Sampai di Sini Saja

“Hasan,” ucap Anha dengan getir.

Haruskah sekarang Anha memohon-mohon kembali seperti ia memohon kepada Ikram dahulu agar hubungan mereka tidak retak? Anha menutup mulutnya menahan isakan.

“Sejak kapan, An, kamu kayak gitu?” tanya Hasan mencoba membuat ini semua jelas.

Kini Anha sudah tidak memiliki daya untuk berbohong kembali. Dia ingin jujur saja. Dia sudah lelah berbohong terus-menerus selama hidupnya.

“Aku udah nggak pernah kayak gitu lagi.”

Nada bicaranya amat pilu. Hasan menatap wanita yang dulu sangat dicintainya itu dengan mata yang memanas. Itu artinya apa yang Angga katakan benar adanya.

Hasan mengusap wajahnya dan merasa amat lelah. Sekarang dia harus berbuat apa?

“Hasan… maafin aku.”

Hamkan, yang mendengar semua hal itu dari kejauhan hanya mampu menyenderkan bahunya pada dinding yang terasa dingin ini sambil menatap ke arah atas. Embusan napas berat keluar dari mulutnya, seolah dapat merasakan beban hiup Anha juga.

Tangan Hasan hendak bergerak menyentuh puggung wanita yang masih terisak di depanya tersebut. Tetapi jemarinya menutup kembali dan turun ke bawah mengingat sebegitu parahnya kelakuan Anha dulu.

“Demi Tuhan, An, aku nggak pernah nyangka kamu kayak gitu. Aku mikirnya kamu cewek baik-baik, Anha.”

Anha mencengkeram baju Hasan.

“Tapi sekarang aku udah nggak kayak gitu lagi, Hasan.”

Meskipun sudah tidak pernah seperti itu lagi tapi tidak bisa mengelak jika dulu pernah, bukan?

Kata-kata itu hanya tertahan di dalam benak Hasan. Tidak sampai terucap.

“Maaf, An. Aku nggak bisa nerusin hubungan kita lagi."

Ultimatum Hasan jatuh sudah.

“Nggak bisa git—” belum sempat Anha menyelesaikan ucapannya Hasan sudah mencengkeram erat kedua lengannya dan sedikit mengguncang tubuhnya.

“Anha! Dengerin aku. Aku nggak pernah nyangka kamu cewek yang kayak gitu, An. Apa kamu tahu kenapa aku suka sama diri kamu? Apa kamu tahu kenapa dulu waktu aku awal kenal sama kamu aku sampai mati-matian ngejar kamu yang naik BRT? Itu karena aku pikir kamu cewek baik-baik, An! Kamu sampai belain temen kamu yang mau pakai hijab. Tapi… tapi…”

Hasan kehilang kata-katanya sudah. Kemudian Hasan mengatakan sesuatu yang amat sangat menyakiti hatinya.

“Udahlah, An. Aku nggak bisa lagi sama kamu. Aku nggak bisa ngebayangin gimana nantinya anakku kalau dididik ibu kayak kamu.”

Lutut Anha goyah mendengarnya. Tidak dapat lagi menyangga berat tubuhnya dan berat beban hidupnya lagi. Dia menangis, terisak, tapi hanya mampu menutup mulutnya supaya orang lain tidak mendengarnya.

Setelah itu Hasan bergerak menjauh, pergi meninggalkan Anha yang menangis dan terpuruk seperti itu.

Apakah orang yang pernah buruk di masa lalu tidak berhak untuk dimaafkan dan bahagia?

***

Lengang menyelimuti suasana di sekitar sini. Hanya suara klakson yang saling bersaut-sautan terdengar dari mobil-mobil yang berlalu lalang di sekitar jalan dekat luar mall ini yang terhalang oleh tembok pembatas.

Terdengar pula dengan lirih isakan Anha yang ia tahan agar tidak mengundang perhatian dari orang lain.

Hamkan masih menatap ke arah atas dengan pandangan kosong. Matanya mengerjab beberapa kali dan suaranya membisu dalam diam. Kejadian tadi benar-benar luar biasa baginya. Dia tidak pernah tahu jika wanita secantik Anha ternyata memiliki masa lalu sekelam itu, apalagi nasib baik tidak berpihak kepadanya.

Padahal wanita itu dua minggu lagi hendak menikah….

Hamkan mengusap wajahnya sendiri dengan sekilas. Sekarang dia berpikir dia harus berbuat apa? Haruskah dia menenangkan Anha atau mengantarnya untuk pulang.

Ketika Hamkan hendak melangkahkan kaki keluar dari persembunyiannya tiba-tiba Hamkan mengurungkan kembali niatannya tersebut dan kembali lagi ke tempatnya semula ketika mengetahui ada seseorang yang mendatangi Anha yang masih tertunduk dan menangis itu.

Hamkan melirik sekilas. Bukannya orang itu adalah laki-laki yang tadi mempermalukan Anha di depan umum ketika di tempat makan itu dan tadi juga dihajar oleh Hasan, ya? Lalu untuk apa dia masih mendatangi Anha lagi?

Muncul berbagai pertanyaan di benak Hamkan. Tapi Hamkan hanya memilih untuk menahan diri dan menyaksikan saja ini semua dari kejauhan.

“Ternyata lo di sini,” kata Angga sambil bersedekap dada dengan angkuhnya. Mendengar suara barito yang dikenalnya membuat Anha mendongak dengan mata yang sembab karena menangis.

“A-Angga,” kata Anha dengan lirih.

Mau apa lagi dia ke sini?!

Anha sudah tidak mampu berucap sepatah kata pun. Jiwa raganya sudah lelah. Dia tidak sanggup meladeni Angga lagi. Apa belum cukup ia mempermalukannya tadi?

“Ternyata lo emang sudah banyak berubah, ya, An, dari Anha yang dulu gue kanal.”

Anha tidak menghiraukan ucapan dari Angga tersebut. Dia memilih untuk abai dan mengambil tasnya berniat untuk pergi dari sini.

Angga menyeka hidungnya seperti orang pilek. Memang yang Anha perhatikan dari tadi ketika dia di tempat makan hidung Angga memang tampak memerah dan seperti orang terkena flu. Mata Angga juga nampak sayu, namun Anha hanya berpikir dalam hati jika mungkin Angga sedang sakit dan kurang tidur saja.

“Maaf, ya, An. Gue nggak ada niatan buat ngehancurin pernikahan lo yang tinggal beberapa minggu lagi itu,” kata Angga dengan saksama.

‘Jika dia tidak berniat untuk menghancurkan pernikahan Anha dengan tunangannya, lalu untuk apa lelaki berengsek itu melakuakan hal tersebut kepada Anha?’ batin Hamkan dalam hati sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Anha memberanikan diri menatap Angga, laki-laki ini benar-benar tidak punya hati sama sekali.

Anha tidak bisa berdiri dan masih terduduk di tempatnya semula, menahan rasa sakit di hatinya yang teramat dalam.

“Sorry, An. Sebenernya gue ngelakuin itu karena terpaksa juga. Gue minta maaf.”

Anha menatap Angga dengan pandangan tidak percaya.

Apa maksudnya barusan?

“Emangnya siapa, sih, An, di dunia ini yang nggak mau duit?”

Anha semakin tidak mengerti mengenai arah pembicaraan Angga barusan. Orang itu? Tidak mau uang? Apa yang sebenarnya Angga bicarakan?

“Ma-maksud kamu apa?”

Angga menatap Anha yang terlihat kasihan itu. Akhirnya Angga memilih untuk jujur mengatakan semuanya sebelum pergi dari tempat ini mengingat jadwal penerbangannya kembali ke Bali sore nanti. Waktunya sudah terbatas.

Angga berbalik badan dan mengatakan….

“Orang itu ngedatangin gue. Ngasih gue duit. Lumayan bisa buat beli obat. Gue nggak tahu siapa persisnya dia. Yang gue inget…”

Angga menjeda sejenak ucapannya. Mengingat kembali nama tuannya yang menyuruhnya untuk melakukan ini semua dengan bayaran yang amat tinggi itu. Bahkan tiket pulang pergi dari Bali ke Semarang pun dibayari dengan entengnya.

“Yang gue inget namanya kalau nggak salah namanya….”

Angga mengingat-ingat dengan saksama.

“Ikram.”

Kemudian Angga berjalan meninggalkan Anha yang masih menangis sesenggukan dan tertunduk sambil memegangi dadanya yang mungkin terasa amat sesak.

***

Hai, jangan lupa follow instagramku @Mayangsu_ ya, buat tahu info novelku, jadwal update, visual dari para tokohku juga ada di sana. Terlebih lagi di sana aku lebih sering aktif. Makasih sudah mau mampir.

Follow akun sosmed-ku yang lain:

Waatpad: Mayangsu

Email: Mayangsusilowatims@gmail.com

Instagram: Mayangsu_ (Pakai underscore, ya)

Semua akun menulisku pakai nama pena: Mayangsu, ya.

Terpopuler

Comments

Endah Dwika

Endah Dwika

picik kali pikiran hasan

2023-06-12

1

Moch Rayhan

Moch Rayhan

hmmmmmm segitunyaaa astaga

2022-11-03

0

Rahman

Rahman

aneh si ikram dia yg nyeraiin dia yg dendam

2021-08-04

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 66 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!