2. Niat Kabur

"Seratus persen." Maria mencoret daftar persiapan persiapan pernikahan putranya. 

Dia mengendus lega dan merasa beban dalam keluarganya akan segera selesai. Sebagai keluarga yang dipandang sangat berpengaruh itu akhirnya hanya menunggu hari itu datang. Asya setuju menikahu Fagan walau dengan sangat terpaksa. 

"Ma, apa nggak akan memalukan? Pengantin pria berada di kursi roda seperti ini?" tanya Fagan khawatir. 

"Jangan pikirkan apa pun, kamu hanya perlu jadi pengantin pria tergagah yang pernah ada, Sayang. Sisanya serahkan sama Mama." Maria menjelaskan. 

Fagan hanya mengangguk setuju. Sejak dia divonis lumpuh karena kecelakaan itu, hanya Maria-lah yang mampu membesarkan hatinya. Ibu kandung Fagan itu bisa membuat kepercayaan dirinya kembali, walau sesekali dia juga merasa minder. Pemberitaan atas kelumpuhannya beberapa waktu yang lalu membuatnya terpukul sangat hebat, belum lagi kekasih yang sangat dia cintai tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pernikahan sebulan sebelum semua digelar. 

"Elina membuangmu begitu saja setelah tahu kamu lumpuh, Sayang. Dia pergi tanpa berpikir jika kamu adalah pria paling sempurna yang dia miliki selama ini. Mama nggak mau kamu terpuruk karena Elina. Kamu harus bisa bangkit dan membuat hidupmu kembali pada puncak kejayaanmu sebagai putra Elvander." Maria bicara dalam hati sembari memandang ke arah Fagan yang duduk sembari memainkan ponselnya. 

"Nyonya, Nona Asya sudah datang." Seorang pembantu rumah itu mengabarkan. 

Seketika Fagan menoleh ke arah sang pemberi berita. Dia tahu jika hari ini adalah hari terakhir fitting baju pengantin yang akan keduanya kenakan di pesta pernikahan itu. Mendengar nama Asya, Fagan menjadi bersemangat. Dia tahu jika mempelai wanitanya itu akan mencoba gaun yang sudah disiapkan oleh keluarga Elvander untuknya. 

"Ayo, Fagan." Maria membawa putranya menuju ruang tamu dengan mendorong kursi rodanya. 

Wajah tampan dan badan tegap pria itu tak lagu terlihat sejak dia hanya bisa duduk di kursi roda. Keterbatasan Fagan membuatnya sangat payah. Bahkan terkadang Fagan membenci dirinya sendiri karena keadaan itu. 

Perlahan, wajah Asya semakin terlihat oleh keduanya setelah melewati pembatas ruangan yang terdiri dari kaca tebal yang buram itu. Hingga akhirnya gadis ayu yang memilih pasrah itu berdiri menyambut calon suami dan ibu mertuanya itu. 

"Duduk, Asya." Maria mempersilakan duduk gadis itu dengan sangat sopan. 

"Terima kasih, Nyonya," jawab Asya dan kembali duduk sembari menunduk. 

Suasana terasa sangat canggung. Fagan juga tak banyak bicara di sana. Terlihat sekali pria itu memiliki karakter dingin dan tak peka terhadap lingkungannya. 

"Fagan, ada yang mau kamu omongin?" tanya Maria. 

"Akhirnya dia setuju. Aku cuma mau bilang kalo setelah dia jadi pengantinku, dia harus ada untukku 24 jam dan tak boleh membantah apa pun," ujar Fagan. 

Maria mengulas senyum, Fagan yang memang tegas dan berprinsip kuat itu mengatakan apa yang dia inginkan sebagai seorang calon suami. Walau Asya hanya gadis tumbal, tapi sepertinya syarat yang Fagan katakan adalah mutlak. 

"Bawa dia sekarang," pinta Maria pada seorang wanita yang berdiri di depan pintu sebuah ruangan rumah itu. 

Tanpa bisa menolak, Asya hanya menurut dan ikut masuk. Dia berjalan dengan langkah kaki yang begitu berat. Bagi Asya dipenjara atau menikah akan sama saja. Dia akan tersiksa karena ini bukan hal yang dia inginkan. Terlebih saat Fagan menginginkan dia 24 jam selalu ada untuknya. 

Saat pintu terbuka, sebuah gaun putih terpajang dengan penuh kerlip permata. Entah itu permata jenis apa bahkan Asya sendiri tak tahu. Dia hanya mengikuti apa yang wanita itu perintahkan dan segera gaun indah itu melekat pada tubuh putihnya. 

"Kulitmu sangat menarik. Halus, putih dan bersih. Sangat cocok untuk gaun ini," katanya. 

Asya membalas dengan senyum belaka, dia tak tahun harus bereaksi seperti apa sehingga memilih untuk tetap diam dan hanya sesekali saja mengangguk dan menggeleng sesuai permintaan sangat designer. 

"Selera ibu mertuamu sangat luar biasa. Gaun ini adalah yang terbaik," katanya. 

Designer itu menuntun Asya keluar dari ruangan. Gadis yang masih memasang wajah datarnya itu nampak sangat anggun dan berkelas. Bahkan gaun itu menutup kenyataan jika Asya berasal dari tempat yang begitu kumuh dan dari keluarga miskin. 

"Luar biasa, dia sangat mewah," ujar Maria. 

"Anda suka, Nyonya? Apa ada yang harus saya revisi?" tanya designer. 

"Aku suka, kecilkan sedikit lagi bagian pinggangnya. Bagian tubuh itu sepertinya belum maksimal," jelas Maria. 

"Bagian pinggangnya memang masih ukuran Nona Elina, sepertinya tubuh mereka sama, hanya Nona Asya lebih ramping di bagian pinggang," jelas sang designer. 

Maria menganggukkan kepalanya, sementara Asya terkejut karena ternyata gaun yang dia pakai adalah gaun gadis yang seharusnya menikah dengan Fagan sebelum keluarga itu menumbalkan dirinya. 

"Bagaimana, Fagan? Apa kamu suka?" tanya Maria. 

"Elina sangat cantik, Ma." Fagan bahkan masih berhalusinasi jika gadis yang mengenakan gaun itu adalah Elina. 

"Dia Asya, Fagan." Maria merevisi. 

Segera Fagan kembali dari halusinasi yang dia ciptakan sendiri dan melengos ke arah lain. Tak bisa dipungkiri jika hati Fagan masih utuh untuk wanita itu. 

"Elina? Bahkan Fagan saja memanggilku dengan nama itu. Gaun ini juga gaunnya. Apa ini? Kenapa mereka harus menumbalkan aku?" Pertanyaan semacam itu tak berhenti membuat hati Asya menjadi muak. Walau dia memutuskan bersedia menikah, nyatanya dia masih terus dibuat bimbang oleh keadaan.

Fitting selesai dan Asya diantar pulang oleh sopir keluarga itu. Interaksi antara Asya dan Fagan bahkan hampir tak terjadi. Selain hanya saling menatap dengan tajam, tak ada sepatah dua patah kata. 

"Lusa kamu akan dijemput, kamu nggak perlu bawa apa pun karena Nyonya sudah persiapkan semuanya," pesan sopir keluarga Elvander sesuai dengan amanat Masia. 

Asya hanya menganggukkan kepala dan dia segera masuk ke rumah. Tubuhnya yang limbung karena pikirannya melayang jauh itu ambruk ke sofa reyot yang ada di ruang tamu sempit miliknya itu. Kemudian dia menyandarkan kepalanya hingga terlihat langit-langit ruangan itu yang nampak usang. 

"Kabur aja, Mbak." Suara seorang perempuan membuat Asya tersentak. 

"Kabur gimana? Kamu tau siapa mereka," kata Asya menimpali. 

"Mbak Asya keliatan banget tertekan. Apa Mbak yakin bisa lakuin ini semua? Mereka sangat mengerikan," ujar Zalina—adik kandung Asya. 

"Kalo kabur aja bisa selesain semua ini, aku mungkin udah lakuin dari kemarin-kemarin, Lin. Nyatanya aku nggak bisa. Ada kamu sama Bapak yang harus Mbak pikirin," jelas Asya. 

Zalina menundukkan kepalanya, dia prihatin dengan apa yang menimpa kakaknya itu. Dia tahu jika Asya bukanlah orang yang seharusnya dikorbankan, tapi kekuasaan dan kekayaan keluarga Elvander tak bisa dilawan. Mereka bisa saja berbuat diluar dugaan yang bisa membuat Asya menjadi lebih menderita. 

"Lusa akan jadi hal paling mengerikan bagiku. Aku tak tahu bagaimana Fagan yang dingin dan penuh dengan rahasia itu akan memperlakukan aku sebagai istrinya. Aku akan menikah dengan seorang pria lumpuh yang aku ketahui tapi tak pernah aku kenali. Apa bener kata Zalina kalo aku bisa kabur aja?" kata Asya sembari memandang ke arah cermin meja rias lusuhnya.

Pikiran gadis itu terus berkecamuk tiada akhir. Malamnya di kamar usang itu akan segera berakhir. Asya akan segera diboyong ke istana besar Fagan setelah resmi menjadi istri pria yang kini hanya bisa duduk di kursi roda itu.

* * *

Asya sudah disulap menjadi pengantin wanita paling cantik. Dia menggunakan berbagai perhiasan penuh permata yang dipersiapkan Keluarga Elvander untuknya. Hingga setelah selesai, Asya menunggu di sebuah ruangan yang begitu megah. Dia datang sendiri tanpa orang tua dan adiknya. Gaun indah yang melekat di tubuh gadis itu tak sebanding dengan hatinya yang hancur berkeping-keping karena harus menikah dengan Fagan. 

"Apa ada kesempatan buat kabur?" lirihnya. 

Dia berjalan ke arah jendela dan memikirkan untuk melarikan diri sesuai yang dia pikirkan. Namun apa daya, banyaknya penjaga yang berjejer di segala sisi gedung itu jelas sekali tak mungkin Asya tembus. Gadis itu duduk dan memasrahkan semua pada takdir hidupnya. Asya benar-benar tak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan keluarga Elvander.

"Sudah saatnya keluar," kata seorang petugas dari acara pernikahan itu. 

Asya bangkit dari duduknya dan dibantu oleh beberapa orang diiring masuk ke tempat pesta digelar. Dia berusaha tampil maksimal karena tak ingin mengecewakan siapapun. 

Semua tamu bersorak sorai menyambut pengantin wanita itu masuk ke ballroom. Wajah cantik dan gaun mewah yang Asya tunjukkan membuat semua mata tertuju padanya. Decak kagum membuat mereka tersihir sampai lupa jika sang mempelai wanita bukanlah gadis yang namanya tertera di dalam undangan. 

"Cantik sekali," kata seorang tamu dan kalimat itu agaknya disetujui oleh yang lain. Pujian dan juga kekaguman banyak orang terlontar silih berganti sampai Asya berdiri di sisi pria bernama Fagan. 

"Sayang sekali pengantin prianya cacat," celetuk tamu lain. 

"Jangan sembarangan bicara. Siapa yang tak tahu Fagan Elvander. Sekalipun dia sedang sekarat, gadis manapun akan tetap bersedia jadi istrinya," sahut yang lain. 

Fagan sadar jika dia jadi perhatian banyaknya tamu undangan yang hadir. Dia berusaha menutupi rasa kesalnya karena melihat Elina diantara tamu.

"Elina datang sama Aksa? Siapa yang undang mereka?" batin Fagan tersiksa melihat mantan kekasihnya itu datang dengan sahabatnya dengan saling bergandengan tangan. 

Terpopuler

Comments

KimRyn21

KimRyn21

Maksa banget

2023-06-17

0

Ameena🍄

Ameena🍄

Seorang ibu memang selalu bisa menguatkan

2023-06-11

10

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!