Bab 19

Kalo iya, kamu mau ngapain?” tanya Zeo bercanda.

“Mau buang kamu jauh-jauh.” Ucap Zeva masih bercanda. Dia sama sekali tidak serius menanggapinya. Sebab Zeva tahu jika dia tidak akan bisa bersama Zeo selamanya. Akan ada seseorang yang mengganti posisi Zeo saat ini.

“Ih, ngeri. Aku tanya serius, loh, Ze.” Gumam Zeo. Dia gemas dengan Zeva yang suka bercanda bila bersamanya.

“Ya gapapa juga. Memangnya kenapa sih? Kamu nggak lagi berencana mau buat aku jantungan kan?” tanya Zeva. Nah, mulai, otak kecilnya terbang ke mana-mana.

“Ze, aku mau jujur sama kamu. Tapi kamu jangan marah, ya.” Ucap Zeo. Dia sudah memberi ultimatum seperti ini sebelumnya.

“Iya-iya, apa sih, buruan!” sentak Zeva tidak sabaran. Menurutnya, Zeo terlalu bertele-tele sejak tadi.

“Tadi kan kamu udah tahu kalau aku sering dipanggil Zeo oleh orang-orang, tapi kamu pasti belum tahu nama panjangku, kan? Ya udah, nih aku kasih tahu. Nama panjangku adalah...” Zeo tidak melanjutkan perkataannya membuat Zeva penasaran.

“Apa sih!” sentak Zeva. Dia emosi melihat Zeo yang melama-lamakan bicaranya. Seketika Zeva berpikir, Zeo ini cewek apa cowok. Sebab setahu Zeva, hanya cewek yang hidupnya ribet.

“Penasaran ya, nungguin yaaa...” tanyanya membuat Zeva semakin emosi. Zeva mencubit tangan kekar itu dengan sangat kuat.

Zeo meringis, “sakit, bebi.”

“Alah, bebi-bebi, apaan coba bebi.” Dengus Zeva. Yah, drama lagi.

“Jadi, namaku itu, Zeona Leonardo Zurick. Yup, seperti aku bilang pas awal, aku memang pangeran generasi ke-13 Fredrick. Kamu pasti kaget kan? Hehe.” Dia hanya bisa tertawa melihat tatapan Zevanya yang ingin menghunusnya dengan pisau tajam.

“Aku gak nyangka kamu seorang pangeran. Itu artinya kamu juga penerus bangsa ini? Yang memimpin ke depannya?” tanya Zeva penasaran. Dia pernah membaca buku tentang siklus kerajaan, dan kurang lebih begitu.

“Udah, jangan tanya itu dulu. Aku mau ngenalin kamu sama peliharaan aku.” Ajak Zeo. Dia menyuruh Zeva naik ke punggungnya. Namun, Zeva menolak, dia memilih untuk berjalan. Ada gunanya juga pelatihan dari Miya kemarin.

“Baiklah-baiklah, tapi kalau lelah bilang, oke?” titah Zeo yang diangguki Zeva.

Sepanjang perjalanan mereka bertemu dengan satwa liar seperti ular, kadal, monyet, dan hewan-hewan lainnya. Ada beberapa hewan yang Zeo dekati untuk dikenalkannya pada Zeva. Sebelumnya Zeo memang memastikan terlebih dulu agar hewan itu tak berbahaya ketika Zeva pegang atau sentuh.

Ketika perjalanan, Zeo juga tidak segan untuk menggoda Zeva. Mereka juga memakan buah-buah yang ada di hutan itu. Zeva yang menyukai buah sangat tidak suka diusili Zeo. Zeva janji akan balas dendam, enak saja Zeo enak-enakan.

Akhirnya mereka sampai di puncak. Zeo melirik ke sana dan ke mari. Namun, tampaknya dia tak menemukan apa yang dia cari. Dia mengajak Zeva untuk duduk, tepat di atas bukit.

Zevanya berbinar bahagia, baru kali ini dia bisa melihat bangsanya yang hijau itu dari atas sini. Zevanya berkali-kali bergumam takjub. Rasanya Zevanya sudah betah di sini dan tidak ingin ke mana-mana.

Bisa dilihat Zeo yang kelimpungan ke sana dan ke mari setelah mengusap surai Zevanya itu. Entah apa yang Zeo cari, dia sampai menyerukan, “Wolff-Wollfii” begitu terus. Dia tidak pantang menyerah.

Geraman serigala membuat senyuman Zeo melebar. Dia mengelus pucuk kepala serigala itu. Namun, si serigala tampaknya sedang memiliki suasana hati yang buruk. Sebab Zeo telah mengganggu ketenangannya di siang hari. Jika orang akan sadar, maka tidak dengan Zeo.

Zeo meringis melihat serigalanya itu sangat agresif. Tangan Zeo saja sampai ingin masuk di mulutnya, tetapi sebisa mungkin Zeo menghindar.

“Syutt-syut-syut.” Zeo mengelus bulu serigala yang berwarna putih itu untuk menenangkannya. Zeo harus menenangkan satu-satu agar Zeva tidak sampai ribut dengan serigalanya itu.

Sesaat kemudian, serigala bernama Wollfi itu sudah tenang. Zeo masih setia mengelusnya, sebab dia tidak tahu berapa lama Wollfi akan tetap tenang dan tidak memberontak.

Zeo melirik Zeva yang masih setia menatapi pemandangan di depannya. Zeo menghela napas, sebegitu sukanya Zeva dengan pemandangan, ya? Apakah Zeva akan memilih pemandangan daripada dirinya? Seketika Zeo merasa otaknya sangat overthinking.

“Wollfi, kita ke sana ya.” Serigala itu mengaum, seolah menyetujui saran Zeo yang ingin membawanya. Serigala itu mengikuti langkah Zeo.

Zeo sengaja mengagetkan Zeva dengan menaruh serigala itu di sebelah kanan Zeva. Sementara, Zeo sendiri berdiri di sebelah kirinya. Zeo menepuk pundak kanan Zeva.

“Aaaahhhh!” siapa yang tidak kaget, saat dilihatnya bukanlah manusia tetapi serigala.

Lebih-lebih, serigala itu tak bisa dibilang kecil. Bulunya yang halus tal dapat menunjukkan bahwa dia tak garang. Matanya saja sangat tajam seolah siap menghunus Zeva dengan itu.

Zeva berkeringat dingin, tanpa aba-aba, dia lari-lari seolah menghindar Wollfi, serigala yang ditakutinya. Sementara, Wollfi sang serigala hanya menatap heran dengan orang yang dibawa tuannya itu. Mungkin dalam bahasa Wollfi, “bisa-bisanya tuan saya membawa manusia tak jelas.”

Zeo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa gila dia jika bersama Zeva. Namun, sedikit banyaknya tingkah Zeva hari ini, terlebih saat bersamanya, membuat Zeo merasa terhibur. Kapan lagi ada perempuan di dunia ini yang seperti itu.

“Zevanyaaaaa...” panggil mesra Zeo.

“Iya, kenapa?” tanya Zeva santai, belum menyadari pelaku keusilan itu adalah Zeo.

“Sini dong, Sayanggggg.” Seru Zeo. Zeva menurut, dia mendekat dan duduk di sebelah Zeo.

“Ini serigala peliharaanku.” Ucap Zeo dan menarik Zeva untuk duduk di pangkuannya.

“Apa? Jadi aku ketipu dong? Oh, jadi kamu!” seru Zeva menyadari satu hal itu. Antara malu dan kesal, dia menyembunyikan wajahnya di dada Zeo dan tangannya memukul-mukul dada Zeo juga.

“Jangan marah dong Sayang.” Cuih, Zeva jijik mendengarnya.

Setelah bujuk rayu dan perkataan-perkataan Zeo yang manis, Zeva akhirnya luluh. Dia mau berkenalan dengan hewan yang dianggap Zeo sebagai peliharaannya.

“Kalo dia peliharaan kamu, kenapa kamu menaruhnya di bukit? Kamu nggak takut dia kenapa-kenapa?” pasalnya hutan ini sedikit ngeri.

“Nggak kok, dia gabakal kenapa-kenapa, baby. Kecuali aku menaruh kamu di sini, yang ada kamu yang berbahaya.” Kekeh Zeo.

“Ah, sulit banget memahami kamu.” Gerutu Zeva, dia tidak paham. Mengapa dia berbahaya?

“Makanya kamu harus banyak belajar, Sayang.”

“Belajar-belajar mulu, aku capek!” seru Zeva. Ia sudah frustasi, tapi disuruh belajar lagi. Tidak puaskah mereka menyiksa Zeva? Meskipun belum genap sebulan mereka tinggal, tetapi Zeva sudah sangat-sangat sebal.

“Belajar yang ini beda, Sayang. Bukan dengan buku-buku yang membosankan itu, kamu hanya perlu mengamati aku dan mengetahui hal-hal tentangku.” Makin ke sini Zeo makin tidak tahu diri masalah percintaan, astaga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!