"Hei di mana pakaianku?" Roni meraba-raba tubuhnya yang setengah tidak berpakaian. Dia sangat malu saat ini.
Elan menyodorkan jubah kelabu milik Roni. "Ini pakaianmu. Kamu sempat pingsan di sungai. Lalu aku tak sempat memakaikan kamu pakaian."
"Berikan kepadaku. Aku malu tidak berpakaian seperti ini," ujar Roni sambil menyambar jubah miliknya di tangan Elan. Lalu Roni dengan cekatan memakai baju serta rok jubahnya, dan membiarkan baju jubahnya terbuka sehingga terlihat perutnya yang sedikit berotot.
"Kita berdua sudah terbiasa melihatmu tanpa pakaian saat mandi di sungai. Lalu kenapa tiba-tiba kamu malu?" ejek Elan sambil memutar kedua bola matanya.
"Hei, bukan itu yang aku maksud. Aku malu karena tidak berpakaian di depan Tuan tadi," ujar Roni mengelak.
"Kamu pingsan, Tuan tadi sudah mengerti kenapa kamu tidak berpakaian," jelas Evelyn yang mencoba menenangkan Roni. "Elan menjelaskan jika kamu pingsan setelah berenang di sungai." Lanjutnya seraya menunjuk Elan.
"Baiklah, aku percaya pada kalian. Setidaknya Tuan tadi bukan seorang perempuan dewasa," jawab Roni. "Setidaknya aku tidak terlalu malu karena dilihat wanita dewasa."
"Mari kita pulang, sebelum hari semakin malam. Ini keranjang buahmu, aku yang membawanya tadi." Evelyn menyerahkan keranjang buah milik Roni yang sudah kosong.
"Terimakasih Evelyn," balas Roni sambil mengambil keranjangnya di tangan Evelyn.
"Bukankah seharusnya kamu juga berterimakasih kepadaku, aku sudah membawa pakaianmu dengan ikhlas." Elan menyahut karena menurutnya Roni tidak bersikap adil kepadanya.
Seketika Roni tertawa, "Hahah, terimakasih kawan. Aku tak sempat mengucapkan terimakasih karena tadi aku panik."
Evelyn dan Elan pun tertawa sebab ucapan Roni yang jenaka. "Sudahlah, ayo kita pulang. Aku sudah lapar," ucap Elan sambil berjalan melewati jalan setapak yang menghubungkan ke arah perkampungan tempat tinggal rakyat jelata.
"Hei tunggu!" teriak Evelyn lalu mengejar langkah Elan. Roni ikut berlari di belakang Evelyn.
Roni sekarang berjalan di samping Evelyn, kemudian ia bercerita, "Aku ingat, sebelum aku pingsan. Aku bisa mengendalikan air. Tapi rasa-rasanya mana mungkin aku punya kekuatan."
"Mungkin kamu hanya halusinasi saja," sahut Elan yang tidak ingin membuat Roni mempercayai kekuatannya. Sejujurnya Elan juga tidak menyangka bahwa Roni mempunyai kekuatan sihir yang ajaib. Kemungkinan yang pertama, itu hanya suatu kebetulan. Kemungkinan yang kedua, Roni memang mempunyai kekuatan sihir. Tetapi yang pasti Elan tetap percaya pada opsi yang pertama bahwa Roni bisa mengendalikan air hanya suatu kebetulan saja, artinya tidak benar-benar dilakukan secara sadar.
"Kemungkinan seperti itu," balas Evelyn.
"Tapi aku merasa itu nyata sekali. Dan aku tidak berhalusinasi," jawab Roni sambil mengingat-ingat kejadian yang di luar dugaannya itu.
"Kamu hanya sedang lelah." Elan lagi-lagi berusaha meyakinkan Roni bahwa kejadian tadi siang saat di sungai tidak benar-benar nyata.
"Mungkin." Roni mengangkat kedua bahunya seraya menggeleng pelan. Ia ingin mempercayai keajaiban pada dirinya, tapi hatinya mengatakan ragu-ragu bahwa ia memang mempunyai kekuatan sihir. Entahlah, Roni akan mencari tahu sendiri tentang kemampuannya yang ajaib tanpa mengikutsertakan Elan ataupun Evelyn.
"Tidak usah memikirkan hal itu, sekarang mari kita pulang. Hari sudah semakin malam," ujar Evelyn yang berjalan di depan kedua laki-laki di belakangnya.
Evelyn dan Elan sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggal Roni yang berjalan seorang diri melewati jalan setapak yang menghubungkan ke arah rumahnya. Beberapa meter lagi ia akan sampai di rumah. Tetapi Roni seakan tidak bahagia, raut wajahnya menunjukkan kegelisahan, penyebabnya karena ibunya yang selalu marah kepadanya. Lihat saja, setelah ini pasti Roni akan mendapat omelan dari ibunya.
"Kemana saja? Kenapa baru pulang!?"
Benar dugaannya, baru saja Roni berdiri di depan pintu, ibunya sudah menyambutnya dengan omelan.
"Maaf, Bu, aku--." Roni tak melanjutkan perkataannya, tiba-tiba ibunya menyambar keranjang buah di tangannya.
"Di mana uang hasil kamu berdagang? Berikan sama Ibu," ucap ibunya dengan kasar.
"Ini Bu. Tapi Ibu bisa sisakan sedikit untuk aku?" ujar Roni dengan ekspresi memelas. Lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku rok jubahnya.
"Enak saja, tidak bisa. Ini uang Ibu," balas Rosmala sembari menyabet uang dari tangan Roni. Kemudian Rosmala berlalu pergi dan masuk ke kamarnya.
Menghela napas berat, Roni ingin mencegah ibunya tapi ragu-ragu. Ia begitu takut dan tak berani melawan ibunya. Bagaimana pun juga ibunya yang telah melahirkannya. Akhirnya Roni masuk ke rumah dalam keadaan letih dan pasrah. Remaja laki-laki itu melepas baju jubahnya dan hanya memakai rok jubahnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ibu Roni bernama Rosmala. Wanita yang selalu bersikap kasar semenjak kepergian suaminya tiga belas tahun yang lalu. Bahkan saat Roni masih berumur tiga tahun, Rosmala sering memarahi Roni karena hal sepele, seperti saat Roni tak sengaja menumpahkan air minumnya. Rosmala juga sering frustrasi tiap kali mengingat suaminya yang begitu ia cintai. Dulu hidupnya terjamin dengan layak dan sederajat dengan bangsawan, karena suaminya berkerja di dalam lingkungan kerajaan sebagai seorang prajurit. Akan tetapi takdir berkata lain, saat di medan perang, suaminya gugur dalam peperangan dan membuat Rosmala menangis selama berhari-hari, dan waktu itu Roni masih berumur dua tahun. Rosmala mungkin tidak bisa mengikhlaskan kepergian suaminya hingga saat ini. Amarahnya selalu dilampiaskan kepada Roni, anak laki-laki satu-satunya. Terlebih saat ekonominya turun drastis sejak kepergian suaminya, Rosmala dan Roni diasingkan ke pinggiran kota oleh prajurit kerajaan atas perintah Raja Aric yang kejam, Rosmala menjadi semakin frustrasi.
Roni keluar kamar mandi dalam keadaan setengah telanjang atau telanjang dada. Ia sudah mandi, tubuhnya jadi segar kembali. Kemudian ia pergi ke dapur untuk makan. Meski selalu bersikap kasar kepadanya, tapi Rosmala tidak akan membiarkan anaknya kelaparan. Ia tetap memasakkan makanan untuk anaknya walaupun hanya sekedarnya.
"Malam ini kamu makan singkong saja," ucap Rosmala saat melihat anaknya masuk ke dapur. "Beras sudah habis. Uang hasil berdagang kamu, besok Ibu belikan beras."
"Iya Bu." Roni mengangguk dan tersenyum. Lalu remaja laki-laki itu mengambil singkong yang berukuran besar agar puas untuk mengganjal perutnya yang meronta-ronta.
Sementara Roni makan di dapur. Rosmala pergi ke gudang untuk mengecek persediaan mangga yang besok akan dijual kembali. Banyak mangga yang masih muda dan belum matang. Sebagian kecil sudah layu dan tidak layak dijual, Rosmala memilah-milah buah mangga mana saja yang layak dijual, dimakan sendiri, dan yang masih mentah. Untuk mangga yang sudah layu atau terlalu matang, Rosmala akan memberikannya kepada Roni untuk dimakan sendiri.
Selesai memilah-milah buah mangga, Rosmala mengambil dua buah mangga yang terlalu matang, membawanya ke dapur lalu diberikan kepada Roni. Walaupun sudah layu tapi tetap layak dimakan. Rosmala tidak ingin rugi dan mubazir karena membuang-buang buah mangga dari hasil kebunnya. Lebih baik diberikan kepada anaknya.
"Ini ada buah mangga yang sudah layu, kamu makan sendiri saja, Ibu sudah bosan memakannya," ujar Rosmala sembari menaruh dua buah mangga di atas meja, tepat di samping Roni.
"Terimakasih, Bu." Roni tersenyum senang. Hampir setiap hari ia makan buah mangga tapi ia tak pernah bosan. Buah mangga adalah favoritnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Rosmala berlalu pergi ke kamarnya.
Roni selesai memakan dua buah singkong yang berukuran besar-besar, sekarang perutnya sudah cukup kenyang. "Syukurlah, aku kenyang," ucapnya. Kemudian ia minum air putih dari dalam kendi. Air putih yang segar membuatnya lega.
Usai makan dan minum, Roni berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian. Pakaian Roni bermodel seperti jubah ala-ala hanbok. Yang mana pada bagian baju hanya berupa kain lebar dan panjang untuk menutupi tubuh bagian atas, termasuk kedua tangan, dan dilengkapi kain panjang untuk ikat pinggang. Sedangkan untuk bagian bawah berupa rok panjang sebatas tumit. Pakaian hanbok tidak hanya dimiliki oleh Roni tapi semua rakyat Kota Eldoria, baik raja, bangsawan, rakyat menengah ataupun jelata. Pakaian hanbok sudah menjadi ciri khas rakyat Kota Eldoria sejak kepemimpinan raja pertama Kerajaan Eldoria hingga kepemimpinan ke sepuluh, yaitu Raja Aric Shadowcaster.
Roni hanya memiliki tiga macam pakaian hanbok karena keterbatasan ekonomi. Ibunya tidak punya banyak uang untuk membelikannya jubah baru. Dari hal tersebut, Roni sering memakai satu jubah selama berhari-hari, atau saat keadaan terpaksa, ia hanya memakai penutup tubuhnya bagian bawah berupa kain lebar saat hanya di rumah. Ibunya tak mempermasalahkan hal tersebut, karena baginya Roni masih kecil walaupun sudah berusia remaja. Untuk ukuran remaja berusia lima belas tahun, Roni berbadan lebih tinggi dan besar daripada teman-teman seusianya. Badan Elan pun tak sebanding dengan badan Roni yang tinggi.
Karena bosan di dalam rumah, Roni memutuskan untuk pergi ke gubuk di belakang rumahnya sambil membawa obor sebagai penerangan. Suara jangkrik dan hewan malam saling bersahutan seakan menyemarakkan suasana malam yang sunyi. Roni memasang obor di atas gubuk. Dengan ditemani sebuah obor, ia dapat melihat keadaan kebun meskipun remang-remang. Roni termenung, memikirkan cara bagaimana agar kehidupannya menjadi layak dan tidak terus-menerus hidup dalam kekurangan. Ia kasihan kepada ibunya yang semakin tua, sedangkan dirinya semakin bertumbuh dewasa. Dan tidak mungkin ia hidup hanya menggantungkan hasil berdagang buah mangga yang tidak banyak membantu. Roni berjanji pada diri sendiri, akan berusaha untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan bisa membahagiakan ibunya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Arya00
joss, lanjutkan
2024-02-03
0
S Property
hmmmm
2024-02-03
0
rosmala~/Shy/
2023-11-10
0