Bab 4

Reyhan benar-benar mengantarkan aku sampai ke rumah. Dia juga yang membantu aku memberikan alasan telat pulang. Aku bersyukur, bisa dibantu olehnya. Sebab, aku tak tahu, harus bagaimana menjawab pertanyaan yang beruntut dari dia yang katanya ayahku.

“Dek, itu siapa? Kok abang kayak nggak pernah lihat dia deket kamu sebelumnya?” tanya abangku yang tiba-tiba masuk kamar.

Kaget? Ya sudah jelas! Siapa yang tidak kaget semisal ada orang datang ke kamar dengan pertanyaan yang mengikutinya.

“Tadi aku pungut di jalan.” Jawabku asal. Aku juga kan tidak tahu bertemu di mana dengannya. Bagaimana mungkin aku bisa jawab.

“Loh beneran, Dek? Pungut di mana? Abang juga mau dong. Siapa tau ada cewek cantik.” Serunya berbinar. Ini salah satu alasan mengapa harus punya otak sebelum lahir. Ya, untuk berpikir.

“Orang lakik semua, abang mau belok?” tanyaku balik. Tak mengapa juga kalau dia mau belok. Nantinya aku kan memiliki pemandangan yang mengindahkan mata setiap harinya.

Pria-pria tampan, mapan, dan keren. Wangi maskulinnya pasti menyejukkan hidung. Ah, pasti enak. Eh, kok aku berpikir ke sana? Ah, parah! Tapi, sepertinya enak juga. Baiklah, kapan-kapan kita berburu pria tampan. Tapi aku berharap DuRen sih.

“Gapapa belok, kan adek abang tetep cewek. Jadi abang cariin cowok-cowok ganteng buat adek abang yang paling ganteng!” serunya lagi.

“Bang, adekmu cewek loh ini.”

Jujur saja, sebenarnya aku tertekan. Sikap dia? Seperti cewek! Eh, apa kita sudah bertukar jenis kelamin? Nggak kan? Entahlah, otakku banyak pikiran hari ini. Menyebalkan.

“Abang kalau ketemu mereka mau jodohin semua sama aku?” tanyaku heran. Apakah dia berniat menjadikan aku playgirl? Oh My God, astaga. Karma apa yang aku miliki hingga punya abang sepertinya.

“Iya lah. Biar adek abang laku. Nanti adek juga cariin abang cewek ya!” serunya.

“Eh, kamu belum jawab. Itu tadi siapa?” tanyanya lagi.

Aku sebenarnya bingung, dia itu siapa. Aku saja baru mengenalnya hari ini. Eh, aku lupa bertanya dia dari mana. Ah, tidak seru.

“Temenku, bang. Itu dia kan aku pungut dari jalan. Cuma ya yang anehnya dia ganteng aja.” Kekehku.

“Ganteng? Dek, matamu buta ya? Abang lebih ganteng tau. Dia tuh Cuma agak aja. Marga dia emang apa?” tanya sang abang ini.

“Apa ya tadi, lupa. Gatau deh, tadi sih aku panggil dia Reyhan.” Ucapku. Abangku itu tampak berpikir.

Ya, aku nyaman mengobrol dengannya. Aku menyukai rasa ini. Meskipun aku tak benar-benar mengenal identitasnya. Aku tahu dia abangku.

“Dek. Reyhan yang viral itu di masyarakat bukan sih? Yang katanya tukang maling pakaian dalam. Kamu nggak dicolong kan pakaian dalamnya?”

Apa-apaan itu pertanyaan. Huh. Memangnya Reyhan yang aku kenal itu sama? Siapa tau saja berbeda. Seenaknya saja.

“Dek, bener nggak?” tanya abangku lagi.

“Gatau lah, bang. Tapi ya, pakaian dalamku aman sih. Emang bener dis colong pakaian dalam? Aku harus hati-hati dong.” Tanyaku.

“Iya, kamu harus sangat berhati-hati. Banyak hal yang bisa aja berubah dan membuatmu sakit hati. Kamu sama dia, udah putus kan?” tanya abangku.

“Udah kali, bang. Aku ga inget. Abang ga tidur?” ucapku menyindir sekaligus mengusir.

“Eh, iya, sudah jam 10 ya?” ucapnya menyadari jam.

Ya, jam di kamarku ini menunjukkan pukul 10 malam. Sedari tadi, aku belum bersih-bersih dan bersiap tidur. Entah karena apa, mungkin kehadirannya mengganggu aku. Ya, abangku.

Aku beranjak menuju kamar mandi. Aku mengisi bak mandi dengan air hangat. Aku memasukkan sabun aroma therapy dan memasang lilin beraroma mawar. Ya, aku sesuka itu dengan aromanya.

Aku menanggalkan seluruh pakaianku. Menaruhnya ke keranjang kotor. Lalu, aku perlahan masuk ke dalam bak mandi itu. Aku merebahkan tubuhku.

Nyaman, itu yang kurasakan. Aku menikmati semua ini. Perlahan, aku memejamkan mataku, menikmati sensasi di semua indra perasaku.

Hal ini, perlahan membuat aku tak sadar, pikiranku mulai melantur ke mana-mana. Sampai-sampai aku mengingat satu nama, Ghali Al Fatih.

Ghali? Siapa Ghali? Aku merasa tidak asing saat mengingatnya. Aku menutup mataku kembali.

Itukah mantan yang disebut-sebut abangku? Cih, hanya mengandalkan tampanh saja bangga. Ya, sekilas balik kejadian itu memang membuat kepalaku sakit.

Namun, aku senang. Karena dengan begitu berarti aku akan mengingat ingatan sebelum aku sadar. Aku tersenyum menatap langit-langit kamar.

Bayangan tentang belaian antara dua orang, membuat aku terngiang-ngiang dan merasa ingin. Aku menenangkan hasratku, tidak mungkin aku terpengaruh hanya karena kejadian sekilas itu.

“Haih. Sepertinya aku harus menghentikan ini semua. Atau aku benar-benar harus menuntaskan hasrat mandiri di sini.” Gumamku.

Aku mengambil bathrobe, lalu berjalan ke ruang ganti, aku mengambil pakaianku dan memakainya. Aku duduk.

Aku memang mengantuk, tapi bukan berarti menghentikan penjelajahanku malam ini. Aku perlahan turun ke dapur. Mengambil sebotol soda dan segelas kopi. Kemudian aku membawanya kembali ke kamar.

Aku membuka laptopku. Ya, sejak tadi aku berbincang dengan abang menyebalkan itu. Dia mengajakku untuk berkeliling di kamarku sendiri yang sangat besar ini.

Untung saja ada dia, maka saat ini aku setidaknya sudah tahu beberapa letak kebiasaanku untuk santai.

Aku berjalan menuju meja riasku. Membuka laptop di sini. Aku mencari beberapa kata di internet, berharap menemukan titik terang dari rasa penasaran yang menghinggapi aku.

Oh, ya. Jam terbesar di dunia, awalnya berada di London, tetapi sejak dua tahun lalu, jam itu tiba-tiba menghilang pada saat jam 12 malam.

Tidak ada yang tahu apa penyebab pastinya. Bahkan saat mengecek kamera pengawas di sekitar sana, semuanya terlihat baik-baik saja. Aneh kan?

Memang jam itu bukan satu-satunya di dunia, tetapi kehilangan jam itu merupakan ancaman bagi negara itu sendiri.

Aku pergi mengukur jam yang ada di balik lemari besar itu. Yaampun! Setelah aku perhitungkan. Ini jam yang dicari orang-orang sejak dua tahun lalu.

Aku terdiam. Mengapa banyak misteri di dunia ini? Tidak bisakah semua orang hidup normal? Aneh, kejadian yang sungguh-sungguh sangat aneh.

Jika boleh meminta, aku ingin sekali membalikkan jam itu. Eh, tapi jangan deh. Takutnya ada sesuatu di sana. Untung saja aku tidak sebodoh pagi tadi. Ya, meski pada akhirnya kita berdua selamat.

Ngomong-ngomong, Reyhan sedang apa ya? Ah, kok aku mendadak rindu dengannya? Padahal aku tahu, kami bukan siapa-siapa. Hanya orang yang sekadar bertemu secara tidak sengaja.

“Reyhan oh Reyhan. Kuharap, besok kita bisa bertemu lagi.” Gumamku.

Hari ini, hari pertama aku berjalan-jalan yang dipancing ular. Banyak hal yang terjadi, membuatku beberapa kali terpesona oleh keinginan Reyhan menolongku. Aku tidak tahu maksudnya. Namun, kuharap kita bisa bersama selamanya. Aku tersenyum dalam mimpiku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!