Bab 2

Aku merasa panik. Aku berlari keluar kamarku. Eh, kamar kakakku? Di mana? Aku menoleh.

“Di mana kamar kakak?” tanyaku ke pelayan itu. Dia terkekeh, “kamu benar-benar lupa ingatan?” sepertinya dia sangat tidak percaya denganku.

“Kau pikir aku bohong?” tanyaku sedikit emosi. Dia terkekeh lagi? Ah, menyebalkan.

“Tentu saja nona Zevanya!” serunya, lalu tertawa keras.

Aku melihatnya. Apakah dia tidak tahu malu? Eh, apa barusan? Ekor mataku melihat seorang pelayan. Aku memanggil pelayan itu.

“Maid!” panggilku.

“Ya, Nona, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.

Aku tidak mau dianggap bodoh lagi. Maka, kali ini, aku akan menyuruhnya untuk mengantarku saja ke sana.

Masih mempertahankan senyumannya, dia mengantarkan aku ke tempat kakakku berada. Aku melihat seorang dokter yang sedang meracik obat.

Aku mendekati kakakku, aku mengusap punggung tangannya. Aku dapat merasakan hangatnya tubuh itu. Dia tidak seperti orang yang sedang sakit. Tentu saja aku terheran-heran.

“Kakak?” panggilku.

Dokter itu menghampiriku, “nona. Tuan Leon mengalami syok sementara, kondisi ini akan pulih, kamu bisa membantu dia meminum ini.” Dia tersenyum.

Aku rasa, dia menghipnotis aku dengan senyumannya. Karena, seketika aku mengangguk, mengambil mangkuk itu, lalu membantu kakakku meminumnya dengan kondisi dia yang masih tidak sadar. Aku dapat merasakan bahwa dia menelannya, dengan usaha dia sendiri.

Aku tersenyum kecut. Dia sedang melakukan lelucon. Baiklah kakak, aku akam menuruti permainanmu. Aku memanggil dokter itu, dan mengatakan ingin ke toilet.

Beruntung, dia menurut. Dia akhirnya yang menyuapi kakakku itu. Eh, siapa namanya? Tadi dokter, menyebutnya siapa ya? Lion? Lego? Apa sih. Gatau ah. Dengusku sebal. Lagipula, namanya sulit sekali.

Aku kembali ke kamarku. Aku menjelajahi setiap sudut kamarku. Ada satu dinding, yang membuatku merasa aneh. Dinding apa itu? Seingatku, ini bukan dinding rumahku yang dulu.

Aku bingung. Sangat-sangat bingung. Aku mendorong pelan dinding itu. Dinding itu berputar, memperlihatkan sebuah jam besar yang berdetak.

Aku kaget melihat hal itu. Untuk mengamankannya, aku memgunci pintu kamarku. Lalu, duduk di ranjang hangatku. Memperhatikan dengan jelas apa yang terjadi. Dinding dan jam? Sebenarnya aku di mana? Kenapa semuanya terasa seperti misteri?

Eh, barusan, apa yang lewat? Ular? Ada sesosok ular yang memperhatikan aku? Kenapa ular? Tapi, dia ular yang aneh. Dia, sangat-sangat putih, dengan ekornya yang berwarna keemasan bercampur merah.

Aku melihatnya dengan sangat jelas. Aku penasaran dengan ular itu. Aku mengikutinya pelan-pelan. Mengintip ke arah kiri dan ke arah kanan.

Sebenarnya, aku merasa takut. Tapi, aku sangat-sangat penasaran. Aku berhenti, menyenderkan tubuhku di tembok belakangku.

Aku menetralkan napasku untuk beberapa saat. Huh. Aku lelah. Ini sudah cukup jauh dari rumah, tetapi tampaknya ular ini ingin membawaku sangat-sangat jauh.

Sepertinya dia ingin menjebakku. Apa sebaiknya aku pulang saja ya? Huh, tapi aku mau duduk dulu deh. Nyesel banget gak bawa pelayan, kan aku gabisa ngikutin lagi. Sebalku.

Aku masih terengah-engah. Aku memang sempat berlari-lari kecil saat mengejar ular putih berukuran sedang itu. Namun, aku tidak tahu, jika itu akan melelahkan.

Aku masih duduk, tetapi tiba-tiba, sesosok laki-laki muncul, dan memegang daguku. Dia menatapku, jujur saja, ini sudah kedua kalinya aku terpesona, hari ini! Oh My God!

“Kau? Sedang apa di sini?” tanya lelaki itu.

“Melihat hal yang unik!” balasku singkat. Entahlah, aku tak nyaman. Aku ingin segera kembali ke rumah. Aku berdiri, hendak bersiap balik.

Namun, belum ada sedetik aku berdiri. Dia menarikku. Aku jatuh terduduk di pangkuannya. “Ahhh! Apa-apaan kau ini?” sentakku marah. Menyebalkan!

“Bukankah tadi kamu mengikutiku? Kenapa sekarang lari?” bisiknya meremang di telingaku.

Aku tertegun, tapi hanya sebentar, ingat, sebentar. Aku memberontak dari pelukannya, aku tak suka seperti ini. Aroma maskulinnya membuat aku mabuk! Menyebalkan. Entahlah, aku sangat-sangat sensitif hari ini.

Eh, sebentar. Aku berhenti, lalu aku melirik ke arahnya, “kau? Kau ular tadi?” tanyaku.

Dia mengangguk. Aku kembali memberontak, tetapi pelukannya semakin kencang. Eh, yang benar saja? Aku bisa gila lama-lama.

“Zevanya Laureen, berhenti. Atau kamu akan membuat adikku bangun?” tanyanya dengan nada rendah.

Aku berhenti memberontak, aku melirik ke bawah dengan takut-takut. Siapa tau dia membawa adik ularnya? Eh, benar kan? Dia kan ular tadi, berarti memiliki adik ular. Mengerikan!

“Lepas.” Sentakku kesal. Untungnya dia menurut. Dia menurunkan aku, lalu mendudukkan aku di sebelahnya.

Ya, saat ini, kami duduk bersebelahan, berdua! Tampak seperti orang pacaran, atau lebih layak disebut tertawan kekasih hati. Eh, apa? Aku bilang apa? Ah, menyebalkan. Mengapa aku bisa berpikir sampai sejauh itu ya? Seharusnya tidak boleh.

Imajinasiku sangat liar sekali. Aku merutuki kebodohanku. Lihatlah, dia terkekeh macam orang gila! Dia menertawakan aku kan? Aku negatif thinking selalu. Aku meliriknya, tetapi aku tidak mampu berkata apapun.

“Hahaha! Jangan mendumel, aku bisa mendengarnya. Hahaha!” tawa dia terdengar sangat jahat sekali.

“Kau sedang apa di sini?” tanyaku sebal. Tapi, aku penasaran!

“Tentu saja berburu, tetapi ternyata aku bertemu manusia cantik di sini.” Setelahnya dia kembali tertawa. Yaampun, itu sangat menyebalkan.

“Kamu? Berburu? Hei, kita ini sudah hidup di zaman modern, untuk apa kamu berburu?” gantian, aku yang tertawa kali ini.

Dia berdecak, itu membuatku semakin lucu. Dia melirikku, “tertawa lagi saja, dan lihat hukumanmu.” Deliknya.

“Hukuman apa? Eh, kita belum berkenalan ya?” tanyaku tiba-tiba. Aku lupa, menanyakan namanya sedari tadi.

“Aku sudah mengenalmu, cih. Kamu saja yang melupakan aku. Kenalin, Reyhan si paling ganteng.” Ucapnya narsis, sekaligus sombong.

Uh, menjijikan. Aku bersikap ingin muntah. Dia mendelik lagi. Eh, apa? Kenapa dia suka sekali mendelik? Ish.

“Di dekat sini ada sungai. Mau ke sana tidak?” tanyanya, setelah beberapa saat kita berdua saling diam, tidak berbincang apapun.

“Mau!” ucapku cepat. Sekaligus beradaptasi. Dengan senang, aku menarik-narik dia untuk segera sampai di sungai.

Namun, dia tampak sengaja. Dia menahan-nahan jalannya. Aku berdecak malas. Akhirnya, aku memutuskan jalan sendiri.

Aku sudah tidak peduli lagi, mau dia di mana atau sedang apa, yang pasti, aku ingin ke sungai! Aku haus dan penasaran.

Aku berjalan sembari meloncat-loncat. Eh, “akhhhh!” kakiku sakit sekali.

Dia terkekeh, “mau dibantu nggak?” mendengarnya terkekeh, tentu saja aku tak mau ditolongnya. Enak saja, dia meremehkanku? Dia tidak tahu aku siapa ya? Huh!

Aku mencoba untuk naik ke atas sendiri berulang kali. Namun, nihil. Kakiku malah semakin sakit akibat terkilir.

Pada akhirnya, dia menolongku. Aku sudah tidak punya muka sekarang! Dia mengurut kakiku yang terkilir, aku berteriak kesakitan beberapa kali.

“Coba, gerakkan.” ujarnya.

Terpopuler

Comments

🍌ᴿᵈ🍀⃟ᶜʰᶦ🐍

🍌ᴿᵈ🍀⃟ᶜʰᶦ🐍

parah emang narsis nya ga ketulungan 😂

2023-06-02

3

🍌ᴿᵈ🍀⃟ᶜʰᶦ🐍

🍌ᴿᵈ🍀⃟ᶜʰᶦ🐍

adikku yang mana 😂😂😂

2023-06-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!