bab 14

Aku dan Miya menyusuri hutan, entah sudah sejauh mana dan berapa dalam kami berjalan di sini. Aku tidak tahu apapun, tidak ada perangkat elektronik, atau hal lain yang membuatku tidak bosan.

Aku sudah lelah, tetapi Miya terus memaksaku berjalan. Aku heran, kenapa Miya seperti tidak pernah lelah? Padahal saat ini, posisinya dia sedang membawa tas berukuran besar yang berisi kebutuhan kami berdua. Sedangkan aku, hanya membawa badan, tanganku benar-benar kosong, pundakku juga tak ada apapun.

Mengapa aku sudah lelah sementara Miya masih ingin menyusuri hutan ini? Memang sih, sedari tadi masih saja ada pemukiman warga yang terlihat, ini berarti Miya benar-benar membawaku jauh?

Jujur saja, saat ini aku takut. Aku merasa khawatir apabila ini hanyalah akal-akalan Miya dan dia ingin membuangku di sini. Ah, aku tak bisa lanjut untuk membayangkannya.

Dari jarak sekitar 1 meter, Miya meneriaki aku, dirinya membuatku kaget. Lebih kaget lagi saat mengetahui ketika dia berkata perjalanan kami masih jauh. Tolong banget pengertiannya, aku sangat lelah. Bisakah dia istirahat sebentar saja?

Aku hampir ingin mengucapkan protesku, tetapi urung saat Miya berceletuk, “ayo cepat, kamu mau cepat menyelesaikan misi nggak?”

Aku kaget, kukira ini healing biasa, ternyata malah ada misi di balik ini semua. Lagi-lagi kutelan saja apa yang akan aku tanyakan, sebab Miya berkata tidak mau menjawabnya.

Kami terus berjalan, semakin jauh, semakin dalam. Kini, sudah terlihat monyet-monyet yang bergelayut dari satu pohon ke pohon yang lainnya, serta binatang-binatang lain yang kabur saat tahu kedatangan kami berdua.

Memang lelah, tapi aku menyukai pemandangan yang seperti ini. Asri dan menyejukkan mata. Aku melihat sebuah sungai di depanku. Sontak saja aku berpikiran, bagaimana kami berdua lewat?

“Ayo, duduk. Kita sudah sampai. Sungai itu adalah perbatasannya, saat malam hari nanti, kita akan tidur sebentar di sini.” Ucapnya. Dia tidak menjelaskan secara gamblang tentang apa-apa saja yang akan kami lakukan ke depannya.

Namun, kini aku sangat bersyukur. Sedari tadi aku dan Miya memang tidak beristirahat, tetapi aku bisa membantu Miya untuk mempercepat perjalanan ini dan sampai di tepi sungai, atau tepatnya perbatasan untuk beristirahat.

Miya mendirikan sebuah rumah-rumahan dari kain. Miya tampak tak mengenal kata lelah. Aku merasa tidak berguna jika sedang bersama Miya. Dirinya melakukan apa-apa sendiri dan aku menerima sisanya.

Seperti saat ini, aku berteduh di pohon yang dekat dengan sungai. Sementara, Miya sibuk ke sana ke mari. Dari membuat rumah dari kain, mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai, serta memasukkan tas bawaannya ke dalam rumah yang dia buat.

“Ayo, kita pergi berburu ke hutan sebelah!” ajaknya. Tuh, baru saja melakukan banyak hal dan dia sudah mengajakku berburu. Dia ini manusia atau robot? Sejujurnya dengan amat sangat aku ingin sekali bertanya, tetapi aku menghargai upayanya. Aku hanya diam.

“Bagaimana cara kita melewati sungai itu?” tanyaku. Aku agak ngeri saat tahu bahwa arus sungai itu sangat deras dan banyak bebatuan tajam atau tepatnya beruncing.

“Apa yang waktu itu kamu pelajari untuk keselamatan?” tanya Miya.

Aku berpikir-pikir sejenak, “memanah?” tanyaku kembali.

“Oh jelas tidak, ini bukan pendakian, ya. Yang gitu, yang manjat-manjat, katamu itu kayak monkey.” Ucap Miya memberikan aku petunjuk.

“Lewat pohon-pohon itu?” tanyaku tak percaya. Jarak dari satu pohon ke pohon yang ada di tengah sungai itu lumayan jauh. Apa aku bisa? Ini sangat ekstrim, dan aku takut!

“Ayo, tembak!” seru Miya bersemangat.

Aku melepaskan anak panah yang ada di tanganku. Nihil, sampai saat ini kami tidak mendapatkan buruan satupun. Sebab Miya mempercayai aku untuk menangkap hewannya.

Miya terus menerus memberi semangat, dirinya sendiri tampak tidak berniat untuk menangkap hewan buruan. Ini membuatku semakin merasa bersalah. Jika aku tidak mendapat hewan buruan, kami akan makan apa? Duh, aku pusing memikirkannya.

Miya menepuk pundakku lagi, dia mengode bahwa ada seekor hewan yang bisa aku buru lagi. Aku menoleh, sepasang kelinci yang tengah bersama. Aku tak ingin membunuhnya, tapi aku membutuhkan makanan.

Anak panahku melesat kencang. Akhirnya, setelah penantian yang lama, aku dapat memanah dengan tepat, terlebih, kali ini aku langsung mendapatkan dua.

Aku merasa senang sekali, aku bisa berbagi salah satunya dengan Miya. Aku menoleh ke arah Miya. Dia tersenyum, benar-benar senyum yang tulus.

“Aku senang, kamu bisa berhasil menyelesaikan misi pertama tanpa banyak drama.” Ucap Miya. Baru saja aku ingin terharu, tetapi kalimat Miya menunjukkan bahwa dia sedang menyindir diriku.

Memangnya siapa sih yang ingin menyelesaikan misi ataupun tugas dengan banyak drama? Ya, kalau ditanya, yang jelas bukan aku jawabannya. Bagaimana mungkin aku. Sementara, aku hanya kesulitan saja untuk menyelesaikannya.

“Udahlah, Kak. Jangan menyindirku seperti itu.” Aku sangat-sangat tidak suka.

Waktu berlalu singkat, sekarang aku dan Miya sudah mau menyebrangi sungai ini lagi. Jika tadi siang saat melewatinya aman, maka seharusnya, saat ini juga aman kan?

Aku harus percaya dengan kemampuanku sendiri, dengan bobot tubuhku dan beberapa buruan serta buah yang aku bawa, aku naik ke salah satu batang pohon yang aku rasa kuat.

Miya memekik tertahan, sebelum aku jatuh. Masih untung jatuhnya di tanah, bukan di sungai yang akan membawaku karena arusnya yang semakin deras.

Miya membantuku. Aku merasa sangat-sangat wajib berkata terima kasih dengannya. Wajahnya datar, dia menarikku naik ke salah satu pohon yang lebih besar. Sedikit jauh dari tempat asal kami, tapi dia bilang, “ini lebih aman, masih baik berjalan lebih jauh atau kamu jatuh ke sungai?” tanyanya memberikan perumpamaan.

Aku hanya menurut. Aku mengikutinya melewati dahan-dahan di pohon ini. Kami meloncat dibantu penerangan dari obor, entah sejak kapan Miya membuatnya.

Hari yang sudah larut memaksa Miya untuk mengeluarkan obor miliknya. Miya menerangi dirinya sendiri untuk meloncat, kemudian membantuku meloncat. Begitu seterusnya sampai kami berdua tiba di rumah-rumahan kain yang dia buat.

Badanku rasanya sangat lelah. Keringat yang mengubahku menjadi manusia lepek. Aku berjalan menuju tepi sungai. Hanya beberapa menit, untuk aku membasuh tangan dan kakiku.

Kemudian, Miya memanggilku, dia menyuruhku membersihkan hewan buruan dan membakarnya. Sementara dia menyiapkan hal lain.

Setelah selesai, aku dan Miya berkumpul, kami makan daging buruan dan beberapa buah yang sudah dicuci, bersama-sama. Tiba-tiba, Miya bertanya.

“Jika kamu dirayakan hari ulang tahunnya, kamu mau ngapain?” tanya Miya.

Aku terdiam, bagaimana ya? Ulang tahun itu apa? Dan kenapa harus ngapain? Membingungkan. Lagipula, mengapa Miya tiba-tiba bertanya yang seperti ini? Apakah ada maksud dibalik perkataannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!