Bab 6

Aku mengepalkan tanganku. Mendengarkan Leon bercerita seperti mendengarkan dongeng fantasi, di mana protagonis sangat tersiksa dengan kekasihnya. Ya, seperti itulah kisahku saat sebelum jatuh koma.

Sejujurnya saja, aku tidak mengerti sih. Mengapa sikap mereka bisa berubah drastis, di saat aku belum koma, mereka membuatku sangat tersiksa. Namun, saat aku sudah sadar, mereka malah menghormati aku, menjagaku, tetapi, mereka juga tampak segan.

Kecuali, abangku yang ini, Leon Kevin Sanjaya. Aneh. Ini sangat aneh. Ada rahasia apa yang belum aku ketahui? Sepertinya aku harus bertanya kepada Sang Pemilik Semesta.

Eh, tapi? Apa aku akan dijawab? Aku merasa pesimis, aku tidak yakin akan dijawab. Ah, sudahlah. Aku ingin tidur, aku mengantuk.

Namun, sayang seribu sayang. Seseorang melompat seperti monyet melalui jendela. Siapa lagi kalau bukan Reyhan. Dia datang mengagetkanku.

Aku hanya mendelik tak suka, aku sedang tidak ingin berbicara apapun. Abangku saja keluar karena aku tak merespon ucapannya. Lantas aku hanya menatapnya yang berjalan ke sana dan ke mari.

Entah dia sedang melakukan apa. Aku tidak tahu, dia sedang mencari barang, atau ingin menarik perhatianku.

Namun, perhatianku sama sekali tidak teralihkan. Aku hanya memandangnya saja. Sebenarnya, aku sedang ingin tidur. Tubuhku penat.

Tapi aku takut. Jika aku tidur, dia akan mengacak kamarku, lebih parahnya lagi, dia akan menggangguku nantinya.

Aku tidak ingin hal itu terjadi, maka aku hanya memperhatikannya. Sampai aku menyadari dia sedang mencurigai salah satu dinding kamarku.

“Shibal.” Gumamku. Salahku juga tidak menutup baik-baik pintu itu. Aku menghampirinya.

“Rey, kamu lagi ngapain?” tanyaku dengan nada menyindir. Tidak sopan kan masuk tanpa permisi dan mencurigai kamar seseorang? Huh.

“Ini tampak mencurigakan. Kamu nggak curiga? Bisa saja ini membahayakan.”

Seketika aku berpikir bahwa Reyhan memiliki insting yang tajam. Entahlah, hanya firasatku atau benar-benar dia memilikinya.

“Nggak ada apa-apa di situ. Kamu mau ngapain sih? Masuk kamar orang juga nggak izin.” Serunya.

“Aelah. Kamu nggak percaya sama temenmu ini?” ucapnya melotot padaku. Tentu saja aku melotot balik.

“Terserah aku lah! Lagian sejak kapam kita temenan?” seruku tak terima.

“Semalam kamu sendiri yang bilang.” Ingatnya.

Aku memalingkan wajah, jelas saja malu. Memang benar, semalam aku yang mengakui itu di depan abangku.

“Kamu tahu darimana? Jangan asal nuduh.” Peringatku mendelik. Aku juga melipat kedua tanganku.

Dia terkekeh, “bukankah kamu yang bilang? Aku temanmu di hadapan kakakmu?” katanya.

“Jangan ngada-ngada, aku nggak ada bilang gitu ya!” seruku.

“Aku denger sendiri, kamu jangan meragukan aku. Ingatlah, apapun yang kamu akan lakukan, pasti akan aku ketahui. Termasuk pengakuanmu itu.” Lalu dia tertawa terbahak-bahak.

“Kamu ini, mahluk apa sih? Kok bisa tahu? Jangan-jangan kamu monster?” seruku. Aku juga memeragakan monster yang tiba-tiba muncul di imajinasiku.

Dia tertawa lepas. Apakah tingkahku tidak menakutkan? Ish. Seharusnya dia berpura-pura takut saja. Mengapa harus tertawa. Kan aku jadi sebal.

“REYHAN!” panggil seseorang entah darimana. Tepat saat itu juga, Reyhan menghilang.

Merinding? Ya jelas aku merinding. Ini tidak masuk akal, dia bisa menghilang dengan tiba-tiba. Huh. Aku hendak berbaring, saat tiba-tiba pintu kamarku diketuk.

“Nona muda, anda ditunggu tuan besar di ruang keluarga. Saya mohon, datanglah.” Ucapnya memohon. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang besar.

Mataku menatap tajam mereka semua. Katanya, aku dipanggil tuan besar? Yang mana tuan besar? Tuan bertubuh besar, gempal, keriput? Namun, di sini tak ada seorang pun yang memiliki ciri seperti itu.

Aku melihat mereka semua satu persatu. Sampai ada yang berucap, “tidak sopan! Hormatlah kepada yang lebih tua!” serunya.

Mereka, keluarga yang lain seketika melirik ke arah perempuan itu, dan aku hanya terkekeh. Kemudian, dengan tidak tahu malunya, dia kembali berkata, “benar kan? Semakin tua harus semakin dihormati.” Ucapnya lagi.

Dalam hati, aku berucap, “tunggulah dirimu menjadi eyang-eyang, baru aku akan hormat. Tapi sepertinya, maut akan lebih dulu menjemputmu. Ya semoga saja tidak.” Aku terkekeh.

Demi sedikit hormat, aku membungkuk dan segera mengucap salam. Aku lalu berjalan menuju satu-satunys kursi yang belum terisi.

“Kita semua sudah berkumpul. Usia kakek sudah tidak lagi muda. Kakek ingin menurunkan jabatan kakek ke salah satu orang di sini. Mungkin beberapa dari kalian ada yang sudah tahu. Namun, saya akan mengumumkannya kembali. Hari ini juga kita serta merta akan membagi hak waris.” Ucapnya tegas.

Aku berprasangka, dialah tuan besar yang dimaksud. Jujur saja aku penasaran, siapa yang akan menerima jabatan itu selanjutnya. Haha. Selamat terjebak dalam lingkaran dunia. Diam-diam aku terkekeh.

“Oke, Zevanya Laureen resmi diangkat menjadi kepala keluarga selanjutnya setelah saya, Theo Walcott. Dia akan resmi diangkat ketika saya sudah siap menyerahkan semuanya.” Putus Theo, kakekku.

“Tapi pih, kenapa harus dia? Bukankah anak pertama papi yang seharusnya mewarisi semuanya? Belum lagi, dia perempuan. Dia tidak cocok!” masih sama, dia adalah orang yang tadi menyuruhku untuk hormat kepada yang tua. Huh, dasar suka mencari masalah.

Sebenarnya sih, aku agak terkejut. Mengapa bisa semua terjadi? Kenapa aku yang dipilih untuk menjadi kepala keluarga selanjutnya. Memang benar, bahwa seharusnya yang dipilih adalah laki-laki. Sebab, perempuan sepertiku, tidak bisa untuk menghadapi orang-orang munafik, bahkan aku baru saja sadar. Aku sendiri saja tidak mengerti.

“Keputusan ada di tangan papih, kamu jangan suka semena-mena!” sentaknya. Aku bisa melihat bahwa semua orang merasa segan terhadap orang ini, yang katanya dia Theo Walcott.

“Tapi pih...”

Belum selesai dia berbicara. Kakek tua itu langsung menyela lagi. Aku yang melihatnya saja pusing, sedangkan dia masih siap untuk berdebat. Huh.

“Kakek.” Ucapku dengan volume rendah. Kakek tua ternyata masih memiliki pendengaran yang bagus. Dia mendengarku.

Aku bertanya, mengapa aku yang dipilih untuk menjadi kepala keluarga selanjutnya. Dia menarik napasnya panjang.

“Sebenarnya, aku kemarin sempat bingung memilih kamu atau Fara, tetapi karena setelah aku selidiki Fara memiliki kasus, maka aku putuskan untuk memilih kamu, cucuku.” Jelasnya. Aku penasaran sekali, siapa Fara dan apa kasusnya. Huh, tapi aku harus menahan rasa penasaran itu.

Oh iya, aku kan bisa bertanya pada Reyhan yang kata dia tau segalanya. Hehe, aku akan menguji dia.

“Jadi, mulai besok, kamu akan belajar silsilah keluarga ini. Serta merta dengan seluruh hal lainnya agar satu tahun yang akan datang, kamu sudah siap.” Jelas Theo.

“Kek, apakah aku boleh menolak?” tanyaku.

“Boleh, tapi keputusan kakek tidak akan berubah. Camkan.” Dia berdiri, beranjak pergi dari ruang keluarga. Seketika, anggota keluarga yang lain menatapku sinis, dan seakan ingin melahapku hidup-hidup.

Terpopuler

Comments

Bryand 😎🎤🎧

Bryand 😎🎤🎧

mantab

2023-06-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!