Bab 3

Coba digerakkan.” Titahnya.

Aku menatap dia berkaca-kaca. Jujur saja masih ada rasa nyeri sedikit. Aku takut. Ah, tapi tidak apa-apa, kita harus mencobanya meskipun tidak terlalu kentara.

Aku merintih, sakit itu masih terasa, bahkan setelah satu kali pergerakan, aku sudah tidak mau bergerak lagi.

“Sakittt...” aku merengek.

Dia berjongkok, kembali mengecek kakiku. Dia menarik kakiku, aku meringis. Memang dia sangat kejam! “Ssshhh.” Sepertinya dia betul-betul bisa mendengar batinanku. Sebab dia langsung menekan daerah di mana rasa sakit itu masih terasa.

“Coba, Ze.” Titahnya lagi. Aku menggerakkan kakiku perlahan. Saat dirasa tak sakit, aku mulai menggerakkannya. Benar-benar sudah tidak sakit!

“Terima kasih, Riy. Eh, iya kan? Namamu Rizan?” tanyaku, takut salah.

“Namaku, Reyhan!” gemasnya.

“Eh, iya, Rey. Maaf ya, aku lupa.” Aku mengedipkan kedua bola mataku. Lalu, dia memalingkan mukanya.

“Kalau kamu mau berterima kasih, ada syaratnya!” seru dia, si Reyhan.

“Hehe. Iya, Rey. Emang apa syaratnya? Aku janji aku bakal turutin!” aku membentuk piece di kedua tanganku.

“Kamu bener kan janji?”

Aku mengangguk dengan cepat.

“Nih, syaratnya, kamu harus turutin apapun yang aku mau hari ini!” serunya semangat.

“Ck, pengambil kesempatan!” seruku tak terima. Menyebalkan. Aku? Seperti menjadi babunya saja.

“Aku Cuma minta kamu buat nemenin aku jalan-jalan, nggak berontak dan lain-lain, nggak kayak pelayan di rumah kamu, kok.”

Aku lupa, dia kan bisa membaca pikiranku! Ah, memang Zevanya bodoh! Eh. Aku melirik ke arahnya. Dia terkekeh menggemaskan.

“Sudah. Ayo. Mari kita bersenang-senang. Aku juga sudah memberitahukan salah satu pelayanmu bahwa kamu pergi berjalan-jalan.” Ucapnya tersenyum. Bukankah sedari tadi dia bersamaku? Mengapa bisa? Aku sangat heran sebenarnya.

“Baiklah. Mau ke mana kita?” tanyaku.

“Mencari monyet.” Candanya.

“Ish. Kamu aja sendiri.” Seruku.

“Ingat peraturan awal, udahlah diem aja. Aku jamin kamu suka kok!” dia tampak berseri-seri. Aku menurut saja untuk mengikuti dia.

Kami tiba di sebuah hamparan luas. Tak ada rerumputan, pepohonan, ataupun sesuatu yang berdiri di sini. Aku perkirakan ini lapangan pasir.

Satu hal yang tidak aku mengerti, untuk apa kemsri? Bukankah dia bilang ingin berburu monyet? Sedangkan, monyet itu, di pohon kan? Eh, aku benar kan? Setelah sadar, sepertinya aku makin bodoh. Dengusku.

“Kita akan berlatih pedang, Ze. Ini akan sangat penting untukmu suatu hari ini. Ayo!” ucapnya mengajakku. Namun, sayang, aku bahkan tidak tahu dasar-dasar bermain pedang.

“Aku nggak bisa, Reyyyyyy.” Rengekku.

“Karena nggak bisa, ayo belajar! Cepat berdiri. Masih banyak hal yang harus kita lakukan selain ini.” Peringatnya.

Hah, baiklah-baiklah. Sebagai manusia yang tahu diri untuk balas budi, aku akan melakukannya. Tapi ingat, tertindas bukanlah prinsip yang aku jalani selama ini.

Aku berulang kali melukai Reyhan dengan pedang yang aku pegang. Jujur saja aku khawatir, dan merasa sangat bersalah. Sebab, dia yang mau mengajari, tetapi dia juga yang harus terluka karena aku. Ah, aku tidak suka.

“Rey, maafin aku yaa...” mataku berkaca-kaca menahan tangis yang sedang ingin keluar. Setelah reinkarnasi, aku menjadi orang yang sangat sensitif. Aneh!

“Gapapa, Ze, namanya juga latihan, apalagi kan aku yang mau ngajarin kamu, jadi, yaudah, gapapa.” Aku tersenyum, tetapi berbanding terbalik dengan mataku yang sudah berlinang air mata.

Namun, ada yang aneh. Sedetik kemudian, tubuh Reyhan, iya, tubuhnya, sudah pulih dari luka-luka itu! Siapa sebenarnya Reyhan? Aku hendak membuka suaraku, ketika Reyhan mengajakku untuk berlindung di balik semak-semak.

“Kenapa?” tanyaku tak mengerti. Dia menyuruhku diam. Ini membuatku tambah bingung. Aku mengikuti arah pandangnya.

Ya Tuhan. Apa itu? Senapan besar melingkar di bahunya. Dia, pembunuh?

“Gila!” teriakku tiba-tiba, membuat mereka melirik ke arahku. Terlihat dengan Orang Senapan itu berjalan ke arahku, dan Reyhan yang menyuruhku lari. Otakku berpikir, “apa salahku?” sepertinya otakku memang sedangkal itu untuk berpikir.

“Syutt! Dia pemburu!” seru Reyhan, sembari terus menarikku berlari menjauh. Pemburu? Aku tidak tahu pemburu. Apa itu pemburu? Aku tak mengerti. Eh, emangnya kapan aku mengerti.

Aku terbengong sesaat, sampai aku kembali jatuh lagi. Aku meringis lagi. Kaki yang sudah pernah terkilir tadi pagi, kembali terkilir.

“Aakkkhhh!” teriakku kaget. Saat ini, aku tiba-tiba berada di pangkuannya. Dengan lebam-lebam di tubuhnya, dia membawaku lari dalam gendongannya.

Sesaat kemudian, di belakang batu besar dia menurunkanku, lalu menyuruhku diam. Aku hanya mengangguk-angguk kecil. Aku menurut.

Dia mendekapku. Sepertinya dia tahu, bahwa aku sedang sangat ketakutan saat ini. Huh, baiklah, Ze. Tenanglah. Aku menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali.

Ya, aku sedang berusaha untuk tenang. Namun, mendengar suara pemburu yang berteriak memanggil kita berdua, jantungku berdetak tak karuan. Sangat-sangat cepat. Aku takut, sangat takut. Jika ketahuan, pasti tidak akan selamat.

Aku memeluk Reyhan karena merasa takut. Aku bisa mendengar detakan jantungnya yang juga ikut memburu sepertiku. Namun, sebisa mungkin aku tidak membuat dia dalam bahaya lagi. Aku menggigit bibirku menahan rasa takut.

Aku juga menyembunyikan wajahku dalam dekapannya. Ya, pikiranku saat ini semakin kacau. Hangat, nyaman, dan harum!

Sepertinya aku mengalami kecanduan. Aku menyukai dekapannya. Aku menyukai napasnya. Aku menyukai semuanya!

“Ze, bangun Ze.” Rupanya saat aku mulai mengkhayal tadi, aku malah tertidur.

Ah, aku malu sekali. Aku memalingkan wajah darinya. Namun, tampak sia-sia saja, karena sepertinya dia masih bisa melihat mukaku.

“Mau pulang nggak, Ze? Udah mau jam 6 sore.” Ucapnya.

“Hah? Jam 6? Aduh, nanti aku kena marah nih.” Gerutuku panik.

“Ze, ini kan bukan hidupmu yang sebelumnya.” Peringat dia.

Eh, iya juga. Hidupku yang sebelumnya itu sudah menjadi masa lalu. Eh, nggak! Aku? Masa lalu? Gatau ah. Aku tak paham. Benar-benar tak paham. Seandainya saja otakku berkapasitas lebih besar, aku akan lebih mengerti, ya andai saja sih.

“Masa lalu apaan? Orang aku aja baru sadar lagi.” Ucapku sebal. Dia suka sekali membuatku merasakan bingung seperti itu.

“Iya deh, si paling bingung.” Dia terkekeh.

Lalu, setelah itu, dia memangku aku. Dia berbisik, “jangan kasih tahu ini ke siapa-siapa ya. Banyak orang yang tak suka dengan statusmu saat ini.” Ucap dia.

Perlahan, dia menjelaskan dengan detail tentang siapa aku sebelumnya. Dia membisikkan di telingaku, agar tak ada yang mendengar.

Aku baru tahu. Ternyata dulu aku sesakit itu. Seorang anak yang dikatakan anak haram secara diam-diam. Putri yang mengalami kekerasan secara mental dan fisik.

Lebam dan ruam seringkali didapatkan saat dia tak menuruti ayahnya. Entahlah, aku merasa ini seperti dunia-dunia kerajaan di abad kesepuluh, mungkin? Sebenarnya, ada rahasia apalagi selain ini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!