Double POV

Tubuh ku terasa menggigil, keringat dingin terus bercucuran di tubuh ku. Padahal sudah memakai selimut, bahkan Ac di dalam ruangan ini pun sengaja tidak ku nyala kan.

Aku mengambil ponsel yang terletak di atas nakas, dan melihat masih pukul dua dini hari. Lalu aku segera bangkit dari kasur, ingin mengambil air minum sebab tiba-tiba saja aku merasa sangat kehausan.

Dengan langkah yang lemah dan gemetar, aku pun menuju dapur dan mengambil sebuah gelas.

Aku menuangkan air dari teko ke gelas itu, karena sangat lemas nya sampai-sampai tangan ku gemetaran saat memegang gelas.

Praanngg

Akhirnya gelas yang ku pegang pun jatuh, aku mencoba memungut serpihan-serpihan kaca yang berserak di lantai.

"Aawww" teriak ku menahan perih saat salah satu pecahan kaca merobek kulit jari manis ku dan mengeluarkan darah.

Aku kembali ke kamar dengan berjalan sempoyongan. Tak kuat terlalu lama berdiri sebab kepala ku sangat pusing, aku membatalkan niat ku untuk minum.

'Bagaimana ini? Rasanya aku gak kuat menahan sakit ini' gumam ku.

Aku pun berniat menelepon Pak Andra, setelah mencari kontak nya di ponsel ku, tiba-tiba aku jadi berubah pikiran.

'Aku hanya akan mengganggu waktu istirahat Pak Andra jika menghubungi di jam seperti ini' batin ku. Lalu aku pun mengurung kan niat untuk menelepon Pak Andra.

Tapi saat aku ingin meletakkan kembali ponsel ku ke nakas, tak sengaja aku menekan tombol hijau. Aku terkejut saat tahu ternyata aku memanggil Pak Andra. Lekas aku menekan tombol merah untuk membatalkan nya.

Tiba-tiba ponsel ku pun berdering, aku melirik ternyata Pak Andra lah yang menelepon.

"Astaga, Pak Andra menelepon? Apa yang harus ku kata kan pada Pak Andra?

Vania Vania, kenapa sih ceroboh sekali?" ucap ku merutuki diri sendiri .

Aku pun memutuskan untuk mengangkat panggilan dari Pak Andra.

"H-halo Pak?" Jawab ku gugup.

"Ada apa Vania? Seperti nya tadi kamu memiskol ke nomor ku?" Tanya Pak Andra dari seberang telepon.

"Maaf Pak, tadi itu tak sengaja" balas ku dengan suara yang lemah.

"Vania, apa kamu baik-baik saja?" Tanya Pak Andra khawatir.

"Hmmm, aku baik-baik saja Pak" balas ku berbohong.

"Tidak Vania, aku bisa tahu dari suara mu jika kamu sekarang tidak baik-baik saja" ujar Pak Andra.

"Benar Pak, aku tidak apa-apa" ucap ku sambil menghisap jari yang terluka tadi.

"Tidak, aku tidak percaya Vania. Aku akan ke sana sekarang juga, kamu tunggu saja di situ"

Belum sempat aku menjawab, panggilan sudah di akhiri.

Karena merasa sangat lemas, aku pun kembali berbaring di kasur.

************

(POV Andra)

Entah kenapa malam ini aku tidak bisa tidur, berulang kali mencoba untuk tidur tapi tetap saja tidak bisa. Aku melihat jam di dinding sudah menujukkan pukul dua pagi.

Sebenarnya ingin menelepon Vania, tapi takut akan mengganggu waktu istirahat nya. Akhirnya aku memutuskan bermain ponsel dan melihat-lihat sosial media.

Saat sedang asyik menelusuri aplikasi berwarna biru, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Vania.

Membuat jantung ku berdetak tak karuan, hanya melihat nama nya tertera di layar ponsel saja mampu membuat jantung ku berdegub kencang.

Saat aku ingin menerima panggilan itu, ternyata langsung mati begitu saja.

'Ada apa ya? Tumben Vania memiskol jam segini?' batin ku.

Aku segera menelepon kembali, tak lama panggilan ku langsung di terima. Dan Vania menyapa dari seberang sana.

Tapi aneh nya aku mendengar suara Vania seperti suara seseorang yang sedang sakit. Walaupun beberapa kali dia menyangkal, tapi aku sangat yakin dengan feeling ku jika sekarang Vania tidak baik-baik saja.

Aku pun memutuskan untuk mendatangi Vania, tidak peduli jika sekarang masih pukul dua dini hari. Rasa khawatir ku lebih besar pada Vania.

Aku berlari menuju carport untuk mengambil mobil, dan segera meluncur menuju Apartemen.

Hanya lima belas menit, aku pun sampai di apartemen ku yang sekarang di huni oleh Vania.

Dengan sedikit berlari aku memasuki lift dan menuju lantai di mana Vania berada.

Selama di lift aku terus menelepon Vania, tapi tak ada jawaban sama sekali. Aku semakin yakin jika Vania tidak baik-baik saja sekarang.

Sampai di depan pintu apartemen, aku menekan bel. Sampai beberapa kali aku membunyikan bel, tapi pintu tak kunjung di buka. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membuka sendiri pintu itu.

Pintu apartemen ini memang ku modifikasi dengan fitur keamanan menggunakan pin. Aku mencoba menekan pin nya, dan pintu pun terbuka. Ternyata Vania tidak mengganti pin pintu apartemen ini.

"Vania, kamu di mana?" teriak ku saat sudah berada di dalam apartemen. Tapi tak ada jawaban sama sekali. Aku pun langsung menuju kamar Vania, ternyata pintu nya tidak di tutup dan aku pun masuk begitu saja.

Aku pun terkejut saat melihat Vania yang sudah terkapar di kasur dengan wajah yang sudah pucat.

Bergegas aku menghampiri nya, "Vania, Vania kamu kenapa?" aku mengguncang-guncang tubuh Vania. Sesaat aku fokus pada tangan Vania yang berdarah.

"Astaga Vania, ini kenapa?" tanya ku khawatir. Vania pun membuka mata nya, dia sedikit terkejut saat melihat ku.

"Vania, kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya?" ucap ku.

"Haus.. Aku haus Pak" ucap Vania lemah, bahkan suara nya hampir tidak terdengar jelas.

"Kamu haus? Bentar aku ambil kan air di dapur" ucap ku sambil berlalu menuju dapur.

Saat di dapur aku melihat serpihan kaca berserak di lantai. Tak mau mengulur waktu, aku langsung mengambil air dan memberikan nya pada Vania.

Dengan sedikit mengangkat kepala Vania, dan mendekatkan ujung gelas ke mulut Vania. Vania meneguknya dengan cepat hingga air di gelas pun habis. Tampak nya dia benar-benar kehausan, tapi dia tak punya tenaga untuk berjalan ke dapur mengambil air. Mungkin itu penyebab nya ada pecahan gelas di dapur.

"Vania, kita segera ke Rumah Sakit ya" tanpa menunggu persetujuan dari Vania, aku langsung menggendong nya dengan gaya bridal.

"Tidak perlu Pak, aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat saja" lagi-lagi Vania mengelak dengan selalu mengatakan baik-baik saja.

"Tidak Vania, aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Sebaiknya kamu diam saja, tidak usah membantah ku" ucap ku sambil tetap berjalan keluar.

Aku melihat Vania tidak berani membantah lagi, bahkan dia menyandarkan kepala nya di dada bidang ku sambil memejam kan mata nya. Melihat wajah nya yang sangat pucat, membuat ku semakin khawatir dan melangkah lebih cepat lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!