Bab 16

“Nona Zeva, silakan anda beristirahat, saya akan pergi terlebih dulu.” Ucap Miya, membungkuk sedikit, kemudian berbalik ke arah pintu.

Zevanya tidak berkata apa-apa lagi setelah perjalanan yang melelahkan bersama Miya tadi. Jangan tanya bagaimana mereka sampai rumah, jika saja penjaga suruhan Miya tidak menjemput. Mungkin mereka akan berjalan kaki menuju kediaman kakek tua.

Zevanya merebahkan dirinya, sampai dia sendiri tidak sadar jika tubuhnya sudah terbawa ke alam mimpi. Energinya sudah terkuras habis untuk perjalanan yang bahkan tidak sampai 24 jam itu. Singkat memang dirasa, tapi jangan ditanya dengan lelahnya.

Sementara, Miya sudah sampai di kamarnya. Miya meletakkan barang yang dibawanya dengan kasar. Dihempaskannya begitu saja dan berjalan menuju kasur. Dia menghela napas panjang.

Kemudian, terdengar HT yang selalu berada di atas nakas, atau seringnya dia bawa itu berbunyi. Nada yang sudah jelas milik kakek tua itu membuat Miya menegang.

Miya mengerang, “astaga, aku masih lelah.” Di depan Zeva, mungkin dia bisa bersikap seolah-olah tidak lelah. Namun, jauh dari segala yang dia tidak ungkapkan, dia seringkali merasa lelah. Tekanan dari sana dan sini membuat fisiknya tak stabil. Tuntutan yang mengharuskannya untuk bertahan hidup memaksa dia untuk bersikap seperti orang bodoh.

“Ya, Tuan Besar.” Jawab Miya lugas di HT tersebut.

“Segera ke ruangan saya dan laporkan apa saja yang sudah terjadi.” Ucapnya tegas, arogan, tak terbantahkan, dan harus dilakukan dengan cepat.

Segesit mungkin Miya sudah berada di depan ruang kerja kakek tua, setelah sebelumnya menyempotkan parfum agar tubuhnya tidak tercium bau.

Tok! Tok! Tok!

“Saya Miya, Tuan Besar.” Kata Miya di depan pintu. Kemudian, perintah dilayangkan agar Miya segera memasuki ruangan yang merupakan tempat singa tidur.

Miya menetralkan napasnya, kemudian mendekati Tuan Theo. Miya membungkukkan tubuh sebelum rasa nyeri menyerang tubuhnya.

Miya berdesis, dia hanya berharap Tuan Theo tidak sadar. Perutnya sangat sakit, sebab tak ada asupan lain yang masuk selain yang semalam.

“Kamu kenapa?” tanya Tuan Theo tiba-tiba cemas.

Miya menggeleng, dia menegakkan tubuhnya. “Tidak apa-apa Tuan. Saya hanya tidak sabar melaporkan kegiatan Nona Miya saja.” Disertai kekehan kecil agar Tuan Besarnya itu percaya. Meskipun begitu, tak mudah bagi Tuan Besar itu percaya.

Miya menjelaskan detail dari awal hingga akhir secara singkat tanpa ada satu kegiatan yang ditutup-tutupi dan bohongan. Semuanya Miya ceritakan. Dia tidak ingin mencari masalah, lagipula Nona Zevanya juga melakukan segala sesuatunya dengan baik, pikir Miya.

“Baiklah-baiklah, saya percaya.” Ujar Tuan Theo membuat Miya menghela napas lega.

“Besok, anak saya datang. Kamu sudah harus memberikan hasil keputusan kamu.” Ucapnya menelisik ke arahku. Ingin menjawab tapi aku tergaga.

“Kalau saya menolak, apakah bisa, Tuan?” tampak sekali Miya tidak ingin perjodohan itu.

Ya, perjanjian silam antara ayah Miya dan tuan Theo membuat dirinya terjebak di sebuah konflik. Dirinya ialah peran utama. Ayahnya pernah menjanjikan akan memberi tuan Theo putrinya. Sementara tuan Theo berjanji akan memberikan putranya.

Alhasil, kedua orang berbeda usia itu setuju untuk menjodohkan kedua anak mereka. Pantas saja selama ini tuan Theo selalu ada di dekat Miya itu, hanya memberikan peringatan dan ultimatum untuknya agar tidak melewati batas. Sebab tuan Theo bisa melakukan apa yang dia mau. Miya juga bisa saja dituntut denda.

“Bisa saja, tapi akan lebih banyak resiko yang kamu ambil. Kamu harus membayar denda, mematahkan hati anak saya, dan yang terakhir, kamu membuat ayahnu yang sudah tenang di atas sana menjadi sedih. Tapi ya balik lagi, itu semua terserah sama kamu.” Ucap Tuan Theo.

“Berapa dendanya, Tuan?” tanya Miya.

“250 juta. Kamu sepertinya ingin menolak ya?” geram Tuan Theo.

“Saya tidak berani menerimanya, Tuan. Bersanding dengan Tuan Muda yang memiliki jabatan bagus, barang mewah yang bertebaran, kesibukannya. Saya tidak bisa berharap. Saya juga sudah memutuskan, saya akan ...”

“Kamu nggak boleh nolak!” potong Reza. Anak Tuan Theo yang masih berumur 26 tahun.

Miya gemetar. “Di hadapkan dengan Reza selaku anak Tuan Theo saja aku bergetar, apalagi jika kami benar-benar bersanding? Bisa-bisa aku mati muda. Belum lagi gunjingan orang-orang yang bisa merusak mentalku.” Batin Miya.

“Tidak sopan! Apakah kau tidak diajarkan sopan santun?” desis Tuan Theo.

Reza mengabaikannya. “ayo, ikut aku!” tarik Reza pada Miya. Tuan Theo tidak menahan, sebab dia sudah tidak kuat untuk berantem dengan anaknya sendiri.

“Nggak!” Miya meronta dari genggamannya, seiring genggamannya yang kuat menekan tangan Miya. Sakit sudah pasti terasa, yang tidak biasa ialah perut Miya.

Saat sampai di taman belakang, Reza mendorong Miya ke dinding, “Apa maksudmu menolak? Kau tidak cinta aku?” todong Reza, dengan pertanyaannya.

“Aku memang tidak mencintaimu. Berhenti berharap kepadaku, banyak wanita di luar sana yang memilih kamu kan? Ya sudah, nikahi mereka saja. Jangan merengek kepadaku.”

“Kamu nggak boleh nolak! Walau kamu nggak cinta aku, aku bakalan bikin kamu cinta aku, sampe kamu bertekuk lutut di depanku, aku pastikan itu. Jadi, kamu nggak boleh nolak permintaan ini.” Bisik Reza di telinga Miya dengan suara yang rendah.

“Nggak mau!” Miya mendorong Reza.

Namun, dorongan Miya tak berdampak apapun. Reza tetap setia di posisi semulanya. Jujur saja, Miya ingin segera ke kamar. Tubuhnya sudah tak bisa diajak bekerja sama. Sialnya Miya lupa, jika orang di hadapannya sangat-sangat peka.

“Kamu sakit? Dari tadi megangin perut terus.” Selidik Reza setelah mendengar desisan Miya.

Meskipun Miya sudah berusaha senetral mungkin, Reza tetap menyadarinya. Miya menggeleng, bisa rumit urusannya jika Reza menyadarinya.

Namun, sayang beribu sayang, Reza menekan perut Miya. Sang empunya meringis hebat, tubuhnya menggelinjang.

“Nah, benar kan, kamu kesakitan. Kenapa nggak jujur sih, ini pasti gara-gara satu hari kemarin.” Ringis Reza.

“Nggak kok. Aku gapapa, santai aja. Tuan jangan kayak gitu.” Meskipun Reza mengakuinya sebagai kekasih, Miya tidak terima dan masih saja menganggap Reza tuannya.

Sebab dulu, sebelum dia melatih Zeva, dia sudah melatih Reza yang umurnya jauh lebih tua. Bahkan, Reza juga mengaku cinta saat sedang pelatihan bersama Miya. Tepatnya, dia mengalami cinta pada pandangan pertama.

Sayangnya, Miya tidak merasakan itu. Dia memang merasa keren di dekatnya, tapi untuk mencintainya, Miya harus berpikir berulang kali, sampai dia menjawab tidak.

Bukan hal mudah bagi Miya, terlebih sejak awal dia melatih Reza, dirinya sudah diberitahu. Miya sudah mencoba untuk mencintai Reza, tetapi tidak bisa. Memang cinta tidaklah bisa dipaksa. Seperti Reza yang lebih dulu mencintai Miya, sementara setelah sepuluh tahun lamanya mereka bersama, Miya tetap melanjutkan pekerjaannya, dia tidak terjebak dengan cinta pandangan pertama milik Reza.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!