Bad Boy Agent
"DIA DATANG!" seru seorang laki-laki bertubuh kekar yang sedang berjaga di pos penjagaan. Ia langsung memberikan hormatnya pada dua sosok laki-laki yang berjalan tegap, mendekat padanya.
Seorang laki-laki berpakaian tentara lengkap, berlari dengan kencang dari pintu gerbang menuju sebuah markas militer yang berjarak sekitar 1,2 km. Ia melewati sebuah tiang bendera yang berdiri di tengah-tengah lapangan luas. Sang saka merah putih berkibar di puncaknya, menantang gagah langit Eropa yang panas terik.
Meski napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran, laki-laki itu tidak putus melangkahkan kakinya. Menaiki anak tangga dengan cepat untuk sampai dengan segera di depan pintu ruangan yang ia pegangi gagangnya sambil membungkukkan tubuhnya, terengah-engah kelelahan.
“Ada apa?” tanya seorang pengawal yang berjaga di pintu. Ia terkejut melihat laki-laki berpeluh itu terengah-engah, berusaha mengatur napasnya yang hampir habis.
“Di-a pu-lang, e-lang hi-tam, pu-lang,” ujar laki-laki yang masih ngos-ngosan sambil menunjuk ke belakang sana. Dadanya terasa sangat berat. Lari sprin dengan tubuh yang mulai membengkak memang tidaklah mudah. Ia memegangi perutnya yang sebentar saja rasanya ingin ia simpan.
“Benarkah?” tanya pria bertubuh tinggi itu.
“Hem!” Ia sudah tidak sanggup menjawab.
“Aku akan segera melapor!” Laki-laki jangkung itu segera berlalu untuk melapor pada komandan elite di markas tersebut.
Entah laporan apa yang dia sampaikan yang jelas laki-laki berusia pertengahan segera keluar dari ruangannya. “Di mana mereka?” tanya laki-laki itu, dengan suaranya yang tegas.
“Siap! Sedang berjalan ke sini, komandan!” Prajurit yang sedang terengah itu segera mengambil sikap sempurna.
Laki-laki bername tag Dwi itu segera menoleh ke arah yang di maksud. Tidak ada mereka di sana, hanya dua orang laki-laki berpakaian serba hitam yang berjalan ke arahnya. Matanya membelalak saat melihat ternyata delapan orang regu elite yang mendapat tugas sebagai agent mata-mata internasional itu hanya menyisakan dua orang laki-laki bertubuh kurus yang sebelumnya telah dinyatakan gugur dalam tugas.
Laki-laki yang menjadi komandan satuan elite ini menatap nanar kedatangan dua orang yang tidak ia sangka masih hidup. Dua minggu lalu, seorang mata-mata menyatakan kalau satu regu elang hitam telah gugur dalam tugasnya saat memburu ter0r!5. Markas mereka diserang dan diledakkan. Tidak ada yang selamat, semuanya hancur tanpa sisa.
Tetapi kenyataannya, keajaiban terjadi saat mereka melihat dua orang itu masih hidup dan berjalan dengan tegak menghampirinya. Ada banyak luka bekas perjuangan di wajah dan tubuhnya yang telah mereka balut dengan kain kasa. Dua laki-laki itu kini berdiri tegak dihadapan sang komandan. Menghormat singkat sebagai bentuk rasa hormat.
“Lapor! Mayor Arshaka Gibran menghadap!”
“Lapor! Kapten David Irawan menghadap!”
Dua orang itu berseru bergantian pada sang komandan. Pria bernama Dwi itu tidak menimpali. Ia lebih memilih menampar pipi kedua laki-laki itu bergantian, lantas merangkul keduanya bersamaan. Pria bertubuh kekar itu menangis tersedu-sedu penuh rasa bangga dan haru. Ia tidak pernah menyangka masih ada dua prajuritnya yang pulang setelah melaksanakan misi berbahaya ini.
“Terima kasih sudah pulang dengan selamat. Terima kasih,” ungkap laki-laki itu dengan penuh haru. Dua prajurit itu hanya membisu, ingatan akan ledakan di tempat persembunyiannya melintas begitu saja di benaknya. Enam rekan mereka terlah gugur dengan tubuh hancur berkeping-keping. Pengalaman traumatis itu entah kapan akan hilang dari ingatannya.
Kepulangan dua prajurit itu disambut dengan baik oleh anggota markas besar mereka. Setelah melapor pada komandan utama, mereka mengadakan upacara penyambutan dan memberikan penghargaan bagi dua pejuang itu. Semangat rekan-rekannya seperti terbakar melihat dua sosok gagah yang berdiri di hadapan mereka dan menerima lencana kehormatan.
Suara tepukan tangan bergemuruh di ruang aula yang luas. Ini misi ke empat yang Shaka jalankan untuk memata-matai aksi terorisme dan perdagangan obat-obatan terlarang, ia bersyukur karena masih diberikan keselamatan di antara rekan-rekannya yang gugur saat bertugas.
Setelah upacara penyambutan, acara berlanjut dengan lebih santai. Beragam menu makanan mewah dan beraneka minuman menjadi jamuan yang istimewa untuk Shaka dan teman-temannya. Keakraban itu semakin terasa saat mereka saling bertukar cerita selama menjalankan tugas di beberapa negara yang sedang mereka intai.
Dwi menghampiri Shaka yang tengah berbincang dengan rekan-rekannya. “Shaka, ikut ke ruangan saya sebentar,” pinta laki-laki itu.
“Siap!” Shaka segera berdiri tegak. Laki-laki berusia 27 tahun ini segera mengikuti sang komandannya menuju sebuah ruangan.
“Duduklah,” pinta laki-laki itu. Shaka terduduk dengan tegak di hadapan komandannya. Pimpinan tertinggi di markas tersebut beranjak untuk mengambil sesuatu di atas meja kerjanya. Sebuah map berwarna kuning yang kemudian ia taruh di hadapan Shaka.
“Saya sangat bangga dengan kamu Shaka. Kamu bisa kembali dengan selamat dari medan pertempuran,” ujar laki-laki itu seraya menepuk bahu Shaka dengan bangga.
“Siap! Terima kasih, Komandan.” Shaka menjawabnya dengan tegas.
Laki-laki itu menatap Shaka dengan lekat seolah ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan. “Saya harap, kamu bisa menerima apa yang akan saya sampaikan kemudian, Shaka. Karena saya tahu kamu adalah prajurit yang kuat dan hebat.” Laki-laki itu melanjutkan kalimatnya dengan tatapan yang terlihat sendu.
Shaka merasa kalau ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh komandannya. Ia menghela napasnya dalam saat mengingat kegagalannya menangkap pelaku aksi terorisme. Mungkin hal ini yang membuat tatapan sang komandan berubah nanar. Wajar jika laki-laki ini kecewa. Ia sudah sangat bersiap jika ia harus menerima satu atau dua hukuman kecil.
Dengan berat hati, Dwi membuka map yang ada di hadapannya lalu menutupnya kembali dan memberikannya pada Shaka. “Bacalah,” ucap laki-laki itu lantas ia berlalu meninggalkan Shaka yang sedang memandangi map di tangannya. Dwi sengaja berdiri membelakangi Shaka dan memilih menatap foto pimpinan tertinggi di negaranya tercinta.
Buk!
Tiba-tiba saja sebuah pukulan terdengar keras di atas meja hingga membuat meja itu retak. Dwi terhenyak, tetapi ia hanya bisa tertunduk lesu. Ia paham benar kalau pukulan itu dilayangkan Shaka sesaat setelah membaca surat kematian seorang remaja berusia 17 belas tahun bernama Arrasya Haikal, adik kandung yang sangat ia cintai. Matanya yang hitam menyalak tajam lantas berubah merah bersamaan dengan tangan yang mengepal kuat. Otot rahanganya mengeras hingga giginya terdengar menggeretak. Air matanya menetes saat mengingat keluarga satu-satunya yang ia miliki telah pergi meninggalkannya.
Saat itu juga Shaka beranjak dari tempatnya. Emosi yang memenuhi dadanya membuat ia melepas baret kebanggannya dan menaruhnya di atas meja. Lencana yang baru disematkanpun ia taruh begitu saja. Hatinya hancur saat mengingat perjuangannya yang rela mati memperjuangkan keselamatan banyak nyawa, tetapi ia malah tidak mampu melindungi satu adik yang sangat ia sayangi.
Ini kegagalan terbesar yang dialami Shaka.
Dwi segera menghampiri. “Shaka, apa yang kamu lakukan?! Kendalikan diri kamu!” seru Dwi seraya memegangi lengan Shaka yang tengah melepas semua atributnya dengan kasar.
Shaka tidak bergeming. Saat ini tidak ada hal lain yang melintas dipikirannya selain bayangan kematian sang adik.
“SHAKA!! DENGAR SAYA!!” teriak sang komandan tepat di depan wajah Shaka.
Tetapi hanya air mata yang menjadi jawaban Shaka. Ia tidak bergeming sekalipun komandannya memegangi tangannya yang hendak melepas seluruh tanda bintang dibahunya.
“Shaka!”
PLAK!
Sebuah tamparan akhirnya dilayangkan komandannya di pipi Shaka.
“SIAP!” sahut laki-laki itu dengan suara tegas namun pecah. Matanya yang merah membuat sang komandan merasakan sejumput rasa iba, tetapi ia tidak bisa melakukan apa pun.
“Kamu mau menyelidiki kematian adikmu, silakan. Tapi jangan tanggalkan atributmu, Shaka! Kamu kebanggan pasukan ini.” Laki-laki itu mencengkram satu sisi wajah Shaka yang tadi ia tampar hingga berbekas kemerahan. Ia paham benar perasaan hancur yang Shaka rasakan.
“Saya tidak tahu kapan saya akan kembali ke satuan ini lagi. Saya juga tidak ingin melibatkan organisasi dalam masalah pribadi saya. Izinkan saya untuk pergi. SALUTE!” seru Shaka di akhir kalimatnya seraya memberikan hormat singkat sebagai bentuk perpisahan.
“SHAKA!!” seru Dwi saat pria muda itu berlalu begitu saja dari hadapannya. Di tangannya ia mencengkram berkas kematian sang adik dengan penuh kemarahan. Tidak ada yang bisa menahannya untuk tidak pergi.
"SHAKA!!!" suara Dwi menggema di ruang kerjanya, namun tidak mampu menghentikan langkah seorang Shaka.
Malam itu juga, di bawah guyuran hujan Shaka memutuskan untuk pulang ke tanah air. Perjalanan hampir 18 jam ia lalui dengan penuh kegundahan dan kemarahan. Sepanjang perjalanan ia hanya memikirkan sang adik. Mengingat kembali semua kenangan yang berputar di kepalanya. Tawa Rasya, celotehnya yang manja, tingkahnya yang kekanakan dan cita-citanya untuk menjadi agen rahasia seperti sang kakak.
Sayangnya, semua itu hanya tinggal harapan dan impian yang pupus bersamaan dengan terlepasnya nyawa dari raga yang Shaka jaga dan pelihara sejak bayi. Shaka terisak. Ia mengabaikan tatapan heran seorang laki-laki tua yang duduk di sampingnya. Meski air mata ini tidak bisa mengembalikan Rasya, nyatanya rasa sesak di dadanya bisa sedikit berkurang.
Sore hari, Shaka baru tiba di Indonesia. Ia segera menghubungi sang tante yang selama ini menjaga Rasya saat ia bertugas. Ia mendapatkan alamat sebuah pemakaman umum, tempat jasad Rasya dibenamkan. Ia memasuki area yang sepi itu. Menyusuri jalan setapak yang berbatu. Tidak ada orang yang berada di tempat itu selain seorang gadis bertopi yang tanpa sengaja berpapasan berlawanan arah dengannya. Mereka tidak saling melirik apalagi menyapa. Masing-masing dengan pikirannya sendiri.
Shaka segera menghampiri makam Rasya yang masih berupa gundukan tanah merah dengan bunga-bunga kering yang menutupinya selama satu minggu ini. Sebuah vas keramik kecil terpajang di samping nisannya yang masih terbuat dari kayu. Ada setangkai bunga lili segar yang mengisi vas itu. Entah siapa yang menaruhnya yang jelas ia melihat sepasang jejak kaki di tempat Shaka berpijak. Ukurannya sekitar 24 cm dan sepertinya kaki seorang wanita. Mungkin tante mereka yang baru berkunjung dari tempat ini.
Shaka berdiri mematung, menatap nisan yang bertuliskan nama sang adik. Lagi, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. “Kenapa kamu pergi meninggalkan, kakak?” tanya Shaka dalam hatinya. Seolah ia tengah berbicara dengan sang adik yang terbaring di bawah batu nisan.
“Tidak bisakah kamu menunggu kakak sebentar saja Rasya?” tanya Shaka berikutnya. Tidak ada yang menjawab, tentu tidak akan ada jawaban. Shaka hanya bisa tertunduk lesu seraya mengepalkan tangannya dengan erat hingga pembuluh darah di tangannya tampak menegang dan menonjol. Tangannya memerah dan rasanya ia ingin memukul siapa saja yang membuat adiknya tiada.
"Aarrkkkkhh!!!" teriak Shaka tanpa bisa di tahan. Bahunya berguncang karena tangisnya yang pecah. Dalam derai air matanya itu ia mengucap sumpah, “Jangan khawatir Rasya, aku akan membuat mereka mempertanggung jawabkan apa yang telah mereka lakukan. Mata untuk mata, nyawa untuk nyawa,” sumpah Shaka di hadapan pusara sang adik.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Mariya_Dvn
duh
2024-02-07
0
N'Dön Jùañ Shakespeare
😭 duh sedihnya
2024-02-07
0
Tia rabbani
baru baca
2023-12-25
2