Angga sudah tidak tega lagi untuk menyiksa wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya itu.
Namun ketika baru saja berjalan beberapa langkah, Angga berhenti sejenak kemudian menengok ke arah belakang sambil mengatakan kepada Anha mengenai ucapannya yang tadi sempat terputus yaitu….
“Ah, gue inget. Kalau nggak salah, nama orang itu… Ikram.”
Mendengar nama yang amat familiar itu membuat Anha mengangkat pandangannya ke arah Angga. Mata Anha membulat mendengar nama orang itu disebutkan. Anha benar-benar tidak percaya akan hal itu.
I-Ikram?
Jadi….
Jadi Ikram yang melakukan ini semua kepadanya?
Anha sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu. Dunianya seolah runtuh. Matanya terasa panas karena menangis dari tadi.
'An, kalau kamu nggak nikah sama kamu. Maka nggak ada lelaki manapun yang boleh nikahin kamu.'
'Aku bakalan ngelakuin segala cara biar kamu jadi milik aku lagi, An.'
Anha menutup mulutnya. Demi Tuhan, Anha tidak pernah berpikir jika Ikram akan melakukan hal setega itu kepadanya.
Kenapa Ikram sejahat itu kepada dirinya sampai menghancurkan pernikahannya bersama Hasan?
Dia sudah tidak kuat lagi. Anha menenggelamkan kepalanya di antara kedua pahanya dan menangis terisak. Menangis dan menangis, seolah hanya itulah yang ia bisa saat ini.
Kalau Anha boleh memilih. Kalau saja waktu bisa diputar. Dia mungkin akan memperbaiki masa lalu. Menjaga kehormatanya dengan baik untuk calon suaminya kelak.
Anha benar-benar tidak mengira jika hukum tanam tuai akan sepedih ini.
Bahkan… salahkan jika sudah sehancur ini Anha yang masih terisak itu bertanya di dalam hati kecilnya kepada Tuhan apakah jika dia dulu tidak melakukan pergaulan bebas apakah nasibnya tidak akan seperti ini?
Anha menyesal. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
***
Setelah sedari tadi menyaksikan ini semua dari kejauhan. Hamkan akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya.
Ia berjalan pelan mendekat ke arah Anha, mencoba sebisa mungkin untuk memelankan langkah kakinya agar Anha tidak mendengar langkah kakinya.
Hamkan menekuk lututnya dan berjongkok untuk menyetarakan tinggi badannya dengan Anha yang saat ini menangis dan menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya yang ia peluk.
Di dapannya ini… ada wanita menangis dan terisak. Lalu sekarang ini? Apa yang harus ia lakukan?
Hamkan bingung, haruskah ia memberikan bahu untuk wanita menangis? Atau haruskah ia mencoba untuk menenangkannya? Tapi bagaimana caranya.
Tapi, kan, mereka baru saja mengenal satu sama lain, bahkan mereka baru bertemu dua kali saja.
Tangan Hamkan terulur hendak menyentuh kepala Anha. Namun ia tarik lagi ke belakang. Hamkan merasa canggung apabila dia tiba-tiba memeluk Anha atau menenangkannya. Memangnya, dia siapa?
Hamkan menggaruk kepalanya yang terasa tidak gatal sama sekali itu. Lelaki memang mati kutu jika melihat wanita sedang menangis. Ini lebih sulit daripada bernegosiasi dengan klien.
Karena bingung hendak berbuat apa, akhirnya Hamkan memutuskan untuk membiarkan saja Anha menenangkan diri. Mungkin saat ini itulah yang Anha butuhkan.
***
Ketika Hamkan memilih untuk meninggalkannya, bukan berarti dia tidak peduli. Dia berjalan untuk mengambil mobilnya yang berada di area parkiran mall. Diam-diam Hamkan menunggu Anha yang berada di luar mall ini.
Hamkan mencengkeram stir mobilnya dengan erat. Entahlah nanti Anha akan keluar dari pintu keluar bagian barat atau bagian timur. Yang penting saat ini Hamkan stay saja di sini.
Mata Hamkan meneliti satu per satu orang-orang yang keluar dari bagian timur. Siapa tahu ada sosok Anha yang melintas di sana.
Sekitar hampir dua puluh menitan menunggu, akhirnya nampak terlihat wanita dengan atasan berwarna biru keluar dari mall dan berdiri di sisi jalan sambil menunduk dan menatap ponsel yang berada di tangannya.
Melihat itu Hamkan mulai menjalankan mobilnya ke arah sisi jalan tempat Anha berdiri.
“Anha,” kata Hamkan dan menurunkan kaca pintu mobil ke bawah. Anha melihat ke depan. Hamkan menyadari sesuatu dari tatapannya, meskipun dia berhenti menangis, tapi matanya masih berkaca, dan sembab.
“Mau pulang bareng nggak?” kata Hamkan menawari.
Anha menggelengkan kepala.
“Ng-nggak usah, aku udah pesen grab.”
Hamka megembuskan napas. Tidak mungkin juga Hamkan tega membiarkan Anha pulang dengan kendaraan umum seperti ini.
Hamkan turun dari mobilnya dan membukakan pintu mobilnya untuk Anha.
“Masuk, aku bakalan anterin kamu pulang.”
Anha masih menggeleng dan pandangannya masih tertunduk ke bawah.
“Nggak usah. Aku udah pesen grab, kok,” ulang Anha lagi untuk kedua kali, padahal dia berbohong dan belum memesan grab.
Hamkan hanya menatapnya dalam diam.
'Mungkin dia nggak mau kalau aku sampai tahu dia nangis,' batinnya.
“Kamu nggak malu pulang dengan mata sembab kayak gitu? Terus nanti kalau supir grab-nya mikir aneh-aneh gimana? Aku janji, kok, nggak bakalan tanya apa-apa ke kamu. Karena itu urusan pribadimu.”
Hamkan memilih mengalah, membiarkan pintu mobilnya yang tadi dipersilakan untuk Anha masih tetap terbuka.
Hamkan masuk kembali ke dalam mobilnya. Dua menit lagi apabila Anha tidak mau diantar pulang, maka dia tidak dapat memaksa juga, bukan?
Anha nampak ragu sesaat. Tapi benar juga kata-kata Hamkan tersebut. Pasti nanti dia akan malu kepada supir grab apabila menangis seperti ini.
Akhirnya setelah itu Anha mau memasuki mobil Hamkan.
Dan benar saja, sepanjang perjalanan Hamkan tidak menanyainya sama sekali. Ketika Anha menatap ke arahnya. Hamkan hanya menatap ke arah depan dan fokus menyetir. Padahal Anha tidak tahu jika di dalam hati pria tersebut saat ini sedang kalut marut.
Anha menyandarkan kepalanya ke badan mobil dan memejamkan matanya. Berpura-pura tidur. Agar Hamkan tidak tahu jika dia menangis lagi.
Sesampainya di depan rumah Anha. Hamkan menepikan mobilnya di depan pagar. Ia hendak membukakan. Hamkan ikut mengantarkan Anha ke dalam.
“Kamu udah pula—” baru saja hendak menyambut Anha. Namun ucapan Mama terhenti ketika tiba-tiba anaknya tersebut memeluknya dengan erat dan tangisnya pecah kembali.
Mama Anha masih bingung dan menatap penuh tanya kepada Hamkan.
“Kamu kenapa Anha?”
Anha masih menangis sesenggukan. Batal menikah bukan perkara yang mudah. Apalagi tadi dia dipermalukan di depan umum. Psikis Anha terguncang.
“Hamkan,” kata mamanya Anha meminta penjelasan akan kebingungannya tersebut.
Hamkan bingung hendak menjawab apa. Bukannya saat ini dia sedang berpura-pura tidak tahu dengan ini semua, meskipun Hamkan melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri tapi Aneh juga jika dia harus menjelaskan semuanya kepada Mamanya Anha.
“Hamkan nggak tahu, Tante. Biar Anha aja yang ngejelasin ke Tante kalau dia nanti udah baikan.”
Hamkan rasa, itulah opsi yang terbaik saat ini.
Setelah itu Hamkan berpamit untuk pulang. Biar urusan pribadi Anha, Anhalah yang menjelaskannya.
***
Hai, jangan lupa follow instagramku @Mayangsu_ ya, buat tahu info novelku, jadwal update, visual dari para tokohku juga ada di sana. Terlebih lagi di sana aku lebih sering aktif. Makasih sudah mau mampir.
Follow akun sosmed-ku yang lain:
Waatpad: Mayangsu
Email: Mayangsusilowatims@gmail.com
Instagram: Mayangsu_ (Pakai underscore, ya)
Semua akun menulisku pakai nama pena: Mayangsu, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
RithaMartinE
😢😢😢
2024-05-24
0
baybay
hamkan aku padamu
2021-10-11
1
Violet
syukur deh ga jdi sm hasan, dri awal jg emang tuh cowok ga ada tegas" nya, plin plan
2021-07-20
0