. Suasana begitu hening. Perasaan Guruh tiba-tiba tak nyaman memberitahunya untuk waspada.
Menarik nafas dalam-dalam kemudian ia hembuskan untuk mendoktrin dirinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lemari kayu berguncang begitu keras membuat Guruh tersentak. Ia menoleh mendekat mengulurkan lengan membuka pintu lemari. Ia terkejut melihat anak kecil meringkuk di dalam menatapnya menyiratkan permintaan tolong.
"Kamu siapa? "
Tak ada sahutan dari anak kecil di depannya. Bau harum semerbak memenuhi ruangan. Guruh menoleh kesana-kemari mencari sumber bau dan menemukan sekelebat bayangan putih menembus pintu. Guruh tanpa rasa takut membuka pintu dan langsung berhadapan dengan sosok berbulu hitam besar memiliki bau apek tengah meneteskan air liur dengan mata merahnya melotot.
"Brakkk!! "
Guruh seketika tersadar ketika anak kecil keluar dari kamarnya berlari. Ia mengejar hingga sampai di ruang tamu dan melihat sekeliling namun tak menemukannya.
"Dimana dia? " gumamnya bingung.
Rumah berguncang. Guruh tahu makhluk itu mengejarnya namun dirinya merasakan tenang ketika bau harum kembali tercium. Bayangan hitam raksasa layaknya api berada tak jauh darinya. Guruh terdiam. Angin pelan melewatinya dan suara samar terdengar dari dalam benaknya.
"Aku melindunginya! " ucap suara yang terdengar dari dalam benak Guruh.
Makhluk hitam seketika menjauh dan menghilang. Guruh melihat sekilas bayangan perempuan cantik berkedip ke arahnya dan menguap. Ia kembali teringat akan anak kecil yang tengah ia kejar sebelumnya. Derit pintu terdengar. Guruh dengan jelas melihat neneknya berpakaian sama seperti dahulu yakni kebaya dan bersanggul ala sinden.
"Nenek.. " ucapnya sebelum kesadarannya menghilang.
Ia kembali terbangun yang ternyata sebelumnya tertidur di atas meja. Matanya berkedip melihat jam pukul 01.00. Helaan nafas kembali ia lakukan.
"Apakah aku penderita penyakit kejiwaan hingga tak bisa membedakan halusinasi dan kenyataan?" gumamnya frustasi.
Ia membuka pintu berjalan di lorong panjang. Langkahnya terhenti ketika berada di depan kamar neneknya. Guruh terdiam untuk beberapa saat sebelum memutuskan masuk sesegera mungkin.
"Brukk!! "
Pintu tertutup rapat. Guruh melihat ruangan kotor penuh akan sarang laba-laba. Debu tebal menambah kesan terbengkalai. Ia bertanya-tanya mengapa Pak Parno tak membersihkan kamar neneknya padahal gaji yang diterima cukup besar. Lukisan Maryam Soemarmo pada saat muda yang pernah menjadi sinden terpampang jelas. Senyum alami menambah kecantikan klasik tiada banding pada waktu itu. Orang-orang memanggil sebagai Nyai Maryam Soemarmo sang Tuan tanah. Guruh terdiam melihat lukisan tersebut. Perasaan aneh mendera tubuhnya seakan memperingatkan untuk tak terkecoh.
"Pyarrrr!! "
Guruh menoleh melihat benda pecah tersenggol oleh tikus. Ia mengusap kaca riasan menggunakan sapu tangan miliknya. Bayangan dirinya terlihat jelas meskipun sekelilingnya tertutupi debu. Matanya berkedip melihat lipatan kertas di atas meja. Bercak darah kering membuat Guruh membuka secara perlahan. Kalimat "Hidupmu adalah milikku" dengan tujuan Maryam Soemarmo membuat Guruh terkejut hingga mundur menabrak dinding. Suara kayu berderit terdengar membuatnya menahan nafas.
"Tes... tes... tes... "
Guruh mendongak dan matanya melotot ketika melihat perempuan dengan kepala terbalik menjulurkan lidahnya dengan posisi merangkak di langit-langit kamar.
"Aaaaa!!!!! "
Guruh berteriak keluar kembali ke kamarnya dengan nafas tersengal-sengal. Ia begitu mengingat jelas wajah bergelambir mengerikan itu. Pintu digedor-gedor semakin keras. Guruh panik memejamkan matanya menggumamkan sesuatu.
"Aku Guruh Prayoga Atma Soemarmo cucu dari Nyai Maryam Soemarmo dan putra tunggal Wiratama Aryo Soemarmo meminta untuk berhenti mengangguku atau aku akan bertindak!" ucap Guruh di dalam hatinya.
Gedoran pintu berhenti seketika. Guruh membuka kedua matanya. Ia berbalik menghadap pintu berjalan mundur dan berbaring pelan di ranjang mengabaikan apa yang terjadi. Sebelum tidur, ia melihat kembali surat berdarah meletakkannya di atas meja dan memejamkan mata berharap semuanya baik-baik saja.
Waktu Shubuh.
Sayup-sayup suara bedug terdengar pertanda memasuki waktu shubuh. Guruh berjalan ke belakang berniat wudhu. Pancuran air mengucur dan Guruh mulai berwudhu. Kabut tebal disekeliling rumah. Suasana hening. Guruh mendengar suara aneh namun ia mengabaikannya. Sholat shubuh ditunaikan namun hal aneh terjadi begitu selesai melakukannya.
Rumah seakan berguncang. Guruh mengabaikan dan akan memulai penyelidikan hari ini. Mbok Sum berkutat di dapur menyiapkan sarapan. Guruh menengok dapur membuat Mbok Sum senang. Wajah tua renta dengan senyuman teduh meluluhkan hati Guruh. Dirinya teringat akan neneknya.
"Eh... Mbok lagi nyiapin makanan. Disini banyak asap takut Tuan tidak nyaman, " ucapnya ramah mengusap kedua telapak tangan pada jarik lusuh dan menghampiri Guruh.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat bagaimana suasana dapur, " balas Guruh.
Bau harum tercium. Hidangan singkong bakar dan pisang rebus tersaji di atas kursi kayu. Guruh memiliki minat. Mbok Sum tersadar dan buru-buru memberikannya kepada Guruh.
"Ini, Mbok rebus pisang dan Pak Parno membakar singkong. Ini buat sarapan, " ucapnya.
Guruh menerima hidangan tersebut dan duduk di kursi kayu melihat Mbok Sum tengah mengaduk beras yang dipanaskan. Ia mengambil cangkir mengambil air beras masak dan memberikannya kepada Guruh.
"Ini air tajin biar tambah kenyang, " ucap Mbok Sum.
Guruh tersenyum. Udara dingin menyantap singkong bakar di depan perapian adalah hal menyenangkan yang tak ia temui di kota. Kabut turun membuat kawasan di sekitar gunung tertutup. Guruh melihat ke luar jendela. Dibalik pepohonan rimbun, ia merenung memikirkan kejadian yang ia alami semalam.
"Mbok, kenapa nenek tidak membiarkanku tinggal dimari. Disaat akhir hayatnya baru memperbolehkannya, " tanya Guruh.
Mbok Sum yang tengah menampi beras seketika berhenti ketika mendengar pertanyaan Guruh.
"Tuan ingin tahu? " ucapnya mengulangi pertanyaan.
Guruh menganggukkan kepala. Mbok Sum mengambil kursi kecil membenarkan jariknya sebelum duduk. Ia menatap Guruh seperkian detik.
"Terlalu banyak kenangan pahit, " ucap Mbok Sum singkat.
"Aku telah dewasa dan tak seharusnya ada yang disembunyikan. Aku menemukan sesuatu di kamar nenek, " balas Guruh.
Mbok Sum terhenyak dan hendak berbicara namun Pak Parno datang dengan kaos serta celana pendek.
"Sum.. Aku mau pergi agak jauh, " ucap Pak Parno melintas di depan Guruh dan menoleh sesaat.
Mbok Sum menganggukkan kepala. Pak Parno berpesan untuk tak berkeliaran di desa saat kabut tebal masih menyelimuti desa.
"Ada apa Mbok memangnya? " tanya Guruh.
"Akhir-akhir ini orang desa yang berkeliaran disaat kabut tebal maka akan mati dengan kepala terpenggal entah dimana, " jawab Mbok Sum.
"Tapi Pak Parno? " ucap Guruh.
"Tenang saja. Orang kepercayaan Nyai tidak sembarang orang termasuk Pak Parno, " balas Mbok Sum.
Kabut semakin tebal dan Guruh tak sabar ingin berkeliling desa. Ia berjalan-jalan di kawasan kediaman melihat beberapa bagian bangunan pendukung. Ornamen jati mendominasi. Lampu lentera di langit menyala menerangi ruangan. Guruh terhenti ketika melihat lukisan mural di sebuah bentangan kain putih.
"Ini bale yang dimaksud sebagai tempat pertemuan seluruh anggota keluarga pada saat itu? " gumamnya kagum akan keindahan detail ornamen.
Guruh duduk di kursi yang berada paling tengah. Dirinya menghadap ke arah barat.
"Ada apa di balik kematian keluarga ku? " gumamnya bingung.
Ingatannya seakan ditutupi oleh sesuatu. Nyai Maryam Soemarmo membawa Guruh pergi dari rumah pada saat kekacauan terjadi.
Guruh beranjak berdiri setelah puas menikmati keindahan bale. Ia berjalan-jalan tanpa tahu arah tujuan. Suara seseorang menyapu terdengar membuatnya mendekat.
"Siapa Dia? "
Seorang wanita muda tengah menyapu halaman belakang disamping sebuah rumah yang masih dalam satu kawasan.
"Siapa Anda, aku tak pernah melihatmu? " tanya Guruh.
Perempuan tersebut menghentikan kegiatannya. Perlahan-lahan berbalik membuat Guruh melotot terkejut. Kedua matanya menghilang dengan bekas luka sayatan di lehernya.
"Kraakkk...."
"Glubukkk"
Guruh segera berlari menuju hutan tanpa tahu arah. Ketakutan melanda dirinya ketika melihat kepala jatuh tepat dihadapannya.
"Brukkk!! "
Guruh menabrak pohon hingga terjatuh. Kepalanya berdarah. Suara-suara aneh seketika bermunculan menggema. Bau amis semerbak tercium. Darah merah menetes di tanah. Guruh menunduk dan melihat sepasang kaki berdiri di hadapannya. Pada saat ia mendongak, kesadarannya menghilang.
Bau kemenyan begitu menyengat membangunkan Guruh. Ia reflek menyentuh kepala mengecek keadaan namun dirinya terkejut ketika tak mendapati luka darah.
"Krieeet.... "
Seseorang membuka pintu. Guruh mengenalinya dan dia adalah pak Yoto.
"Ini diminum biar enakan, " ucapnya menyerahkan semangkuk obat.
Guruh menegak habis ramuan tersebut dan merasakan lega.
"Kabut tebal tak akan hilang hingga sore karena hari ini adalah hari terkutuk dalam seminggu. Kematian mereka yang terkutuk, " ucap pak Yoto.
Guruh bingung akan ucapan pak Yoto hingga dirinya tersadar bahwa postur tubuh pak Yoto berbeda dari pertama kali bertemu.
"Maksudnya? " tanya Guruh.
"Aku adalah mantan pelayan kediaman Soemarmo begitupun dengan mereka. Dan karena kau adalah cucu Nyai, aku akan membantu mengingat masa lalumu menyatukan kepingan puzzle ingatanmu, " jawab Pak Yoto mengambil senter dan membuka pintu belakang.
Guruh berdiri mengikutinya dari belakang. Kabut semakin tebal. Pohon-pohon seakan memiliki mata membuat Guruh tak nyaman. Sesekali ia mencium bau busuk serta gosong.
"Abaikan saja, " ucap Pak Yoto.
Guruh menelan ludah ketika melihat sekilas wajah gosong serta lendir hijau mengalir dari wajah mereka dengan jain lusuh membungkusnya. Pak Yoto berhenti begitupun dengan Guruh.
"Anggap dirimu buta dan tuli ketika berjalan mulai saat ini hingga aku berbicara untuk berhenti, " ucap pak Yoto.
Guruh bingung namun ia menurutinya. Pak Yoto memimpin jalan. Mereka memasuki kawasan dimana pohon beringin kembar sebagai pintu gerbang. Guruh mulai mendengar suara-suara aneh layaknya angin tengah berbisik. Hawa dingin mendera tubuhnya membuat bulu kuduknya berdiri. Campuran bau aneh membuat Guruh merasa tak nyaman. Dirinya tak berani membuka mata.
"Buka kedua matamu namun jangan berbalik ke belakang atau kau menyesal, " ucap pak Yoto.
Guruh membuka kedua matanya. Ia terpana melihat pintu kayu besar penuh akan relief misterius.
"Glubuk... "
Guruh terjatuh ketika kakinya tergelincir. Ia mengaduh tanpa sadar menoleh ke belakang dan melihat puluhan pocong berada di balik pohon mengintip dirinya.
"Abaikan mereka, kita masuk ke dalam, " ucap pak Yoto.
Guruh mengikuti pak Yoto masuk ke dalam rumah. Rumah dua lantai dengan tangga kayu jenjang menjadi pemandangan awal.
"Ini adalah tempat awal keluarga Soemarmo berada dan menjadi bagian kelam sejarah lampau dimasa lalu. Tersembunyi dibalik hutan larangan dan memiliki gerbang pohon beringin kembar sebagai pintu dua alam. Soemarmo Sosrokartidjo membuat janji kepada iblis membuatnya dilimpahi kekayaan tiada habisnya dengan ganti keluarganya dikutuk menjadi pengikut iblis, "ucap pak Yoto.
Guruh benar-benar terkejut akan kegilaan terjadi. Ia melihat bercak darah kering yang ada pada lantai kayu menjadi bukti kekejaman di masa lalu.
" Mereka yang mati ditangan peliharaan Tuan adalah pocong-pocong yang berada di depan. Darah membasuh tubuh memberikan sumber kekayaan tiada habisnya. Nyai Maryam mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan mu, "ucap pak Yoto berbalik menyenteri sebuah lukisan keluarga lengkap.
Guruh seakan tak asing dengan anak kecil yang berada di pangkuan seorang perempuan muda manis yang merupakan ibundanya sendiri.
" Lukisan keluarga lengkap Soemarmo berada di mari. Anak kecil yang sering engkau lihat di dalam mimpimu adalah kau sendiri yang menunggu untuk dibebaskan di masa lalu. Bukankah kau sering mencium bau apek dan wangi? "ucap pak Yoto diangguki oleh Guruh.
" Itu adalah peliharaan kakek mu dan Dia yang berbau wangi merupakan penjagamu dari garis ibu"
Guruh memiliki sedikit informasi mengenai masa lalu keluarganya. Angin berhembus kencang membuka seluruh pintu hingga jendela. Pandangan pak Yoto seketika berubah.
"Dia datang kembali menagih janji, "ucapnya serius.
Suara seperti orang berlari terdengar diseluruh rumah. Pak Yoto mendongak ke atas melihat rambut menjuntai hingga mencapai lantai.
" Ratu hutan mati datang melindungimu. Mereka bertarung di luar"
Pak Yoto menaiki anak tangga membuka ruangan yang terkunci. Beberapa kali ia mendobrak memperlancar kuncinya masuk.
"Brakk!! "
Pak Yoto mengobrak-abrik seakan mencari sesuatu. Guruh kebingungan dibuatnya.
"Bapak mencari apa? " tanya Guruh.
"Mustika hijau untuk menghilangkan kabut mati yang menyelimuti perkampungan atau seluruh orang binasa cepat atau lambat, " jawab Pak Yoto.
"Mustika hijau? " gumam Guruh mengingat-ngingat sesuatu.
Dirinya meraba tubuhnya sendiri mencari benda yang ia simpan. Guruh mengambil sesuatu dari sakunya menunjukkannya kepada pak Yoto.
"Ini mustika hijau! Ternyata Nyai memberikannya kepadamu. Syukurlah usahaku tak sia-sia, " ucap Pak Yoto bahagia.
Ia mengambil pisau kecil menggores jemari Guruh memintanya untuk meneteskan darahnya ke atas mustika hijau. Seketika cahaya hijau bersinar terang disusul dengan atap sebagian rumah roboh.
"Aku menyegel kabut mati ke dalam mustika ini dengan darah keturunan Tuan Soemarmo Sosrokartidjo, " ucap Pak Yoto.
Rumah seakan bergetar. Guruh melihat rambut hitam menjalar memenuhi dinding rumah. Ia mendongak ke atas melihat perempuan tua menatap nyalang ke atas.
"Sebenarnya apa yang harus aku lakukan? " tanya Guruh.
"Membebaskan seluruh warga dari cengkraman iblis dan hanya kau yang bisa melakukannya. Jika tidak maka pengorbanan mereka yang tak bersalah membuat darah mengalir di tanah hingga portal alam ghaib terbuka lebar. Kau harus menemukan kembali orang yang mempraktekkan ilmu hitam keluargamu. Nyai Maryam melakukan yang terbaik demi menjagamu hingga saat ini, "jawab pak Yoto.
Guruh mendengar suara berdengung hingga membuatnya pusing. Pak Yoto seketika terhenyak menutupi mata dan telinga Guruh membawanya pergi dari rumah meninggalkan keganasan pertarungan makhluk halus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!