Bab 18

Entah bagaimana pastinya, kedua manusia itu bisa berkumpul berdua di atas pohon yang terletak di taman belakang. Pohon itu tidak begitu tinggi, makanya Zeva bisa duduk di sana dengan gaun putri yang ada di imajinasinya.

“Kamu kenapa nolak aku?” tidak ada basa-basi seperti kekasih lainnya. Begitu sampai Zeo itu langsung menodongkan pertanyaan. Sementara, di aula, semua orang ketar-ketir dengan kehilangan Zeva. Pemeran utama saja tidak ada, bagaimana mereka melanjutkan acara? Ini membingungkan.

Tuan Theo juga kehilangan jejak cucunya itu. Dia tidak bisa melacak cucunya juga. Tuan Theo frustasi. Dia melemparkan barang-barang di ruangannya. Para penjaga juga tidak luput dari kemarahannya.

“Ke mana saja kalian, sampai-sampai cucuku hilang saja tidak tahu!” sentak Tuan Theo Walcott.

Nyali para penjaga itu ciut. Lagipula, siapa yang berani dengan Theo Walcott? Meskipun keluarga Theo bukanlah pejabat tinggi atau apapun itu, dialah sumber kekayaan negara, tak ada satupun yang berani macam-macam dengannya.

“Cari cucuku dan temukan dia secepatnya! Sebelum kepala kalian saya tebas!” perintahnya galak. Para penjaga hanya bisa menunduk ketakutan.

“Dengar tidak?” sentak Tuan Theo. Penjaga itu berkata siap dengan bergetar, rintih ketakutan bersamaan dengan gemelatuk gigi Tuan Theo.

“Siapa coach kalian?” tanya Tuan Theo tak tahu diri.

“Anda sendiri, Tuan.” Jawab kepala penjaga, mewakili teman-teman penjaganya alias membiarkan mereka mengambil pasokan oksigen.

“Oh, iyakah?” dengan wajah tanpa dosa dia membubarkannya.

“Sebenarnya Tuan Theo memiliki dua kepribadian apa gimana?” tanya salah seorang penjaga kepada teman di sebelahnya.

“Syutt, kalo dia dengar bisa bahaya.” Setelah itu, dengan aba-aba kapten mereka, semuanya berpencar, meski ada drama sedikit.

Sementara yang dicari sedang berduaan dengan kekasihnya. “Maaf aja, aku nggak bisa terima. Tapi buat penawaran yang kemarin, mungkin aku oke aja.”

“Serius? Berarti kamu udah resmi jadi pacar aku dong?” tanya Zio. Ingat, Zeva belum tahu Zio yang sebenarnya, jadi dia memanggil Reyhan.

“Iya, Rey.” Ucap Zeva terkekeh.

“Kamu nggak mau balik ke aula, Rey?” tanya Zeva lagi.

“Nggak, Zeva. Aku mau berduaan sama kamu, mesra-mesra di sini.” Ucapnya tersenyum manis.

Tepatnya, mereka duduk di atas pohon rambutan. Tidak tahukah mereka jika itu akan membuat badan bentol-bentol kemerahan karena semut merah yang berkumpul di pohon? Tapi yasudah deh, biarkan saja.

“Kamu nggak takut bakal dicariin? Dari tadi penjaga kakek tua itu sudah berkeliaran ke sana ke mari, aku bisa menebak bahwa sebenarnya mereka mencari kita.” Ucap Zeva khawatir. Ya, dia khawatir ketahuan, lalu dikurung dan disuruh belajar lagi. Meskipun ketakutan itu belum bisa dipastikan kebenarannya.

“Kamu takut?” tanya Zeo tak percaya.

Zevanya hanya bisa mengangguksn kepalanya. Dia sudah sangat-sangat malu untuk semua yang terjadi. Sepertinya niat Zeo untuk menceritakan siapa dia sekarang bukan lagi prioritas. Dia sebagai lelaki yang baik harus menjaga wanitanya, membuatnya aman, dan yang terpenting nyaman.

“Ya sudah, ayo turun.” Lagipula dia sudah digigit semut banyak sekali. Kemudian, dia membantu Zeva untuk turun agar roknya tidak tersingkap. Zeo juga dengan baik hati membersihkan kain yang berbentuk gaun bagian belakang Zeva itu dengan hati-hati. Zeo benar-benar memperlakukannya dengan sangat manis, sampai-sampai Zeva ingin meleleh dibuatnya.

“Astaga, Putri Zeva, anda ke mana saja?” tanya salah seorang pelayan. Sementara pelayan yang lain memberitahu Tuan Theo. Meski mereka takut, mereka sudah diberi amanat untuk tidak abai dan melepaskan rasa takut itu jika memang mereka harus memberi tugas atau mereka benar. Lucu kan? Ya, aturan yang diterapkan Theo untuk pekerjanya.

Akhirnya, puncak acara telah selesai. Diikuti dengan game-game yang bisa dimainkan anak-anak, perkumpulan Nyonya-Nyonya sosialita mengobrol, ada juga yang memilih makan, dan pulang. MC-nya sendiri juga sudah bersantai di belakang, mengapa mereka masih harus mengikuti acara, pikir mereka begitu.

Ruang Aula yang semula rapi kini mulai terlihat berantakan. Seiring berhilangnya hidangan, para tamu, dan pelayan juga mulai menampakkan dirinya. Mereka membersihkan ruangan ini bersama-sama dengan Zevanya yang diberi tugas untuk memantau mereka. Di hari ulang tahun saja Zevanya masih mengurus hal itu.

Tidak-tidak. Tepatnya Zevanya yang memaksa. Sebab dia tidak ingin kena amuk kakek tua yang seperti sudah siap menerkamnya sejak tadi. Namun, Tuan Theo tetap bisa menemukan kehadiran Zevanya meski pintu yang terkoneksi dengan pintu-pintu lainnya tertutup. Mau tahu bagaimana? Dia sudah menyuruh semua pelayannya menghubungi dirinya jika sedang bersama Zevanya. Maka dari itu, Zevanya tetap tak bisa lepas dari amukan seorang kakek itu.

Tuan Theo itu membawa Zeya dengan menariknya kasar. Beberapa kali Zeya meringis, pelayan di belakangnya juga meringis. Ingin menolong, tapi menyelamatkan diri sendiri saja tidak bisa.

“Nah, pacar kamu nyariin.” Seru Tuan Theo saat sampai di ruang kerjanya. Sebelumnya, Zeo sudah menceritakan mereka berdua, bahkan sampai hubungannya yang sudah berstatus pacar itu. Awalnya Theo hampir marah, tapi karena Zeo yang sabar dan santai membuat Theo tak jadi marah. Lagipula dia masih sadar diri untuk menghajar orang di depannya ini yang merupakan pangeran kerajaan.

Bisa-bisa dia kena sidak jika menghajarnya. Benar juga, dugaan Theo beberapa minggu yang lalu. Bahwa ada seorang lelaki yang keluar masuk kamar Zeva, dan disembunyikan Zeva. Dia curiga bahwa itu adalah pangeran, terlihat dari perawakannya yang gagah. Namun, dia tidak berani untuk memergoki keduanya begitu saja.

Ya, itu tidak penting. Sebab saat ini kedua manusia itu sedang saling berpelukan di dalam kamar. Tepatnya Zeva yang berada di pangkuan Zeo.

Zeo juga tidak masalah, tapi dia sedang pusing. Dia harus jujur. Tapi dia harus mulai dari mana? Jika dia jelaskan secara singkat, apakah Zeva akan percaya.

“Ze...” panggil Zeo sambil menciumi puncak kepalanya.

“Hmmm.” Dehem Zeva, dia menikmati dada bidang sang pangeran.

“Kamu mau tau satu fakta tentangku nggak?” tanya Zeo masih kalem. Meskipun jantungnya dag dig dug.

“Nggak, aku mau pelukan aja.” Ucap Zevanya.

Zevanya menggerakkan jarinya. Dia menggambar abstrak di dada bidang cowoknya, alias Zeo.

“Kamu yakin gamau tau nama asliku?” tanya Zeo lagi.

“Mau, tapi nggak sekarang. Aku Cuma pengen pelukan.” Ulang Zevanya akan ucapannya.

“Uhh, ya udah. Nanti kalo kamu denger orang-orang memanggilku Zeo, jangan heran, ya. Dijelasin gamau.” Delik Zeo menyebalkan. Zevanya memukul dada bidangnya yang luas dan tak kenyal itu. Atletis, tapi menyebalkan. Mungkin itulah definisi yang diberikan Zevanya untuk Zeo.

“Kamu pangeran ya?” tanya Zevanya masih menggambar abstrak. Dia tahu nama Zeo yang sebagai pangeran kerajaan. Tapi, sungguh dia hanya bercanda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!