🕊Happy Reading 🕊
Sementara Niar dan Arham pergi berziarah, Arvitha justru bermain lumpur dengan anak anak petani, Arvitha sangat senang bisa dengan bebasnya berinteraksi dengan banyak orang, ia senang melihat para petani yang sedang menanami padi.
" Ya Allah Ar,habis darimana penuh lumpur kek gini?," ucap Arham mengomel memperhatikan Arvitha tapi Arvitha malah nyengir kuda.
" Arvitha,aku gak habis pikir deh," ucap Niar ikut menimpali.
" Maaf mas,mbak, Arvitha hanya ingin bebas saja," ucap Arvitha menunduk, kemudian ia pun pergi masuk kedalam rumah.
" Tuh kan,mas sih manjain dia,lihat sekarang,ngeyel kan kalau dibilangin, lama lama Arvitha itu kek anak kecil tahu gak mas," kesal Niar tak habis pikir, kemudian ia pun pergi masuk kedalam rumah.
" Ini kenapa pada nyalahin aku sih?," tanya Arham pada dirinya sendiri kemudian ia pun menyugar rambutnya kesal dengan Arvitha dan Niar.
**
" Apa?, mas mau ngomong apa?," ucap Niar kesal tanpa menatap suaminya itu.
" Niar, kamu jangan kek gitu kenapa sih,kan kamu tahu sendiri Arvitha masih labil,"
" Dan mas, suruh aku mengerti, makin ngelunjak dia mas, tahu mas," ucap Niar kesal melipat kedua tangannya." Aku gak habis pikir deh mas,mas bisa bisanya belain Arvitha terus,"
Pada saat yang sama, Arvitha keluar dari kamarnya dan ia sudah bersih kembali, nampak jelas kalau ia baru sehabis mandi.
" Maafin aku ya Mbak," ucap Arvitha menundukkan kepalanya, dan Niar membalasnya dengan helaan napas panjang.
" Lain kali gak akan terulang lagi," ucap Arvitha seraya tersenyum dan lagi Niar hanya membalasnya dengan helaan napas panjang kemudian Niar pun berdiri dari duduknya dan segera menaiki anak tangga menuju kamarnya.
" Mas, aku mau tunjukin sesuatu," ucap Arvitha sumringah sembari menarik tangan Arham, dan segera membawa Arham ke kamarnya.
" Tunjukin apa hum?," tanya Arham saat mereka berdua sudah duduk ditepi ranjang,Arvitha masih dengan senyuman sumringahnya sembari duduk bersila dihadapan Arham.
" Mas percaya gak,bentuk bayinya kelihatan loh mas," ucap Arvitha seraya merapihkan anak rambut nya kebelakang telinganya.Sedang Arham mengernyit bingung tak percaya,Arvitha pun membaringkan badannya di kasur dan menutup dirinya dengan selimut.Kemudian dia membuka sebagian bajunya dan nampaklah bagian perutnya yang sudah mulai sedikit membuncit.
" Mas coba perhatikan," suruh Arvitha saat ia membusungkan perutnya dan benar saja,nampak begitu jelas bentuk bayi yang ada dalam rahimnya, otomatis membuat Arham tersenyum senang.
" Iya kan?," tanya Arvitha sembari duduk kembali disamping Arham.
" Iya, iya, tapi Ar, lain kali jangan digitukan ya, takut berbahaya buat kamu dan bayinya," pinta Arham dan diiyakan langsung oleh Arvitha.
" Tadi kamu darimana?," lanjut Arham bertanya menatapi wajah istrinya itu.
" Hem,senang aja gitu, lihatin orang orang kesawah, ya udah Ar ikutan aja," ucap Arvitha seraya melangkah ke arah jendela dan diikuti oleh Arham dan memeluknya dari belakang.
" Bukannya gak boleh, tapi kamu lagi hamil, makanya Niar sampai marah kek gitu," ucap Arham mengikuti pandangan yang sama dengan Arvitha. Arvitha membalikkan badannya dan menatap wajah suaminya itu.
" Arvitha pengen bebas mas,Arvitha pengen jadi orang yang biasa biasa aja, bisa mandiri dalam hal apapun,"
Arham merapihkan anak rambut Arvitha kebelakang telinga Arvitha dan menyematkan jepit rambut Arvitha, agar rambut itu tak lagi menutupi wajahnya Arvitha.
" Boleh saja Arvitha, asal kamu juga harus ingat, kamu lagi hamil,iya." jawab Arham kemudian dan diangguki oleh Arvitha.
***
Arvitha berdiri sambil berteriak sumringah saat mereka sedang jalan- jalan mengelilingi perkampungan dengan mobil Niar yang memiliki sistem vertibele,Niar memandangi kesal Arvitha, sedang Arham menutupi senyumnya dengan punggung tangannya.
" Eh sori,sori mbak hihi," ucap Arvitha seraya duduk perlahan, kemudian ia pun meraih ponselnya dan asyik dengan ponselnya.
" Mas,mas, mas, berenti mas," ucap Arvitha yang membuat Arham mendadak mengerem.
" Kenapa Arvitha?," tanya Niar khawatir.
" Sayang, pemandangannya bagus bangat." ucap Arvitha tanpa dosa sembari keluar dari mobil dan segera membuat Niar menghela napasnya panjang.
Sedangkan Arvitha dengan senangnya, penuh semangat berlari kecil ke arah taman bunga,ia segera menciumi bunga bunga itu dengan gembira.
" Sabar ya,tapi benar sih kata Arvitha, sayang kalau dilewatkan pemandangan seindah ini," ucap Arham sembari merangkul lengan Niar.
" Mas,lama sama Arvitha bikin mas kek anak kecil juga," rungut Niar kesal, tak sedikitpun hatinya tersentuh dengan pemandangan taman bunga matahari di sepanjang jalan itu.
" Apa iya?,salah siapa menjodohkan aku dengan dia?," ucap Arham mencoba mengajak Niar bercanda, oh tapi sayang, Niar malah semakin kesal dengan ucapan Arham dan melepaskan kasar tangan Arham darinya dan ia pun segera masuk kedalam mobil.
Tin tin
Niar terus membunyikan klakson mobil agar Arvitha segera mengakhiri me- time nya.Tapi lagi dan lagi Niar harus dibuat kesal lagi oleh Arvitha yang tak kunjung tiba ke mobil.
" Mas,panggilin Arvitha kenapa sih, udah sore nih," kesal Niar namun justru membuat Arham tersenyum, kemudian ia pun menghampiri Niar.
" Gak gitu cara mainnya Niar," ucap Arham sembari mengelus rambut sang istri.
" Mas jangan main- main deh,aku gak suka," ucap Niar kembali membunyikan klakson.
" Kalau kamu bawa marah, dia gak akan dengar, coba kamu samperin baik baik, pasti langsung ngerti," ucap Arham sembari tersenyum dan menopang dagunya dijendela mobil menatapi wajah sang istri.
" Huh,mas aja deh yang samperin," ucap Niar ketus masih kekeuh dengan kekesalannya.
" Entar aku makin dekat sama Arvitha, marah..., kalau aku mah gak papah," ucap Arham tanpa dosa sembari mengendikkan bahunya.
" Mas,bisa gak jangan mancing mancing emosi?," tanya Niar kini lembut dan kini Arham kembali tersenyum dan mengelus rambut istrinya itu.
" Sebentar ya, Arvitha!," ucap Arham kemudian berteriak memanggil Arvitha seraya berlari kecil kearah Arvitha.
" Aleaa...," ucap Arvitha seraya melambaikan tangannya saat ia vidiocall dengan Allea sahabatnya.
" Wih, pamer lu ya," jawab Aleea dari sana.
" Iya dong, mesti pamer, biar lu iri, tapi sayang...Mas Arham sama istrinya," ucap Arvitha tiba tiba sendu dari yang tadinya ceria, Arham yang mendengar itu dibuat terdiam dan menghentikan langkahnya.
" Hem, lu sih...salah sendiri naruh perasaan sama suami orang," jelas Aleea.
" Iya Al,dosa gua yang paling besar kayaknya itu dah,salah gua mencintai suami orang, hem bodoh bangat kan gua, udah tahu laki orang masih aja menaruh hati," ucap Arvitha seraya duduk ditanah dan menopang dagunya di lututnya sendiri.
" Kalau gua tahu, sesakit ini, mungkin dari awal gua gak mau menjadi madu orang lain," ucap Arvitha, tak terasa air matanya perlahan menetes.
" Jangan nangis dong beb...cup cup, malu tahu sama bayi lu,masa iya lu vengeng bet jadi mami," ucap Aleea menyemangati sahabatnya, seketika Arvitha pun tertawa dan menyeka air matanya.
" Hehe,udah jadi mami ya,hem, Mas Rakha kalau lihat aku nangis pasti ikutan nangis haha," ucap Arvitha kemudian memetik bunga matahari yang paling kecil dan segera menciumnya.
" Bego sih dia, tapi gua akui dia sepupu terbaik yang pernah ada," jawab Aleea kemudian tertawa.
Dan semua itu, tak terlepas dari pendengaran Arham, yang seketika membuatnya merasakan sakit dihatinya sevab sudah mempermainkan perasaan seorang gadis.
Arvitha kembali berdiri dengan girangnya menunjukkan taman bunga itu sembari membuat vidionya seakan penuh bunga dan ia baru sadar jika Arham sudah ada didepannya.
" Eh beb, udah dulu ya bye...," ucap Arvitha seraya menutup panggilan vidio tersebut.
" Mas udah lama disini?," tanya Arvitha memastikan Arham tak mendengar ucapannya tadi.
" Enggak.Baru.Ayok, Niar sudah nunggu," ucap Arham sembari tersenyum dan meraih tangan sang istri, mereka pun melangkah beriringan menuju mobilnya.
Arham kembali menyetir dengan perasaan tak karuan, ia masih kepikiran atas ucapan Arvitha dan Aleea tadi.
" Pokus dong mas," ucap Niar menepuk lengan Arham saat ia sadar suaminya sedang memikirkan sesuatu.Arham pun tersenyum saja membalasnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments