Anha terdiam, menggenggam erat kain gulingnya dan wajahnya yang sendu masih betah ia tenggelamkan di gulingnya padahal rasanya sudah pengap. Anha tidak mau Mamanya memergokinya menangis seperti ini.
“Anha. Bangun dulu, yuk.”
Mama mencoba menarik perlahan lengan Anha. Meskipun Anha masih diam dan belum berucap sepatah kata pun namun Anha mau bangun dari posisi tidurnya sambil mengusap pipinya yang basah akan air mata.
Mama menangkup wajah Anha yang terlihat muram itu. Wajah cantik yang biasanya berseri dan dipuja banyak orang kini bak unga mawar yang layu dan mongering sudah, berwarna kecoklatan. Bahkan matanya tampak sembab sekali.
“Kamu kenapa Anha. Cerita sama Mama. Jangan bikin Mama khawatir kayak gini, Nak,” kata Mama sambil memegang kedua bahu Anha dan menatapnya lamat-lamat.
Inilah yang mamanya tidak suka dengan salah satu sifat Anha. Anha selalu menyimpan semua masalahnya sendiri dari dulu.
“Apa kamu nggak bisa percaya sama Mamamu ini sampai kamu nggak mau cerita sama Mama? Kamu kalau ada masalah jangan dipendem sendiri, dong, Anha. Mama khawatir sama kamu.”
Kini nada bicara Mama mulai sumbang seperti menahan diri dan hendak menangis. Anha menggelengkan kepalanya, tidak-tidak, mama tidak boleh menangis karena dirinya. Anha tidak akan kuat melihat itu.
Bukannya dia tidak mau terbuka dengan Mama. Hanya saja… pasti mamalah yang akan sangat terluka melebihi dirinya jika mengetahui semua hal itu. Mengetahui jika ternyata pernikahannya batal dengan Hasan.
Anha mereemas erat celana tidurnya, menggigit kuat bibir bawah bagian dalamnya, air matanya meleleh padahal sudah sering ditumpahkan karena kesedihan. Kenapa sampai saat ini Anha belum bisa membahagiakan mamanya? Anak orang lain sepantarannya saja sudah bisa membahagiakan orang tua mereka. Sedangkan Anha? Dia hanya membuat mamanya malu dan sedih saja.
Anha semakin menundukkan pandangannya, tidak kuat jika bersitatap dengan mata cokelat teduh milik mamanya yang saat ini sedang menampilkan gurat kekhawatiran.
“Anha, jawab Mama,” kata Mama lagi. Tangan yang semula memegang kedua bahunya kini berpindah memegang jemarinya yang terasa dingin. Mamanya sudah bertahun-tahun sejak dulu hanya berfokus mencari uang saja tanpa memedulikan putri semata wayangnya itu. Tanpa peduli pertumbuhannya seperti apa, pikirannya dulu yang terpenting kebutuhan mereka tercukup.
Tetapi uang tidak bisa membeli kasih sayang. Tidak bisa mengembalikan waktu berharganya dengan Anha. Sekarang Mamanya paham, yang dibutuhkan Anha adalah kasih sayang dan tempat untuk di dengar.
“Maafin Anha, Ma,” hanya suara getir itu yang terdengar menyesakkan jiwa.
‘Maaf karena belum bisa ngebahagiain mama. Maaf karena cuma jadi beban buat mama dan nambahin mama capek aja. Maaf karena pasti abis ini Anha bikin mama malu banget,’ kata-kata itu hanya mampu terucap dalam benak Anha, tidak dengan lisannya.
Mama memeluk Anha dengan erat, mengusap sudut matanya yang ternyata juga basah.
“Jangan buat mama khawatir, Anha. Sebenernya apa yang terjadi? Mama nggak tahan lihat kamu nangis terus kayak gini, Sayang.”
Anha mengeratkan pelukannya kepada tubuh mamanya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh mamanya yang khas akan bau vanilla.
“Maafin Anha, Ma,” ulang Anha dengan lirih. Mamanya tidak paham kenapa Anha harus meminta maaf kepadanya.
Kini Anha sudah tidak mampu untuk menyembunyikannya lagi.
Omongan dari banyak orang yang menyaksikan Anha dipermalukan oleh Angga seolah muncul lagi di ingatannya.
‘Gila banget, ya. Nggak nyangka ternyata kayak gitu.’
‘Cantik-cantik murahan banget, ya. Kasihan cowoknya.’
Anha gemetar. Namun rasa hangat dari pelukan Mama dan tepukan pelan menenangkan dari tangan mamanya pada punggungnya seolah memberikan rasa aman dan terlindungi. Intuisinya mengatakan jika mamanya tidak mungkin akan menghakiminya seperti orang lain di luar sana.
Kali ini, untuk pertama kalinya Anha mencoba jujur kepada dirinya sendiri. Jujur menceritana semuanya kepada Mama tanpa ada yang perlu ditutupi lagi.
“A-Anha udah putus sama Hasan, Ma. Kami pisah… dan batal nikah.”
Gerakan tangan Mamanya yang semula menepuk pelan punggungnya terhenti. Mama melepaskan pelukannya dan kini memberi jarak dengan dirinya.
Mama menatap Anha dengan pandangan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Mama menatap putrinya itu dengan saksama.
“A-apa kamu bilang barusan?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
ginna_muchtar
Dan doa bu Asih pun terkabul 😊😊😊 biar Anha batal nikah
2021-11-08
0
Elina💞
😭😭😭
2021-06-06
0
Di Za 🍁DF🍁
itulah kaya a Allah sang oencipta segala a,air mata tak kan kering jika sekali oun kita sdh kelelahan ,tetap mengalir tiada he.ti,walau tak d undang sekali pun。。。。😁
2021-04-25
0