"Pulang juga lo!"
Kepulangan Gayatri di sambut oleh suara omelan sang ibu karena terlambat lebih dari satu jam dari waktu yang seharusnya. Sejak mendengar suara motor Gayatri yang berhenti di depan kedai sotonya, mata wanita itu langsung membulat.
Gayatri tidak menimpali. Meski masih mengenakan seragam sekolahnya, Gayatri langsung mengambil apron, buku catatan kecil dan ballpoint. Rambut panjangnya ia ikat tinggi-tinggi dan bersiap melayani pembeli yang datang.
"Lain kali maghrib aja pulangnya biar gak kena macet. Biar gue gempor sekalian." Meski Gayatri sudah mulai bekerja, tetapi kekesalan Mira belum selesai. Tangannya sibuk mengantongi kuah soto pelanggannya.
"Pesen apa lo bang?" tanya Mira pada dua orang yang menghampiri Gayatri.
“Soto ayam dua. Gak usah pake nasi, buat di makan di rumah,” pesan seorang pria berkemeja biru, pada Gayatri.
Gayatri segera mencatatnya dan memberikan catatan itu pada sang ibu. Sang ibu membuatkan pesanan itu dan tidak lama ia berteriak, “Soto ayam dua,”
Seorang laki-laki segera menghampiri dan mengambil pesanannya sambil menukarnya dengan beberapa lembar uang.
“Makasih Aya,” seru pria itu pada Gayatri yang sedang menaruh pesanan di meja pelanggan. Gayatri hanya menoleh lalu mengangguk pelan.
Dua orang yang sedang duduk di kursi memandangi Gayatri yang menaruh pesanannya di meja. Mereka tersenyum penuh rasa ketertarikan. “Aya, lo udah punya pacar belum? Jadi mantu gue mau gak?” tanya seorang laki-laki berkepala pelontos berusia nyaris setara dengan Barkah.
“Anak lo udah punya apa sampe di tawarin ke anak gadis gue? Bisa bantu gue bayar utang gak?” sang ibu yang menyahuti, sementara Gayatri lebih memilih pergi untuk mengerjakan pekerjaan lain.
“Lah, matre amat Mpok. Zaman sekarang jangan cuma mikirin duit dan duit doang, yang penting hati senang, hidup bahagia.” Laki-laki itu menyahuti ujaran Mira.
“Gue bukan matre, tapi realistis. Anak gue tiap hari di kasih makan soto, kalau dia udah nikah, minimal di kasih makan steak lah sama laki dan mertuanya. Masa sama soto lagi. Dan itu semua di belinya pake duit!"
"Emang ada orang yang bahagia zaman sekarang tanpa duit? Kagak ada! Apa lagi jantan jaman sekarang tuh pada belagu. Cakep dikit selingkuh, punya duit dikit, selingkuh! Lebih gila lagi kagak cakep dan kagak berduit, terus kerjaannya selingkuh. Kalau mau belagu, minimal punya duit lah! Biar anak gue tetep di kasih makan.” Seorang Mira memang suka sekali berbicara blak-blakan begitu.
“Hahahahahha... kalau gitu anak Mpok mau Mpok suruh bergantung ama laki dong?” seorang laki-laki tanpa gigi balas menimpali Mira.
“Lah emang laki ngawinin anak gue buat apa? Kan harus tanggung jawab lahir batin. Kalau anak gue dikawinin cuma buat di jadiin temen tidur, mending cari j^blay aja di pinggir jalan. Kalau cuma jadi tukang masak, gak usah kawin, tinggal makan aja tiap hari di warteg. Kalau buat jadi tukang nyuci sama ngasuh anak-anaknya, cari aja pembantu. Anak gue mah gue gedein gue didik buat jadi ratu, bukan babu.”
Mira begitu semangat mengungkapkan perasaannya. Gayatri tersenyum dalam hati. Begitulah sang ibu, dibalik logat betawinya yang terkesan kasar dan ketus, sesungguhnya hatinya sangat baik. Itu mengapa Gayatri tidak pernah membantah wanita itu. Ia percaya, setiap orang tua selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, dengan caranya masing-masing.
“Astaga si Mpok, kalau ngomong suka bener dah. Bang Barkah begitu juga gak Mpok?”
“Kagak lah dia mah. Mana berani. Kalau sampe berani, gue tinggal biar nyaho.”
“Cakep Mpok!!” Dua laki-laki itu mengacungkan kedua ibu jarinya pada Mira.
“Cakep cakep aja lo bilangnya, mana bayar dulu! Terus buruan balik, anak bini lo nungguin lauk nasi tuh,” sengit wanita itu, yang membuat kedua pelanggannya terkekeh geli.
“Ya udeh Mpok, makasih ya. Semoga dapet mantu yang Mpok idam-idamkan,” timpal laki-laki itu kemudian memberikan sejumlah uang pada Mira.
“Hemh, Aamiin....” timpal Mira.
Kedua laki-laki itu pun berlalu pergi, bergantian dengan pengunjung lain yang berangsur datang. Hingga menjelang malam, Gayatri masih di meja kasir, meladeni pesanan dua orang yang tersisa. Mereka sedang melakukan pembayaran, mungkin mereka akan menjadi pelanggan terakhir karena soto sudah habis terjual.
Setelah kedua pelanggan itu pergi, Gayatri melanjutkan tugas selanjutnya, yaitu membereskan bangku-bangku, mengelap meja dan menyapu lantai. Di meja kasir ada sang ibu yang sedang menghitung pendapatan hari ini. Ia memisahkan uang berdasarkan nominalnya.
“Besok kamu bayar SPP, nih duitnya yang ini.” Mira menaruh setumpuk uang di atas meja yang di tindih dengan kotak tisue. Gayatri hanya menoleh sang ibu yang masih sibuk menghitung uangnya. Sesekali menjilat jarinya saat kesulitan memisahkan lembaran uang.
Gayatri tersenyum dalam hati melihat perhatian sang ibu. Hari ini wanita ini begitu luar biasa. Meskipun menyambutnya dengan omelan, tetapi ia membuktikan kasih sayangnya dengan tetesan keringat.
“Ibu udah beli seragam baru, besok baju itu gak usah di pake lagi. Udah belel, udah kekecilan. Kamu kayak anak cacingan.” Kalimat itu menjadi tambahan dari Mira.
Bibir Gayatri rasanya ingin mengucapkan terima kasih pada sang ibu, namun entah mengapa begitu sulit dan berat. Seperti suaranya tercekat di tenggorokan. Ia berusaha keras mengeluarkan suaranya, hingga tangannya mencengkram kain lap dengan kuat.
“Sama-sama,” imbuh wanita itu seraya melirik Gayatri. Kalimat itu ia maksudkan untuk menjawab ungkapan terima kasih sang putri dalam lubuk hatinya. Hal itu jelas terlihat dari cara Gayatri yang menatapnya.
Gadis itu menelan kembali salivanya dengan kasar dan melanjutkan untuk membereskan bangku.
‘Ting!’
Suara bell pintu berbunyi nyaring, tanda ada pengunjung yang datang.
"Sotonya udah abis. Balik lagi aja besok!" seru Mira tanpa menoleh ke pintu masuk. Ia masih sibuk menghitung pendapatannya hari ini.
Berbeda dengan Mira, Gayatri segera menoleh dan matanya membulat melihat sosok laki-laki yang berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu mengenakan jaket kulit dan memegangi helm full face di tangan kirinya.
“Aya,” ujar laki-laki itu seraya menatap Gayatri yang tampak terkejut. Gayatri tidak menimpali, ia hanya mundur beberapa langkah lalu segera berpaling. “Aya, tunggu!” laki-laki itu menahan tangan Gayatri agar tidak pergi.
“Heh, mau apa lo?! Lepasin tangan anak gue!” seru Mira seraya menghampiri sambil membawa sapu di tangannya.
Tangan Gayatri pun segera di lepaskan. Gadis segera menjauh dan pergi ke rumahnya. Meninggalkan laki-laki itu bersama sang ibu yang menantangnya dengan sebuah sapu yang bisa ia hantamkan kapan saja.
Di tempat berbeda, Shaka baru tiba di sebuah jalan berbatu dengan aspal tipis. Ilalang di tepian jalan bergoyang terkena hembusan angin malam di temani bulan yang menyala terang, kontras dengan langit malam yang gelap. Tidak ada gemintang yang terlihat, hanya kabut samar di sekitarnya yang membuat suasana malam ini terasa mencekam.
Lagi, agen itu kembali ke tempat ini untuk mencari serpihan barang bukti. Ia memperhatikan aspal yang sudah di gambari pilok berwarna putih seukuran dengan tubuh seorang remaja berusia delapan belas tahun.
Jejak bekas seretan pun masih terlihat jelas. Sekitar delapan meter tubuh itu di seret kemudian di baringkan di tepi jalan yang berkerikil tajam. Hal itu terlihat dari gesekan gesper Rasya dengan aspal kasar.
Sudah beberapa kali datang, tetapi ia belum juga menemukan petunjuk apa pun di tempat ini. Shaka bisa membayangkan, tubuh sang adik terbaring di tempatnya saat ini. Ia mencoba melihat titik ini dari berbagai sudut pandang, ia hanya bisa membayangkan dua buah sepeda motor melakukan aksi kejar-kejaran di area ini.
Dalam jarak lima meter sepeda motor di belakang menyalip, menghadang motor beberapa senti di depannya hingga membuat motor milik Rasya terjatuh, karena itu ada pecahan spion di jalanan beraspal itu.
Shaka menyenteri area itu dan menemukan pecahan spion yang ia punguti dan memasukkannya ke dalam plastik. Tidak jauh dari tempatnya, ada bekas cat motor yang menempel di permukaan jalan. Berwarna biru dan putih seperti cat motor Rasya.
Setelah Rasya terjatuh, kemungkinan orang itu menyeret tubuh Rasya dan membaringkannya di tepi jalan. Ia tidak bisa mendorong tubuh Rasya ke bawah karena ada pagar kawat berduri yang menjadi pembatas jalan dengan jurang di bawah sana.
Di bawah itu adalah kebun singkong. Sudah satu bulan ini tidak ada yang berani memanennya karena masih di kelilingi garis polisi. Selain itu kematian Rasya masih di anggap menakutkan sehingga tidak ada yang berani mendekat. Sampai tempat ini, Shaka kehilangan jejak. Hanya ada tetesan darah di dedaunan yang mulai mengering dan hitam. Ia juga tidak bisa membayangkan kelanjutannya seperti apa karena tidak ada rekaman CCTV atau jejak rem di tempat ini.
Tetapi tunggu, Shaka segera berjongkok saat melihat jejak di dekat kakinya. Jejak kaki seseorang, entah jejak pihak yang mengevakuasi mayat Rasya atau pelaku. Yang jelas, ada empat buah paku payung tercecer di bawah rerumputan. Shaka memasukkannya ke dalam plastik lalu menyimpannya.
Ia juga mengambil potongan kertas yang kotor dan basah oleh tanah, namun tetap ia masukkan ke dalam plastik. Ia berharap semua hal kecil ini bisa memberi petunjuk untuk penyelidikannya. Bagi Shaka, segala hal yang terkait dengan sang adik sangatlah penting dan ia tidak akan melewatkannya sedikitpun.
Setelah mengumpulkan semuanya, Shaka terdiam di tepian jurang itu. Menatap nanar daun singkong yang meliuk-liuk terkena hembusan angin malam. Rambutnya yang gondrong ia guyar begitu saja, ikut menari bersama hembusan angin. Tatapannya yang semula nanar ini, beralih menatap langit malam yang seperti melengkung turun di kejauhan sana. Rembulan yang meneranginya, seolah merefleksikan wajah Rasya yang tersenyum padanya.
“Aku merindukanmu,” gumam Shaka dengan mata merah dan berkaca-kaca. Entah kapan ia bisa menemukan pelaku pembunuhan adiknya?
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Tia rabbani
apakah yg datang menemui Gayatri orang yang membunuh rasya?
2023-12-26
0
Bunda dinna
Semoga Shaka segera mendapat petunjuk dari apa pun dan dari mana pun
2023-08-27
0
k4g
pastiii bisaaa
2023-08-27
1