Pelajaran sejarah, selalu menjadi mata pelajaran favorit Shaka. Berbagai peristiwa penting sudah ia hafal di luar kepala. Bagaimana tidak, laki-laki ini dididik bersama sejarah negara ini. Ia tumbuh bersama moment bersejarah yang selalu di ceritakan setiap kali masuk kelas saat ia tinggal di mes. Ia mengetahui banyak sejarah yang jarang di ketahui siswa lainnya. Di kelasnya, nilai Shaka sempurna untuk mata pelajaran yang satu ini.
Seperti saat ini, di depan kelas guru sejarahnya sedang menjelaskan tentang Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959). Ini sih sangat mudah untuk Shaka. Saat teman-temannya hanya bisa menguap, laki-laki ini malah merasa bernostalgia dengan materi tersebut. Ia membayangkan dirinya menjadi salah satu tokoh pahlawan yang hadir pada era itu.
“Perlu kalian tau bahwa, era demokrasi parlementer adalah masa ketika pemerintah Indonesia menggunakan UUDS 1950 atau Undang-Undang Dasar Sementara sebagai undang-undang negara dan sistem pemerintahan parlementer. Artinya, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen yaitu DPR, bukan kepada presiden. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri, sementara itu presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara saja.”
“Masa Demokrasi Parlementer disebut pula masa Demokrasi Liberal karena sistem politik dan ekonomi yang berlaku menggunakan prinsip-prinsip liberal. Catat dalam buku kalian, masa ini berlangsung mulai 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Ingat baik-baik tanggal itu ya, itu akan ada di ujian kalian minggu depan.”
Guru pria itu mengetuk meja paling depan hingga para siswa terhenyak. Mata sipit di balik kacamata tebal itu menatap setiap wajah siswanya yang terlihat tidak tertarik dengan materi yang disampaikannya. Hanya satu orang yang tampak menyimak penjabarannya, yaitu Shaka.
“Ada yang tau kejadian khas apa yang terjadi pada kabinet di era tersebut?” pria itu bertanya untuk memancing siswanya.
Shaka langsung mengangkat tangannya. “Ya, okey, apa yang kamu tau tentang era itu? Kalau jawaban kamu benar, minggu depan kamu gak usah ikut ujian.” Guru itu tampak semangat memberikan tantangan.
Shaka tersenyum bangga, ia menjawab dengan santai pertanyaan yang sudah sangat sering ia dengar itu. "Pada zaman Demokrasi Liberal atau kita sebut Parlementer itu, kabinet-kabinet yang mengelola pemerintahan sehari-hari tidak berumur panjang, karena di tengah jalan dijatuhkan oleh Mosi Tidak Percaya oleh partai-partai politik yang ada di Parlemen DPR, sampai saat ini, Mosi tidak percaya itu masih menjadi trend yang biasa dilakukan di dalam kancah perpolitikan,” jawab Shaka dengan penuh percaya diri.
“Good! 100 buat kamu. Siapa nama kamu?” Guru itu menunjuk Shaka lalu mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Siap! Shaka Praditya!” jawabnya dengan suara bassnya yang bergema.
“Uuuuhhhh... kereeenn....” para gadis bersorak kagum pada Shaka. Laki-laki ini terlihat semakin memesona saja. Rupanya ia tidak sadar kalau ia bukan sedang ada di kelas militer, melainkan di kelas XII IPS 1.
“Shaka, aku padamu!” seru Indah seraya memberikan lambang hati pada Shaka, di sambut suara riuh uuuuuu siswi di kelas itu. Tidak rela pick me girl itu menguasai seorang Shaka sendirian.
“Okey, sudah, jawabannya betul ya. Jadi, minggu depan Shaka tidak usah ikut ujian.” Guru itu menulis catatan pada bukunya. Para siswa bertepuk tangan bangga atas kemampuan Shaka menjawab dengan benar pertanyaan tersebut. Sementara Shaka hanya mengangguk sopan pada teman-temannya sambil menyilangkan tangan kanan di dada.
“Buat yang lainnya, saya ada tugas untuk kalian,”
“Uuuuuuuu....” seru siswa kelas itu sambil menunjukkan jempolnya ke bawah.
“Tenang dulu. Tugasnya mudah kok. Kalian cukup buat artikel tentang mosi tidak percaya. Bahannya, boleh dari perpus atau dari internet. Yang jelas harus tulis tangan. Ingat pepatah konfusius, saya melihat saya lupa, saya mendengar saya ingat, saya melakukan dan saya mengerti. Lalu satu lagi, saya menulis maka saya ada. Itu prinsipnya. Di kumpulkan senin depan. Terima kasih, selamat siang!” tutup guru tersebut bertepatan dengan bunyi bell tanda berakhirnya jam pelajaran.
“Yaaa, tugas lagi aja. Males gue, tugasnya ngadi-ngadi,” keluh Indah seraya mengipas-ngipasi wajahnya yang terasa gerah.
“Tugas lo bilang ngadi-ngadi, emang lo ke sekolah mau ngapain maemunah?!” ledek salah satu siswa yang mendengar keluhan Indah.
“Lo ngeledek boleh, tapi jangan bawa-bawa nama nenek gue anjir!” Rima memukul lengan siswa itu dengan kesal, karena nama neneknya di sebut.
“Wih sorry, mana gue tau kalau nama nenek lo maemunah.” Siswa itu mengusap-usap tangannya yang di pukul Rima dengan cukup keras.
“Awas lo kalau sekali lagi nyebut nama nenek gue!” ancam gadis itu seraya mengacungkan kepalnya.
“Iyaa kagak! Lain kali gue ganti sama munaroh.”
“itu kakaknya nenek gueeee!!!” teriak Rima semakin kesal.
“Hahahaha... iyaa sorry lagi deh. Ampun dah gue! Lain kali gue sebut Britney! Hahahahaha....” Remaja itu pun segera keluar kelas untuk istirahat.
“Mau gue bantuin gak nyari materinya?” tanya Shaka yang tiba-tiba menengadahkan kepalanya ke belakang, berada tepat di atas meja Gayatri. Ia yakin penawaran ini akan diterima dengan baik oleh Gayatri.
Seperti biasa, gadis itu tidak menimpali. “Heemmh, kayaknya Pak Sudrajat lupa satu lagi pepatah konfusius, saya bertanya seharusnya saya di jawab. Iya gak sih, Aya?” sindir Shaka seraya bersenyum lebar.
BUK!
Bukannya menjawab, Gayatri malah memukulkan bukunya di atas meja, persis di samping telinga Shaka. Niatnya sih untuk merapikan buku di tangannya.
“Anjaaayyy, kuping gue Ayaaa... sampe kaget gendangnya.” Shaka segera bangkit dan mengusap-usap telinganya yang terasa penuh oleh suara yang tiba-tiba tadi. “Lo gak kira-kira, otak gue sampe ikutan terguncang. Gimana kalau gue jadi bego? Tar gak ada lagi yang suka sama gue,” imbuh Shaka yang masih menggerutu sambil menegakkan tubuhnya.
Gayatri tidak memperdulikannya. Ia beranjak dari tempatnya dan menuju perpustakaan. Ia membutuhkan tempat yang hening dan tenang. Berada di dekat Shaka terlalu berisik.
“Gila, dia maen pergi aja. Saya salah kan harusnya saya minta maaf. Kenapa sih dia selalu pergi tanpa pamit?” Shaka ikut beranjak dari tempatnya. Ia mengikuti Gayatri yang sedang menuju perpustakaan. Ia merasa kalau gadis itu berhutang sebuah permintaan maaf.
Baru beberapa langkah ia berjalan, ia berhenti lagi tepat di depan sebuah ruangan. Ruangan itu selalu membuat Shaka penasaran. Ruan arsip, sebuah ruangan tertutup dan selalu terkunci dan berada tepat di samping ruang kepala sekolah.
Kali ini pintunya sedikit terbuka dan membuat Shaka ingin mengintipnya. Ruangan ini sepertinya tempat yang perlu ia datangi. Ia berharap di ruangan ini ia bisa menemukan banyak hal penting yang selama ini ia cari.
Shaka memutuskan untuk masuk ke ruangan ini. Sebelumnya ia memperhatikan lingkungan sekitarnya untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Setelah yakin tidak ada satu orang pun yang melihatnya, Shaka segera masuk. Menutup pintu itu dengan pelan.
Di dalam ruang arsip, ia melihat banyak rak besi yang berjejer. Ia menggunakan senter dari ponselnya untuk melihat seisi ruangan itu. Rak pertama ia hampiri, ada deretan berkas yang tersusun rapi. Satu berkas ia ambil dan ternyata ini arsip siswa delapan tahun lalu. Shaka memperhatikan label tahun yang tertulis di rak tersebut, berharap ia bisa menemukan arsip Rasya dan teman-temannya.
Berjalan terus ke sebelah kiri dan sesekali menyenteri rak atas juga bawah. Semakin ke kiri angka tahunnya semakin lampau. “Kayaknya bukan rak yang ini,” gumam Shaka. Ia semakin serius mencari.
Berpindah dari satu rak ke rak lain. Ia baru sadar kalau ternyata satu rak berisi satu angkatan siswa yang terbagi dalam tiga jurusan berbeda. Peer Shaka lumayan banyak karena urutan tahun di tempatkan tidak berurutan.
“Akh sial, mana sih urutan dua tahun terakhir?” Shaka semakin masuk ke dalam ruang arsip di kelilingi oleh rak-rak besar. Ia meneruskan pencarian sampai kemudian ia mendengar suara pintu berderit.
“Siapa di dalam?” sebuah suara laki-laki mengagetkan Shaka. Laki-laki itu bertanya setelah melihat ada cahaya senter di dalam ruangan yang gelap ini.
“Miiaauu, miiaaauu... di mana kamu kucing?” tanya Shaka, seolah sedang mencari kucing.
Tiba-tiba lampu di nyalakan dan menerangi seisi ruangan. Seorang laki-laki bertubuh jangkung terlihat di depan pintu. “Nyari apa kamu?” tanya laki-laki itu pada Shaka.
“Maaf Pak, tadi ada kuncing masuk ke sini, saya cari gak ada. Kayaknya sembunyi Pak.” Shaka beralasan dengan cepat.
“Yang benar kamu? Ruangan ini di larang di masuki, termasuk oleh siswa. Harusnya kamu tidak masuk ke sini. Cepat keluar!” Shaka baru ingat kalau laki-laki itu adalah guru BK nya.
“Iya Pak, maaf. Tapi gimana kalau kucingnya pipis sembarangan dan kena berkas? Apa nggak akan jadi masalah?” Terpaksa Shaka keluar dari kungkungan berkas di sekelilingnya dan menghampiri laki-laki itu.
“Itu urusan saya. Sekarang kamu keluar, sebelum kepala sekolah tau dan kamu di hukum.”
“Oh, baik Pak. Nanti kalau kucingnya ketemu, tolong kasih ke saya ya Pak. Kayaknya itu kucing ras angora yang dihamili oleh kucing kampung. Bulunya lebat tapi kelakuannya laknat, gak ada kalem-kalemnya sama sekali.” Shaka terpaksa berbohong dan mengada-ngada.
“Iya, nanti saya kasih tau. Kelas mana kamu?” Sepertinya laki-laki ini percaya.
“Siap, XII IPS 1,” Shaka langsung sikap sempurna.
“Ya udah, sekarang kamu keluar!”
“Baik pak. Saya permisi,” sahut Shaka yang segera keluar. Laki-laki itu pun memeriksa isi ruangan dan mencari-cari kucing yang tadi sebutkan Shaka. Cukup lama ia berada di dalam, sampai kemudian ia menyerah dan keluar tanpa membawa seekor kucing pun.
Tanpa ia ketahui kalau seseorang sedang mengintipnya. Sekarang Shaka tahu, ada pada siapa kunci ruangan itu berada.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Bunda dinna
Mulai ada clue walau masih jauh
2023-08-27
1
k4g
bapak tau gak kalo bapak d kerjain? 😂😂😂
2023-08-27
2
precious
bapak d kerjain pakkk 🤣🤣🤣🤣
2023-08-27
3