Malam mulai menjelang, langit cerah sudah berganti kelam. Senja yang tadi sore menghibar di langit luas, telah tenggelam tergantikan gelapnya malam tanpa bintang-bintang. Hingga jam tidur datang, seorang Shaka masih duduk termenung di depan jendela kamarnya. Matanya belum bisa terpejam. Suasana rumah ini sepi, tetapi isi kepalanya berisik penuh hingar bingar.
Setiap kali ia sendirian di kamarnya yang luas ini, bayangan sang adik kembali muncul di benaknya. Tawanya, tingkah polosnya dan semua hal tentang remaja yang sangat ia sayangi seperti siksaan atas rasa bersalah dan kerinduannya.
Itu mengapa ia lebih suka berkeliaran di malam hari untuk mencari jejak kematian sang adik. Seperti malam ini, untuk mengusir kepenatannya, Shaka memilih pergi keluar rumah. Ia mengambil jaket kulit, helm dan kunci motornya. Ia pergi ke suatu tempat, tempat yang seminggu lalu ia datangi.
Suara mesin motor terdengar menderu, membawa bising di area garasi yang berada di bawah tanah. Sudah sebulan ini ia tinggal sendirian di rumah ini, rumah yang ia jadikan tempat tinggal selama melakukan penyamaran sebagai Shaka Praditya, anak dari seorang pebisnis sukses.
Motor sport berwarna hitam itu keluar dari sarangnya. Ia menelusuri jalanan beraspal tipis, sedikit berputar mengitari kolam air mancur di depan rumahnya lantas keluar pintu gerbang yang di jaga oleh petugas keamanan. Pria bertubuh tegap mengangguk sopan sebagai bentuk sapaan pada tuan rumahnya.
Roda berdiameter 17 inci terus berputar menggulung jalanan beraspal. Shaka sengaja melambatkan laju motornya, ia ingin menikmati udara malam yang dingin ini. Delapan tahun ia meninggalkan kota jakarta dan menempuh pendidikan yang berat di daerah terpencil lalu pindah ke luar negeri sekitar empat tahun lalu hingga berhasil menjadi agent khusus.
Banyak hal yang sudah berubah dari kota besar ini. Bangunan kokoh berderet rapi dengan lampu menyala di setiap sudut kota yang seperti tidak pernah tidur. Kota besar ini mulai tertata rapi, jauh berbeda dengan saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di ibu kota bersama sang paman.
Hah, masa itu sudah sangat lama, tetapi rasanya baru kemarin.
Puas mengarungi jalanan yang ramai, Shaka menepikan motornya ke daerah permukiman sederhana. Shaka sengaja mematikan mesin motornya agar suara bisingnya tidak mengusik mereka yang sedang beristirahat. Ada satu rumah yang lalu ia tuju.
Di depan sebuah rumah bercat oranye, motor Shaka berhenti. Rumah itu berada persis di dekat aliran sungai yang baru dilakukan pengerukan. Airnya lebih bersih di banding dahulu dan tidak lagi tercium bau menyengat sampah yang membuat mual dan pusing kepala.
Shaka membuka pintu pagar besi berkarat hingga menimbulkan suara deritan. Dari luar ia melihat sebagian gorden rumah itu masih terbuka. Bayangan seorang wanita terlihat dari luar, sedang menonton sinetron cinta-cintaan di televisi. Daun pintu jati itu pun di ketuk.
“Sebentar,” suara lembut terdengar dari dalam rumah sana. Seorang wanita berkerudung menyibak sedikit helai kain gorden untuk melihat siapa tamu yang datang. “Shaka!” seru wanita itu lantas segera membuka pintu rumahnya.
“Assalamu ‘alaikum, Tan,” sapa Shaka yang langsung mengecup tangan sang tante. Wanita ini yang selama bertahun-tahun menjaga dan membesarkan Shaka dan Rasya, setelah kedua orang tuanya meninggal.
“Wa’alaikum salam. Masuklah,” wanita itu membuka pintunya lebih lebar. Shaka segera melepas helmnya dan mendapati suasana rumah yang sepi.
“Sendirian, Tan?” tanya Shaka.
“Iya. Om kamu giliran shift malam, jadi baru berangkat jam tujuh tadi. Anak-anak udah pada tidur, katanya besok ada ulangan. Syukurlah kamu datang,” wanita itu mengusap lengan kokoh sang keponakan yang tingginya jauh melebihi tinggi tubuhnya. Sekitar 185 cm tinggi Shaka.
“Kamu udah makan?” tanya Yulita. Wanita ini adalah adik dari ibu Shaka dan Rasya.
“Udah, Tan. Aku mau ke kamar Rasya ya.”
“Iya. kamu nginep kan?”
“Iya,” sahut Shaka. Ia menaiki anak tangga menuju lantai dua, tempat kamarnya dan Rasya berada.
Di hadapannya ada sebuah kamar dengan daun pintu berwarna biru. Warnanya sudah mulai pudar, karena terakhir ia mengecatnya bersama Rasya sekitar delapan tahun lalu. Di pintu itu masih tertempel tulisan 'Don’t disturb', yang sengaja di tempel Rasya saat remaja ini sedang tidak ingin di ganggu.
Shaka memutar handle pintu kamar dan tidak lama pintu pun terbuka. Wangi parfum Rasya masih tercium di ruangan itu, Shaka menghela napasnya dalam, mencium wangi parfum yang sangat ia rindukan.
Lantas ia terduduk di kursi belajar Rasya. Memandangi tempat tidur bertingkat yang dulu ia tempati dengan Rasya. Rasya tidur di atas dan ia di bawah. Shaka menyesalkan jarangnya waktu yang ia habiskan bersama Rasya.
Shaka dan Rasya di tinggalkan oleh kedua orang tuanya sejak mereka kecil. Ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mereka meninggalkan Shaka yang baru berusia sebelas tahun dan Rasya yang baru berusia dua tahun. Karena itu mereka tinggal bersama Yulita. Di usia Rasya yang baru dua belas tahun, ia dan Rasya ikut dengan Yulita ke Jakarta.
Rasya meneruskan sekolah di kota ini, sementara Shaka masuk akademi militer. Selama menempuh pendidikan, hanya sesekali saja Shaka pulang ke rumah ini. Dan selama empat tahun berada di luar negeri, belum pernah sekalipun Shaka pulang. Tugasnya di benua Eropa terlalu berat, ia hanya bertukar kabar dengan sang adik melalui telepon atau surat.
Komunikasi mereka bisa di bilang cukup efektif walau jarang bertemu. Saat bertelepon, mereka bisa berbincang sepanjang malam, membahas tentang masa depan dan hal lain yang membuat mereka tertawa bersama. Sungguh, Shaka merindukan masa itu. Masa di mana ia dan adiknya saling menyemangati.
“Kak, aku juga nanti mau jadi agent ya. Boleh kan?” pinta Rasya suatu waktu. Saat itu Shaka tidak menjawab. Ia tahu persis kalau fisik adiknya lemah. Kakinya pernah patah saat anak itu berusia enam tahun. Ia tidak bisa menjanjikan apakah sang adik kelak bisa menjadi agent seperti dirinya atau tidak.
“Kalau kamu punya cita-cita, kejarlah dengan sungguh-sungguh. Percayalah, usaha tidak akan mengkhianati hasil.” Hanya itu yang diucapkan Shaka untuk membesarkan hati Rasya.
“Iya, aku akan bersungguh-sungguh. Nilai aku bagus semua. Aku gak pernah sampe gak masuk tiga besar di kelas. Jadi aku pasti bisa jadi agent kayak kak Shaka. Semangatt!!!” seru Rasya seraya mengepalkan tangannya, lengkap dengan suaranya yang besar karena menjelang balig.
Saat ini, Shaka hanya bisa mengusap wajahnya perlahan dan menangkupnya beberapa saat. Ingin menangis tetapi tidak ada gunanya. Lantas apa yang harus ia lakukan sekarang? Mencari informasi di sekolah Rasya tidak lah mudah. Akses untuk mendapatkan informasi benar-benar tertutup. Identitas para siswa di sembunyikan dan mereka bahkan tidak diperkenankan untuk memiliki akun media sosial. Entah sejak kapan hal itu terjadi, mungkin sejak kematian Rasya sebulan lalu.
Mengurai rasa sedih dan kehilangannya, Shaka memilih memandangi foto Rasya yang terpajang di dinding. Foto ia dengan sang adik saat Rasya mendapatkan juara debat dalam bahasa Inggris. Adiknya ini memang pintar di bidang akademis dan bahasa, Shaka selalu merasa bangga memiliki seorang Rasya. Ia ikut tersenyum melihat tawa Rasya yang penuh kebanggaan.
Ia juga iseng membuka laci meja belajar Rasya, memeriksa isinya yang ternyata kosong. Tetapi saat akan di tutup, ada sesuatu yang mengganjal. Shaka memeriksa laci itu dari bawah. Merogoh ke dalam laci karena sepertinya ada yang menghalangi. Tangannya yang lebar dan panjang menyisir bawah laci hingga kemudian ia menemukan sesuatu. Ada sebuah buku agenda di sana.
Dahi Shaka mengernyit, ia penasaran dengan buku catatan itu, mengapa harus di sembunyikan di bawah laci? Buku agenda bersampul cover kulit itu masih utuh, walau berdebu. Dibukanya satu per satu halaman lembaran kertas putih itu.
Halaman pertama Shaka disuguhkan dengan cerita Rasya dengan dirinya. Ada banyak foto yang tertempel. Moment-moment membahagiakan berdua di tulis oleh adiknya dengan tulisan yang rapi mirip tulisan para guru tempo dulu.
Shaka tersenyum haru melihat banyaknya cerita yang terrekam di agenda ini. Ia membuka halaman berikutnya. Pria muda itu dibuat terkejut oleh tulisan Rasya yang terasa asing baginya.
Matanya sampai membulat menatap setiap jalinan huruf yang adiknya tuliskan. Tulisannya tidak terlalu rapi, dilakukan dengan tergesa-gesa dan penuh emosional. Bisa Shaka bayangkan kalau saat itu sanga adik begitu kesal ketika menulis kalimat-kalimat ini.
“Apa kabar kalian, bajingan yang selalu memperlakukanku dengan kasar?
Apa hari kalian indah?
Apa tidur kalian nyenyak?
Aku harap, kalian tidak pernah menemukan ketenangan,
Seperti halnya aku yang tidak bisa tidur nyenyak setelah mendapat perundungan dari kalian.
Aku mengingat semua sikap kasar kalian.
Aku juga mengingat setiap kata yang melecehkanku.
Kalian membuat hidupku seolah berhenti, menjadikan duniaku gelap dan menakutkan.
Aku masih ingat dengan semua luka, hinaan, darah dan semua yang membuatku meringis dan menangis
Kelak, kalian yang akan merasakan itu.
Kelak, kalian yang akan ketakutan.
Kelak, kalian lah yang ingin menyerah.
Kalian akan merasakan takut seperti halnya aku.
Aku berdo’a semoga kalian tidak akan pernah bertemu dengan matahari.
Matilah! Matilah kalian dalam kebencianku!
Tunggu aku bajingan,
Aku pastikan kalian akan membayar setiap rasa sakit yang aku alami!”
Dada Shaka bergejolak merasakan perasaan sakit dan marah yang digambarkan Rasya lewat tulisannya. Laki-laki itu meremas kertas putih dengan tinta merah itu. Hatinya hancur, mendapati sang adik diperlakukan dengan tidak manusiawi.
Apa semenderita itu Rasya selama ini? Bukankah dalam suratnya ia selalu berkata kalau ia baik-baik saja? Baik-baik saja seperti apa yang sebenarnya Rasya rasakan?
Shaka terpaku, tidak bergerak. Dadanya terasa sesak dan air matanya menetes begitu saja. Rasanya ia ingin segera menemukan pelaku yang disembunyikan oleh pihak sekolah. Siapa pengecut-pengecut itu?
“Shaka,” sebuah suara terdengar dari luar sana. Cepat-cepat Shaka menghapus air matanya.
“Iya, Tan,” sahutnya dengan suara berat dan serak.
Yulita segera menghampiri sang keponakan, lantas menangkup wajah lelaki muda itu. Ia melihat mata Shaka yang merah dan basah. Tubuh Shaka bergetar karena tangisnya yang pecah, ia tidak bisa menyembunyikan lagi kesedihannya, terlebih setelah ia membaca pesan kematian Rasya.
“Mereka membunuh Rasya, mereka membunuh Rasya!” dengus Shaka dengan suara berat sambil menangis.
Yulita tidak menimpali. Ia lebih memilih memeluk Shaka yang kesulitan untuk berbicara. Ia biarkan pria muda itu menumpahkan semua kesedihannya. Ia merasakan tangan Shaka yang mengepal di punggungnya, penuh rasa marah. Tidak ada yang bisa Yulita lakukan selain membiarkan amarah Shaka menguap bersama air matanya.
“Siapa pelakunya Tan, coba katakan. Siapa yang membully Rasya?” suara Shaka terbata-bata.
Yulita melepaskan pelukannya beberapa saat, ia menatap lekat wajah merah padam itu lalu mengusapnya. Lantas ia menggeleng. “Tante juga nggak tau,” ucap Yulita dengan terbata-bata.
“Bagaimana mungkin tante gak tau! Tante yang selama ini ada di dekat Rasya!” Emosi Shaka meledak. Ia berdiri dan berkacak pinggang lantas meninju meja belajar Rasya hingga retak. Yulita terhenyak sampai menutup kedua telinganya.
“Polisi gak menemukan apa pun, Shaka. Mayat Rasya ditemukan tergeletak di pinggir jalan dengan luka tusukan di perutnya. Tante bertanya pada polisi dan mereka menyatakan kalau ini kasus penyerangan. Tidak ada saksi mata, tidak ada bukti. Pisau yang digunakan untuk menyerangpun tidak meninggalkan sidik jari.”
“Tante juga datang ke sekolahnya. Tante bertanya pada semua guru dan siswa, tetapi tidak ada yang menjawab. Mereka semua bungkam, seolah sudah diberi perintah untuk tidak membahas apa pun. Mereka bahkan tidak mau membicarakan masalah kematian Rasya."
"Ini aneh, tante tidak menemukan bukti apa pun. Pihak sekolah benar-benar diam, orang tua murid juga sama. Lantas tante bisa apa? Tante bisa apa, Shaka?” tanya wanita itu yang kemudian menangis sejadinya.
Memegangi lengan kokoh Shaka yang ia guncang-guncang. Tubuhnya terasa lemah setiap kali mengingat sulitnya mencari fakta kematian sang keponakan. Ia terduduk lesu di atas lantai. Mengulang cerita ini pada Shaka seolah mengulang rasa sakit saat mengetahui Rasya pergi. Sangat perih dan sangat sakit.
Tidak hanya Shaka yang kehilangan seorang Rasya yang baik, melainkan Yulita juga keluarganya. Kehilangan Rasya sama sakitnya seperti kehilangan anak kandungnya sendiri.
Shaka tidak menimpali ujaran Yulita. Ia membuka halaman agenda berikutnya. Dan hal mengejutkan lainnya ia temukan. Ada sebuah foto yang tertempel di sana. Foto Rasya dengan seorang gadis. Gadis yang sering ia temui.
“Tante kenal gadis ini?” tanya Shaka.
Yulita pun mendongak, melihat foto yang ditunjukkan Shaka. “Ya, tante pernah melihat beberapa kali Rasya melakukan panggilan video dengan gadis itu, sepertinya mereka berteman dengan cukup dekat,” ujar Yulita dengan penuh keyakinan.
Shaka tidak lagi berbicara. Ia menatap lekat wajah gadis di foto itu. Wajah yang ternyata bisa tersenyum saat bersama adiknya. Ia juga melihat senyum Rasya yang sangat lebar. Nama gadis itu bahkan ditulis dengan lambang hati di ujung namanya.
“Kenapa sekarang kamu diam?” tanya Shaka pada foto tersebut.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
N'Dön Jùañ Shakespeare
😭😭😭 sesak 😭😭😭
2024-02-07
0
Tia rabbani
pelakunya kayanya orng berpengaruh ya?
2023-12-25
1
Rya Kurniawan
pasti Aya deh.. 😬
2023-08-29
1